Jumat, 18 Oktober 2013

Tafsir Surat Al-Baqarah 282

UTANG-PIUTANG

(TAFSIR AL BAQARAH 282)


PENDAHULUAN
Manusia juga dijuluki makhluk sosial yang hanya menyukai hidup bergolongan, atau sedikitnya mencari teman untuk hidup bersama, lebih suka daripada hidup menyendiri. Pertemanan tersebut dalam sosiologi diistilahkan sebagai relasi sosial (social relation). Sedangkan dalam fiqih dinamakan dengan muamalah.
Relasi atau interaksi sosial sebagai sebuah kebutuhan manusia, maka ketersediaan pedoman untuk menjaga kebutuhan tersebut juga sebuah keniscayaan. Untuk kepentingan itu, manusia membuat peraturan-peraturan berdasarkan keyakinan dan budaya mereka masing-masing. Manusia yang benar, menjadikan Al – Quran dan Hadis sebagai pedoman dalam mewujudkan keharmonisan ber-muamalah. Kedua sumber tersebut berisikan tentang aqidah dan syari’ah yang kemudian syari’ah itu sendiri terdiri dari ibadah dan muamalah.
Konsep muamalah yang terkandung dalam Al-Quran dan Hadis adalah seluruh tindakan manusia tidak bisa melepaskan diri dari nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, mengutamakan kemaslahatan umum, kesamaan hak dan kewajiban serta melarang berbuat curang dan melarang berperilaku tidak bermoral di antara satu dengan yang lain. Peraturan muamalah seperti itu salah satunya terdapat dalam ayat 282 dari surat Al-Baqarah yang mengatur tentang hutang piutang. Untuk mengetahui bagaimana peraturan hutang piutang dari ayat tersebut dan sejauhmana dampak aturan itu terhadap kehidupan manusia sebagai makhluk sosial, dalam kajian ini penulis akan menafsirkan ayat 282 dari surat Al-Baqarah  secara mendalam.








PEMBAHASAN
1.     Ayat dan Terjemahannnya
Tafsir Q.S Al-Baqarah: 282
Artinya: “ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunia untuk waktu yang ditentukan, hendaklan kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis diantara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Rabbnya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada utangnya. Jika orang yang berutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaanya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tidak ada dua orang lelaki, maka (boleh seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil, dan janganlah kamu jemu  menulis utang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah muamalahmu itu), kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli, dan janganlah penulis dan saksi merasa dipersulitkan (dipaksa). Jika kamu lakukan (yang demikain), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertqwalah kepada Allah, Allah mengajarmu, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

2.     Penjelasan Istilah-Istilah Kunci
Beberapa masalah yang dibahas dalam ayat ini, yakni:
Pertama, “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai”. Sa’id bin Musayyab mengatakan: Aku diperintahkan untuk memberitahukan ayat Al-Qur’an yang tertuliskan di atas Arsy, yakni ayat tentang utang piutang.
Kedua, “Apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan”. Kata بد ين pada ayat ini adalah untuk penekanan, seperti yang terdapat pada firman Allah, ولا طىر يطير بجنا حيه” Dan barang-barang yang terbang dengan kedua sayapnya.” (QS. Al-An’am [6] : 38).
Hakekat dari kata بد ين adalah keterangan dari semua transaksi dimana salah satu pihak membayar dengan tunai dan pihak lainnya dalam tanggungan secara tempo. Kata العين menurut bahasa Arab adalah semua harta yang ada dalam genggaman, sedangkan kata الد ين semua harta yang tidak ada dalam genggaman. Lalu Allah SWT menjelaskan makna tersebut dengan firman-Nya:الى اجل مسمى” Untuk waktu yang ditentukan.”
Ketiga, “ Untuk waktu yang ditentukan.” Ibnu Al Mundzir mengatakan: firman Allah ini menunjukkan bahwa pinjaman yang dilakukan dengan waktu yang tidak ditentukan itu tidak diperbolehkan. Sebuah hadist shahih menyebutkan, bahwa ketika Rasulullah hijrah ke kota Madinah, penduduk Madinah saat itu sudah terbiasa bertransaksi dengan cara berutang untuk menanam tanaman mereka, dengan jangka waktu pelunasan dua atau tiga tahun. Lalu Rasulullah SAW bersabda : “barang iapa yang ingin bertransaksi Salam pada kurma, maka bertransaksilah, dengan timbangan yang diketahui, takaran yang diketahui, dan waktu yang diketahui.” Hadist ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas, oleh imam AL Bukhari, imam Muslim, dan para imam hadist lainnya[1].
Ibnu Umar juga pernah mengatakan: Dahulu, masyarakat jahiliyah terbiasa jual beli daging unta yang masih dalam kandungan, kemudian ketika Rasulullah SAW diutus kepada mereka, beliau melarang jual beli dengan cara demikian.[2]
Seluruh ulama Islam juga sepakat bahwa transaksi Salam itu dibolehkan, yakni: mereka membolehkan jika ada seseorang yang menyerahkan (menjual) makanan dengan kapasitas yang diketahui timbangan dan waktunya, dengan pembayaran berupa dinar atau dirham yang diserahkan sebelum kedua belah pihak berpisah dari tempat bertransaksi. Maka transaksi ini dinamakan Salam (dengan kata lain, Salam adalah pembelian barang yang akan diserahkan kemudian, sementara pembayaran diberikan di muka). Transaksi yang mereka lakukan ini sah dan diperbolehkan, tidak ada stupun ulama yang membantahnya.
Keempat, para ulama membatasi definisi Salam, mereka berpendapat bahwa Salam adalah pembelian seuatu yang diketahui namun dalam tanggungan (diserahkan kemudian hari) hingga pada waktu yang ditentukan, dan spesifikasi barang yang jelas diketahui. Itulah yan disepakati oleh para ulama madzhab Maliki, yaitu membolehkan pembayaran yang dilakukan setelah dua atau tiga hari dari transaksi karena kedekatannya. Entah itu dengan menggunakan syarat ataupun tidak.
Asy-Syafi’i dan para ulama Khufah tidak menyetujuinya, mereka tidak memperbolehkan penundaan bayaran dari waktu transaksi Salam hingga waktu mereka berpisah dari tempat transaksi. Mereka berpendapat bahwa transaksi Salam sama hukumnya dengan penukaran yang harus diserahkan saat itu juga.
Kelima, Kata السلم dan السلف dalam bahasa Arab memiliki makna yang sama, dan keduanya juga sama-sama dalam hadist Nabi SAW dengan makna yang serupa. Terkecuali hadist Nabi SAW yang melarang jual beli sesuatu yang tidak kamu miliki[3], lalu diberi keringanan pada jual beli secara Salam. Karena jual beli secara Salam adalah jual beli yang diketahui oleh kedua belah pihak, walaupun salah satu pihak tidak menyerahkan kewajibannya pada saat itu, namun kedua pihak yang melakukan transaksi sama-sama sangat membutuhkannya.
Keenam, Syarat yan harus dipenuhi dalam jual beli Salam:
a.      Syarat pada barang
1.     Harus spesifik dan dapat diakui sebagai utang
2.     Spesifikasi sifat-sifat barang telah diketahui
3.     Barang tersebut bernilai
4.     Penyerahn barang dilakukan di kemudian hari
5.     Waktu penyerahan barang diketahui
6.     Barang haeus ada di tempat pada waktu yang telah ditentukan
b.     Syarat pada modal atau uang
1.     Modal harus diketahui jenisnya
2.     Bernilai
3.     Tunai
Oleh karena itu jual beli Salam haruslah memiliki tenggang waktu untuk masa penyerahan barang, agar tercapai semua syarat, sifat, dan akadnya, serta ketetapan syariatnya pun dapat terpenuhi.
Ketujuh, Penjual (al muslam ilaih) dan pemilik barang (al muslam fih) tidak termask dalam syarat transaksi Salam. Berbeda dengan pendapat yang diikuti oleh beberapa ulama salaf. Dalilnya adalah riwayat Al Bukhari dari Muhammad bin Al Mujalid, yang artinya: “ Aku pernah dikirim oleh Abdullah bin Syadded dan Abu Burdah kepada Abdullah bin Abi Aufa, mereka berkata kepadaku: “ Tanyakan kepada Abdullah bin Abi Aufa, apakah pada saat Nabi SAW melakukan transaksi Salam pada biji gandum?” lalu ketika aku telah menemui Abdullah bin Abi Aufa dan bertanya kepadanya, ia menjawab: “ Kami terbiasa melakukan jual beli Salam biji gandum, gandum, dan margarin, dengan penduduk Syam, dengan timbangan yang diketahui dan jangka waktu yang diketahui.”
Lalu aku bertanya kepadanya: “Apakah mereka memiliki hasil pertanian?” ia menjawab: “ Kami tidak pernah menanyakannya.” Kemudian aku dikirimi lagi oleh Abdullah bin Syaddad dan Abu Burdah kepada Abdurrahman bin Abza. Lalu aku pun segera menemuinya dan bertanya mengenai hal tersebut, ia menjawab: “Pada saat Nabi SAW masih hidup, para sahabat Nabi SAW terkadang melakukan hal itu, namun kami tidak pernah bertanya apakah mereka memiliki cocok tanam atau tidak.[4]
Kedelapan, Abu Daud meriwayatkan, dari Sa’ad (yakni Ath-Tha’i), dari Athiyah bin Sa’ad, dari Abu Sa’id Al Khudri, ia berkata: Rasulullah SAW pernah bersabda yang artinya: “ barang siapa yang melakukan transaksi Salam pads sesuatu, maka janganlah ia mengalihkannya kepada transaksi lain.[5]
Imam Malik mengatakan[6], Menurut pendapat kami, bagi orang yang melakukan transaksi jual beli Salam pada makanan dengan harga dan waktu yang diketahui, lalu pada saat waktu yang ditentukan tiba, barang yang dijual tidak ada di tangan penjual maka transaksi tersebut rusak atau batal. Dengan demikian, sang pembeli hanya boleh mengambil perak, atau emas, atau uang (modal) yang diberikannya. Modal yang diberikannya itu ia tidak dikatakan membeli hingga barang yang dipesan ada di tangannya.
Jika si pembeli mengambil dari selain harga yang telah dibayarkannya atau dipalingkan dengan barang selain makanan  yng hendak dibeli, maka ini termasuk menjual makanan sebelum makanan itu diterima (menjadi miliknya). Malik berkata: Rasulullah SAW melarang menjual sesuatu yang belum diterima (menjadi miliknya)[7].
Kesembilan, Firman Allah SWT, فا كتبوه “Hendaklah kamu menuliskannya.” Yakni menuliskan utang tersebut dan waktu pembayarannya. Beberapa ulama mengatakan: perintah pada ayat ini adalah untuk menuliskan, namun makna sebenarnya adalah perintah untuk menuliskan serta mempersaksikan, karena penulisan tanpa disaksikan tidak dapat menjadi hujjah yang kuat. Lalu ada juga yang berpendapat bahwa perintah penulisan tersebut adalah agar kedua belah pihak tidak ada yang lupa dengan trnsaksi.
Kesepuluh, beberapa ulama berpendapat bahwa penulisan utang piutang itu hukumnya wajib bagi yang bersangkutan. Ayat inilah yang mewajibkannya, entah itu berupa pinjaman atau berupa jual beli. Agar tidak terjadi pengingkaran di masa yang akan datang. Sedangkan jumhur ulama berpendapat bahwa perintag penulisan utang ini disunahkan saja, untuk penjagaan atas harta dan keragu-raguan pun dapat sirna. Jika orang yang berhutang adalah orang yang bertaqwa maka ia tidak akan merasa terganggu dengan penulisan tersebut sebagai dokumen yang dapat dipercayai atas utangnya dan sebagai kebutuhan bagi pemilik harta.
Kesebelas, Firman Allah SWT, وليكتب بينكم كا تب با لعدل “ Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar.” Atha’ serta ulama lainnya mengatakan[8], Yang diwajibkan untuk menuliskannya adalah seorang penulis (yang bekerja dibidang tersebut/seorang yang dipercaya).

Adapun mengenai huruf lam taukid yang dituliskan   pada awal kata ini dan dihapuskan pada kata sebelumnya, adalah karena bentuk kata kedua ini adalah ghaib (orang ketiga) sedangkan bentuk kata pertama adalah mukhathab (orang kedua). Namun bisa juga huruf lam taukid ini diletakkan pada kata mukhathab-nya dan dihapuskan pada kata ghaib­-nya, seperti yang disebutkan dalam firman Allah SWT. فلتفر حوا bagi yang membacanya dengan menggunakan huruf ta’.
Kedua belas, Firman Allah SWT, وليكتب بينكم كا تب بالعدل“Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar.” Makna dari kata بالعدل pada ayat ini adalah dengan benar dan sesuai. Yakni, ia tidak menuliskan lebih dari yang semetinya atau kurang dari yang seharusnya.
Adapun alasan dari penyebutan kata بينكم “diantara kamu” dan bukan احدكم “salah satu dari kamu” adalah, karena jika yang menuliskannya adalah salah satu dari pihak yang bertransaksi maka bisa jadi pihak yang lainnya akan menuduh penyelewengan penulisannya. Oleh karena itu, Allah SWT. penulisan tersebut oleh penulis diluar dari kedua orang yang bertransaksi, dan dengan cara benar, tidak memihak salah satu diantara keduanya.
Ketiga belas, Huruf ba’ pada firman Allah SWT. بالعدل itu kaitannya kepada firman-Nya وليكتب, bukan kepada kata كا تب, karena dalam penulisan ini tidak perlu seorang yang benar untuk menuliskannya, namun yang terpenting adalah ia menuliskannya dengan benar. Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa penulisan dokumen sebaiknya tidak ditulis oleh seseorang kecuali ia benar-benar mengetahui perihal isi dokumen tersebut, dan ia juga dapat dipercaya. Dalilnya adalah firman Alllah SWT.
Al Qurthubi berpendapat, Jika demikian, huruf ba’ pada firman Allah SWT. بالعدل itu kaitannya kepada kata كا تب, yakni sebaiknya penulisan tersebut ditulis oleh seorang penulis yang benar. Dengan demikian, maka kata بالعدل pada ayat ini berposisi sebagi sifat dari si penulis.
Keempat belas, Firman Allah SWT. ولا يأب كاتب أن يكتب كما علمه اللهDan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagimana Allah telah mengajarkannya.” Pada ayat ini Allah SWT. melarang penulis atau pencatat untuk menolak jika diminta untuk menuliskannya.
Ath-Thabari dan Rabi’ berpendapat bahwa penulisan itu diwajibkan bagi seorang penulis jika ia diminta. Sedangkan Al Hasan berpendapat: Penulisan itu diwajibkan atasnya jika tidak ada lagi selai dia, karena dengan menolak maka hal itu akan manyulitkan pemilik piutang. Namun jika ada penulis lain selainnya maka ia diberi kebebasan memilih, ia mau atau tidak mau menulis. As-Suddi menambahkan: Penulis tersebut tetap diwajibkan jika ia dalam keadaan tidak sibuk dan memiliki banyak waktu kosong.
Al Mahdawi meriwayatkan dari Rabi’ dan Adh-Dhahak bahwa firman Allah SWT, ولا يأب كاتب أن يكتب Dan janganlah penulis enggan menuliskannya” ini telah dihapus dengan firman Allah SWT, ولا يضار كاتب ولا شهيدDan janganlah penulis dan saksi merasa dipersulit (dipaksa).”
Al Qurthubi berpendapat, ini sejalan dengan pendapat yang mengira bahwa pada masa awal Islam penulisan ini diwajibkan bagi setiap penulis yang dipilih oleh kedua orang yang bertransaksi, ia tidak boleh menolak permintaan tersebut, hingga akhirnya kewajiban ini dihapus dengan firman Allah SWT, ولا يضار كاتب ولا شهيدDan janganlah penulis dan saksi merasa dipersulit (dipaksa).”
Pendapat hukum nasakh (penghapusan) pada ayat ini sangat jauh dari kebenaran, karena belum ada satu orang pun, yang pendapatnya itu dapat dibuktikan, yang mengatakan bahwa seorang penulis itu diwajibkan untuk menuliskannya sebuah transaksi jika dikehendaki oleh kedua orang yang bertransaksi.
Jika saja penulisan ini diwajibkan, maka tidak mungkin dibenarkan penyewaan jasa tulis, karena penyewaan pada perbuatan yang wajib itu tidak diperbolehkan. Sedangkan para ulama sepakat bahwa mengambil keuntungan dari penyewaan jasa tulis untuk penulisan dokumen atau yang lainnya itu dibenarkan.
Kelima belas, Firman Allah SWT, كما علمه الله فليكتبSebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis.” Huruf kaf pada kata كما itu kaitannya kepada firman-Nya أن يكتب, yang maknanya menuliskan transaksi itu sebagaimana Allah telah mengajarkannya untuk menulis.
Atau kata كما, ada kaitannya kepada firman-Nya ولا يأب, yang maknanya menjadi: sebagaimana engkau telah diberikan kenikmatan oleh Allah SWT. dengan ilmu penulisan maka janganlah kamu enggan menuliskannya, gunakanlah fadhilah yang Allah telah fadhilahkan kepadamu.
Keenam belas, Firman Allah SWT, وليملل آلذى عليه آلحق وليتق آلله ربه, ولا يبخس منه شيىاDan hendaklah orang yang berutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Rabbnya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada utangnya.” Yakni agar orang yang berutang dapat mengakui dengan lisannya sendiri tentang pinjaman tersebut, dan mendiktekannya kepada si penulis agar ia dapat memahaminya.
Ayat ini Allah SWT. memerintahkan kepada orang yang berutang untuk mendiktekan apa yang harus dituliskan oleh si penulis, karena persaksian itu diambil dari pengakuan yang berutang tadi melalui pengejaannya. Allah SWT. juga memerintahkan kepadanya untuk bertakwa kepada-Nya atas apa yang didiktekannya itu. Allah SWT. juga melarang untuk mengurangi sedikitpun dari utangnya dan menyimpang dari kebenaran.
Ketujuh belas, Firman Allah SWT. فان كا ن آلذي عليه آلحق سفيها أوضعيفا أولا يستطيع أن يمل هوJika yang berutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya), atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan (mendiktekan).” Beberapa pendapat mengatakan bahwa maksud dari kata سفيها pada ayat ini adalah anak-anak yang masih kecil. Namun maksud tersebut tidak dapat diterima, karena kata سفيها sering pula disebutkan untuk orang-orang yang sudah besar namun tidak berakal.
Kedelapan belas, Firman Allah SWT, أو ضعيفا أولا يستطيع أن يمل هو فليملل وليه, بالعدلAtau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur.” Makna dari kata ضعيفا pada ayat ini adalah orang-orang yang lemah akalnya secara fitrah dan orang-orang yang tidak mampu untuk mengeja, entah itu karena penyakitnya atau ketuliannya atau atau karena yang lainnya. Jika demikian, maka yang berhak menjadi walinya adalah orang tuanya atau aahli warisnya. Jika para wali ini juga tidak dapat menyaksikannya, entah karena sakit ataupun alasan syar’i lainnya, maka yang menjadi walinya adalah perwakilan dirinya.
Sembilan belas, Firman Allah SWT, فليملل وليه بالعدلMaka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur.” Ath-Thabari berpendapat bahwa dhamir yang terdapat pada kata وليه itu kembalinya pada kata آلحق, lalu ia menyandarkan pendapatnya ini kepada Rabi’ dan Ibnu Abbas. Adapula yang berpendapat bahwa tempat kembalinya dhamir tersebut adalah الذى عليه آلحقorang yang berutang itu.” Pendapat inilah yang benar, sedangkan pendapat yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas itu tidak dapat dibenarkan. Karena bagaimana mungkin utang itu dapat dipersaksikan, dan memberikan beban utang itu kepada orang yang lemah akalnya, dengan tulisan yang diejakan dari orang yang memiliki piutang? Ini bukanlah ajaran syariat yang benar.
Keduapuluh, Firman Allah SWT, وليملل الذى عليه آلحق  “Dan hendaklah orang yang berutang itu mengimlakkan (apa yangakan ditulis itu).” Ayat ini menunjukkan bahwa orang yang berutang itu lebih dapat dipercaya mengenai apa yang diucapkan mengenai apa yang diucapkan dan disandarkan darinya mengenai utangnya.
Hal ini juga menandakan bahwa ucapan orang yang menggadaikan (beserta sumpahnya) itu lebih dapat diterima daripada ucapan orang yang menerima penggadaiannya, yaitu tatkala mereka berselisih paham tentang banyaknya utang orang yang menggadaikan. Misalkan orang yang menggadaikan mengatakan: “aku menggadaikan barang ini dan menerima uang lima puluh ribu”  sedangkan yang menerima penggadaiannya mengatakan: “aku menerima barang ini dan menyerahkan uang seratus ribu”. Maka yang diterima adalah perkataan dari orang yang menggadaikan.
Pendapat ini adalah diikuti oleh kebanyakan para ulama. Ibnu Al-Mundzir juga menambahkan, karena biasanya orang yang menerima penggadaian itu menginginkan uang kembali yang lebih banyak dari uang yang diberikannya.
Pegadaian biasanya memberikan uang lebih sedikit dari harga barang yang digadaikan, dan tidak mungkin yang setara. Oleh karena itu, pendapat yang mengatakan bahwa “orang yang menerima penggadaian masih dianggap jujur apabila yang didakwakan masih harga yang setara dengan harga barang yang digadaikan” maka hal ini tidak dapat diterima.
Keduapuluh satu, Firman Allah SWT, وآستشهدوأ شهيد ين من رجا لكمDan dipersaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang –orang lelaki (diantara kamu).” Makna dari kata وآستشهدوأ pada ayat ini adalah meminta mereka untuk menyaksikan atau bersaksi. Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum kesaksiannya, apakah diwajibkan atau disunahkan. Namun hukum yang benar dari sebuah persaksian adalah disunahkan.
Keduapuluh dua, Firman Allah SWT, شهيد ينDua orang saksi.” Allah SWT. telah menetapkan persaksian dengan segala hikmahnya dalam hak keuangan, jasmani, dan hukuman. Allah SWT. juga telah menetapkan untuk setiap jenisnya mengharuskan dua saksi.
Keduapuluh tiga, Firman Allah SWT, من رجا لكمDari orang-orang lelaki (di antaramu).” Ini adalah bentuk ketetapan yang tidak memerlukan penafsiran pada kesaksian yang harus dilakukan oleh dua orang laki-laki dewasa yang beragama Islam. Oleh karena itu, persaksian akan ditolak jika dilakukan oleh orang kafir, wanita, dan anak-anak. Adapun hamba sahaya, lafazh ayat ini juga meliputi mereka. Para Mujahid dan diikuti oleh Al Qadhi Abu Ishak mengatakan: yang dimaksud dari ayat tersebut adalah orang-orang yang merdeka saja.
Persaksian bagi orang yang tuna netra, beberapa ulama menerima persaksian tersebut jika ia mendengarkan langung dari suara orang lain, karena ia seakan telah mengambil kesimpulan dengan pendengarannya hingga sampai batas meyakini. Mereka juga berpendapat bahwa kemiripan suara itu seperti layaknya kemiripangambar dan warna. Namun pendapat ini lemah, kerena dengan berpendapat seperti itu berarti memperbolehkan sandaran kepada suara bagi orang yang tidak buta.
Al Qurthubi berpendapat, Mengenai persaksian orang buta, dalam madzhab Malik disebutkan bahwa persaksian atas suara itu dibolehkan pada masalah perceraian atau yang lainnya, apabila ia benar-benar mengenali suara tersebut.
Keduapuluh empat, Firman Allah SWT, فان لم يكونا ر جلين فرجل وآمر أتانJika tidak ada dua oarng lelaki, maka boleh seorang lelaki dan dua orang perempuan.” Maknanya adalah, jika orang yang meminta dipersaksikan tidak mendatangkan dua orang laki-laki maka ia harus menghadirkan satu orang laki-laki dan dua orang wanita. Ini adalah pendapat dari jumhur ulama.
Kata فرجل pada ayat ini marfu’ (berharakat dhammah) karena ia sebagai mubtada’ (sujek), sedangkan kata وآمر أتان adalah sambungan darinya. Adapun khabar dari kalimat tersebut tidak disebutkan. Kemungkinan yang seharusnya adalah: maka seorang laki-laki dan dua orang perempuan yang menggantikan persaksian dua orang laki-laki tadi.
Kata فرجل ini dapat juga menjadi manshub (berharakat fathah), yakni: persaksikanlah satu laki-laki dan dua perempuan.
Ulama lain menafsirkan, makna dari ayat ini jika tidak ada dua orang laki-laki. Dengan demikian, persaksian dua orang wanita dengan satu orang laki-laki ini tidak diperbolehkan jika masih ada satu orang laki-laki lain
Ibnu Athiyah mengatakan[9] pendapat ini lemah, karena lafadzh ayat tidak menunjukkan seperti itu. Yang jelas dari ayat diatas adalah seperti yang dikatakan oleh jumhur ulama, yakni jika yang bersaksi itu bukan dua orang laki-laki, yakni jika pemilik piutang lupa mendatangkan dua orang laki-laki sebagai saksi, atau ia tidak dapat mendatangkan dua orang laki-laki sebagai saksi karena ada alasan tertentu yang syar’I, maka persaksian itu dibolehkan untuk dilakukan oleh satu orang laki-laki dan dua orang wanita
Hal ini dibolehkan hanya untuk masalah keuangan saja, tidak untuk yang lainnya, karena pada masalah keuangan Allah SWT telah menyebutkan banyak sekali cara meratifikasikannya, juga karena banyaknya bentuk pencarian, dilakukan oleh semua orang, dan pengulangannya
Tidak ada satu orang yang tahu tentang agama akan mengatakan bahwa firman Allah SWT, إِذَاتَدَايَنتُم بِذَيْنِ “ Apabila kamu bermualmalah tidak secara tunai”  juga mencakup utang dalam masalah mahar, perdamaian, atau diyat pada sebuah pembunuhan. Karena persaksian atas perkara-perkara tersebut bukanlah persaksian atas perutangan, akan tetapi persaksian atas pernikahan
Keduapuluh lima, Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum tersebut, yakni persaksian anak-anak kecil jika ada yang tersakiti tubuhnya diantara mereka. Menurut imam Malik persaksian itu dibolehkan apabila mereka tidak saling berbeda pendapat dan belum berpisah. Namun tetap persaksian tersebut tidak boleh kurang dari dua orang.
Berbeda pendapat dari Syafi’I dan Abu Hanafiah beserta para pengikutnya, mereka tidak membolehkan persaksian yang dilakukan oleh anak-anak kecil. Dalilnya adalah firman Allah SWT, مِن رِّجَالِكُمْ“Dari saksi-saksi yang kamu ridhai” Dan firman Allah SWT, وَأَشْهِدُوأذَوَىْ عَدْلٍ مِّنكُمْ “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu” (Qs.Ath-Thalaq [65]: 2)
Keduapuluh enam, Allah SWT telah menjadikan persaksian dua orang wanita itu sama dengan persaksian satu orang laki-laki maka hukum dua orang wanita sama dengan hukum satu orang laki-laki. Oleh karena itu, dalam madzhab kami (Maliki) dan juga madzhab Syafi’I, karena persaksian satu orang laki-laki sudah cukup jika disertakan dengan sumpah, maka begitu juga dengan persaksian dari dua orang wanita jika menyertakan sumpah
Hal ini dibantah imam Abu Hanifah beserta para pengikutnya, mereka mengatakan, Sesungguhnya Allah SWT telah membagi-bagikan hukum persaksian menurut perannya masing-masing, dan Allah SWT tidak menyebutkan persaksian yang disertakan dengan sumpah. Pendapat ini juga diikuti oleh Ats-Tsauri, Al Auza’I, Atha’, Hakam bin Utaibah, dan beberapa kalangan lainnya.
Tidak ada dalam firman Allah SWT, واستشهد وأشهيدين من رجالكم...“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu)…” hingga akhir ayat, yang menandakan bahwa ayat ini bertentangan dengan ketetapan Rasulullah SAW yang membolehkan persaksian yang menyertakan sumpah.
Para imam hadits meriwayatkan sebuah hadits dari Ibnu Abbas, ia mengatakan bahwa Nabi SAW telah menetapkan satu orang saksi dengan menyertai pengambilan sumpah.
Para sahabatpun tidak ada yang mengingkari hukum pembolehan satu orang saksi dengan disertai sumpah ini, justru yang diriwayatkan dari mereka adalah pendapat dan praktek yang sama.
Keduapuluh tujuh, Al Qadhi Abu Muhammad bin Abdul Wahab berpendapat, Kesaksian itu hanya untuk perkara keuangan dan yang berkaitan dengannya, bukan pemutusan perkara yang berkaitan dengan tubuh (hukuman qishash atau hukuman lainnya). Dalilnya adalah ijma para ulama yang berpendapat seperti ini. Ia melanjutkan: Karena perkara keuangan lebih ringan daripada perkara tubuh, buktinya adalah diterimanya kesaksian para wanita dalam masalah ini.
 Al Mahdawi menyampaikan, Dalam masalah hudud (peraturan hukuman), kesaksian para wanita itu tidak diperbolehkan, menurut pendapat para ulama pada umumnya. Begitu juga dalam masalah pernikahan dan perceraian, menurut pendapat kebanyakn ulama. Pendapat ini juga diikuti oleh madzhab Maliki, madzhab Syafi’I, dan madzhab-madzhab lainnya. Lalu madzhab Maliki menambahkan: Mereka (para wanita itu) hanya diperbolehkan melakukan kesaksiaan dalam masalah keuangan saja.
Keduapuluh  delapan, Firman Allah SWT, ممّن ترضون من الشّهداء “Dari saksi-saksi yang kamu ridhai”. Kalimat ini terletak pada posisi marfu’ (berharakat Dhammah), karena kalimat ini sebagai keterangan sifat dari satu orang laki-laki dan dua orang perempuan pada kalimat sebelumnya.
Ibnu Bukhari dan ulama lainnya berpendapat bahwa kalimat ini ditujukan kepada para hakim untuk memilih para saksi yang mereka ridhai. Namun pendapatan ini dibantah oleh Ibnu Athiyah, ia mengatakan pendapat ini tidak baik
Keduapuluh sembilan, Firman Allah SWT, ممّن ترضون من الشّهداء“Dari saksi-saksi yang kamu ridhai”. Firman ini menandakan bahwa para saksi itu belum tentu disukai dan diterima oleh orang lain. Dari sinilah lalu para ulama mensyaratkan kepada para saksi untuk memiliki sifat baik, adil dan tidak berpihak kepada siapapun.
Berbeda pendapat dengan Abu Hanifah, ia mengatakan: siapapun yang beraga islam yang nyata keislamannya dan tidak berbuat kefasikan secara nyata, maka ia diperkenankan untuk melakukan kesaksian. Walaupun ia seorang yang tidak diketahui keadaanya.
Al-Qurthubi) berpendapat, ini memperluas wilayah siapa saja yang diperbolehkan untuk bersaksi, termasuk juga diantaranya kesaksian orang-orang badui (kalangan masyarakat terisolir/hidup tidak menetap dan selalu berpindah-pindah atas orang-orang perkotaan (kalangan masyarakat modern/masyarakat yang menetap disuatu daerah tertentu). Dengan syarat orang badui tersebut juga bersifat adil dan diridhai kesaksiannya. Sedangkan Ahmad bin Hanbal, dan sebuah riwayat dari Malik yang disampaikan oleh Ibnu Wahab, menjelaskan bahwa kesaksian orang-orang badui atas orang-orang perkotaan itu tidak dapat diterima.
Dalil mereka adalah hadits Nabi SAW yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa beliau pernah bersabda,                                                                      لاَتَجُوزُشَهَادَةُبَدَوِيِّ عَلَى صَاحِ قَرْيَةٍ   
“Kesaksian orang Badui terhadap orang perkotaan itu tidak diperbolehkan”[10]
Ketigapuluh, jika ada seseorang yang memiliki kepribadian yang agung yang tidak dimiliki oleh orang lain, dan kelebihan akhlak yang dapat dibanggakan, maka sifat seperti ini membuat orang tersebut lebih berhak untu bersaksi dibandingkan orang lain.
Menurut madzhab kami, hal ini merupakan bukti yang kuat untuk hukum yang lain, yakni pembolehan berijtihad dan mengambil intisari dari sebuah dalil, dengan tanda-tanda yang terlihat jelas ataupun yang tersembunyi dari makna dan hukum yang tertulis.
Ketigapuluh satu, Abu Hanifah berpendapat, bahwa dalam perkara keuangan seorang saksi hanya cukup memiliki syarat keislaman saja, namun tidak dalam perkara hudud (hukuman). Namun pendapat ini ditentang oleh Ibnu Al-Arabi, ia mengatakan bahwa pemisahan ini telah menggugurkan pendapatnya sendiri dan membenamkan maksudnya.
Ketigapuluh dua, menurut Al Qurthubi, Pendapat Abu Hanifah pada bagian ini sangat lemah sekali, karena Allah SWT sendiri telah mensyaratkan keridhaan dari sifat adil, dan seseorang tidak dapat dikatakan diridhai hanya karena menyandang status islam saja
Firman Allah SWT;
(٢٠٤) الْخِصَام أَلَدُّ وَهُوَ ،قَلْبِهِ فِي مَا عَلَى اللّهَ وَيُشْهِدُ الدُّنْيَا الْحَيَاةِ فِي ،قَوْلُهُ يُعْجِبُكَ مَن النَّاسِ وَمِنَ
الفَسَاد يُحِب  لاوَاللّهُ وَالنَّسْلَ الْحَرْثَ وَيُهْلِكَ فِيِهَا لِيُفْسِدَ الأَرْضِ فِي سَعَى تَوَلَّى وَإِذَا
“Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang paling keras. Dan apabila ia berpaling (dari mukamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanaman-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan.” (Qs.Al Baqarah [2]: 204-205)
Ketigapuluh tiga, Firman Allah SWT, أن تضل إحدنهما فتذكرإحدنهماالأخرى “Supaya jika seseorang lupa maka seorang lagi mengingatkan. Mengenai makna dari kata تضل,Abu Ubaid mengatakan artinya adalah terlupakan(namun arti sebenarnya dari kata tersebut adalah tersesat). Maksud tersesat dalam suatu kesaksian adalah ingat pada satu bagian dan lupa pada bagian lainnya, lalu orang yang tersebut kebingungan hingga akhirnya tersesat dalam kesaksiannya.
Adapun kata أن yang menjadi bacaan jumhur, dibaca oleh Hamzah menjadi إن (dengan menggunakan harakat kasrah pada huruf hamzah) yang berarti kata tersebut adalah kata klausa, dan jawabnya terdapat pada kata فتذكر
Ketigapuluh empat, Firman Allah SWT, فتذكرإحدنهماالأخرى“ Maka seorang lagi mengingatkannya”. Kata فتذكر yang dibaca oleh jumhur demikian, berbeda dengan qira’at yang dibaca oleh Ibnu Katsir dan Abu Amru, yaitu فتذكر (dengan menghilangkan tsydid pada huruf kaaf), yang maknanya menjadi agar mereka dapat menjadi seperti laki-laki dalam bersaksi.
Al Qurthubi berpendapat, Namun Abu Amru meralat pendapatnya dan mengikuti pendapat jumhur , yakni jika salah satu dari kedua wanita itu terlupa maka wanita yang lainnya akan mengingatkannya.
Ketigapuluh lima, Firman Allah SWT,  ولا يا ب ا لشهد ا ء ٳ ذ ا ما د عو ٲ
“Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil.”
Al Hasan mengatakan, firman ini terkumpul dua makna sekaligus, yaitu janganlah anda menolak apabila anda diminta untuk mendatangkan saksi dan janganlah anda menolak apabila anda diminta untuk menjadi saksi. Pendapat ini juga pernah disampaikan oleh Ibnu Abbas.
Lalu makna lainnya juga disampaikan oleh Ibnu Abbas dan Qatadah dan Rabi’ yakni, agar mereka dapat pertanggungjawabkan dan membuktikan apa yang mereka persaksikan.
Al Qurthuby mengatakan, ayat ini dapat juga sebagai dalil bagi seorang imam untuk membentuk tim saksi, yang dibiayai dari baitul mal. Dengan demikian tim tersebut tidak akan disibukkan dengan hal lainnya kecuali menyalurkan dan menjaga setiap hak untuk diberikan kepada pemiliknya masing-masing. Karena jika tim ini tidak dibentuk maka akan ada hak-hak yang dapat hilang. Ataupun terdzalimi. Dengan begitu maka ayat ini adalah: para saksi harus memenuhi permintaan seorang iman untuk bersaksi.
Ketigapuluh enam, setelah dipahami, firman Allah SWT ketigapuluh delapan, ولا يا ب ا لشهد ا ء ٳ ذ ا ما د عو ٲ , menunjukkan bahwa saksilah yang harus menyerahkan dirinya kepada hakim untuk bersaksi, hal ini juga seperti yang ditunjukkan oleh syari’at, dipraktekkan dari zaman ke zaman dan yang dipahami juga oleh umat secara umum.
Ketigapuluh tujuh, jika telah terbukti demikian adanya, maka para hamba sahaya tidak dapat dimasukkan dari kelompok para saksi. Keterangan ini mengkhususkan keumuman firman Allah SWT, من ر جا لكم“ Dari orang-orang lelaki (diantaramu).” Karena seorang hamba sahaya tidak mungkin memenuhi sebuah panggilan, dan ia juga tidak diperbolehkan datang, karena ia tidak memiliki kemerdekaan untuk memutuskan sendiri, semua gerak geriknya harus seizin orang lain yang memilikinya.
Ketigapuluh delapan, Sabda Rasulullah SAW,  لهأ   خيرالشهداءالذ ي يٲ تي بشهادته قبل ٲ ن يس “Sebaik-baiknya saksi adalah yang datang dengan kesaksiannya sebelum diminta[11].” Hadits ini diriwayatkan oleh para imam hadits.
Paling benar adalah, bahwa melakukan kesaksian itu diwajibkan, walaupun tanpa diminta, apabila ia yakin jika ia tidak melakukannya maka akan ada hak yang hilang, atau terlambat diberikan, atau akan terjadi percampuran suami istri setelah perceraian, atau akan terjadi kesewenang-wenangan atas seorang mantan budak yang telah dibebaskan oleh mantan tuannya, atau yang lain sebagainya. Oleh karena itu orang tersebut diwajibkan melakukan kesaksian dan juga semestinya tidak menunggu diminta untuk bersaksi, agar tidak ada hak yang akan hilang.
Ketigapuluh sembilan,  Ibnu Al Qasim dan ulama lainnya mengatakan bahwa tidak diragukan lagi bahwa seseorang yang diwajibkan untuk melakukan kesaksian , lalu ia tidak melakukannya maka perbuatannya itu akan berbekas pada dirinya dan kesaksiannya, entah itu kesaksian untuk hak kemanusiaan ataupun hak  ke-Tuhan-an.
Keempatpuluh, sebuah riwayat dari Imam bin Hushain menyebutkan, Rasulullah SAW pernah bersabda:
 إن خيركم فرني شم الذين يلونهم ثم الذين يلونهم ثم الذين يلونهم— ثم قال عمران — فلاأدري,أفالرسول الله صلىالله عليه وسلم بعدفرنه – مرتين أوشلاشة – شم يكون بعدهم قوم يشهدونولايستشهدون, ويخونون ولايؤتمنون, ويندرون ولايوفون, ويظهرفهم السمن.
“sesungguhnya sebaik-baik (orang yang beriman diantara) kamu adalah (orang-orang yang berada pada) zamanku (para sahabat), kemudian orang-orang setelah mereka (Tabi’it Tabi’in), kemudian orang-orang setelah mereka - Imran mengatakan:  Aku tidak tahu apakah Rasulullah SAW menyebut setelah zamannya sebanyak dua kali atau tiga kali – kemudian setelah mereka akan ada suatu kaum yang bersaksi tanpa diminta, banyak orang yang berkhianat hingga tidak ada lagi yang dapat dipercaya, bernadzar tapi tidak melaksanakannya, dan nampak pada mereka kegemukan (karena cinta yang berlebihan pada makan dan minum).[12]” Hadits ini diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim.
Sesungguhnya hadits ini (yang menyebutkan: “Kemudian setelah mereka akan ada suatu kaum yang bersaksi tanpa diminta” tidak bertentangan dengan hadits Nabi  SAW yang menyebutkan: “Sebaik-baik saksi adalah yang datang dengan kesaksiannya sebelum diminta.”
Makna “tanpa diminta” pada hadits yang pertama ada tiga kemungkinan:
a.        Saksi palsu, karena saksi palsu biasanya akan bersaksi tanpa diminta.
b.        Melakukan kesaksian dengan bermaksud jahat.
c.        Seperti yang dikatakan oleh Ibrahim An-Nakha (salah satu perawi sanad hadits ini) ketika ia mengomentari hadits ini: mereka melarang orang lain melakukan kesaksian, seakan orang lain adalah kerdil dan tidak mampu melakukannya.
Keempatpuluh satu, Firman AllahSWT, ولاتسئموٱٱن تكبو ه صغيرا ٲو كبيراٳلىٲجله  “Dan janganlah kamu jemu menulis utang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya.” Larangan untuk merasa bosan pada ayat ini karena seringnyatransaksi jual beli dan dilakukan oleh siapapun, dikhawatirkan para penulis itu merasa jemu untuk menulisnya. Misal dengan mengatakan, ini hanya transaksi yang sangat sedikit, aku tidak perlu menuliskannya.
Keempatpuluh dua, Firman Allah SWT, ذلكم أقسط عند ا لله وأ قوم للشهدة وأدنى ألاترتابوٱ “Yang demikian itu, lebih adil disisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu.” Makna kata  أقسط adalah lebih adil, jika penulisan dilakukan kepada yang kecil dan besar. Sedangkan makna kata  وأ قوم adalah lebih menjaga, lebih menguatkan, dan lebih benar. Makna kata وأدنى adalah lebih dekat, ألا  adalah untuk tidak, sementara  ترتابو adalah ragu-ragu.
Keempatpuluh tiga, Firman Allah SWT, وٲقوم للشهدة “Dan lebih dapat menguatkan persaksian.” Kalimat ini adalh sebuah dalil bahwa jika seorang saksi melihat sebuah tulisan mengenai sebuah transaksi, namun ia tidak pernah mengingat pernah menyaksikannya, maka ia tidak diwajibkan untuk menunaikan kesaksiannya, karena ia telah dimasuki oleh keragu-raguan didalam hatinya. Ia hanya diharuskan untuk menunaikan suatu kesaksian yang ia yakini saja. Jika orang tersebut mengatakan: “ini memang tulisanku, namun saat ini aq tidak ingat bahwa aku pernah menuliskannya” maka orang ini tidak diwajibkan bertransaksi.
Keempatpuluh empat, Firman Allah SWT,ٳلاأ ن تكو ن تجر ة حا ضر ة تد يرونها بينكم فليس عليكم جنا ح ألاتكتبوها  “(tulisan muamalah itu), kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan diantara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. ”Al Akhfasy Abu Sa’id berpendapat: maknanya adalah, kecuali terjadi jual beli. Dengan demikian makna kata تكو ن  bermakna telah terjadi.
Keempatpuluh lima, Firman Allah SWT, “yang kamu jalankan diantara kamu.” Kalimat ini menunjukkan bahwa kedua orang yang bertransaksi itu telah melakukan serah terima, yakni berpisah dengan membawa hasil transaksi mereka masing-masing. Imam syafi’I pernah mengatakan: transaksi itu ada tiga macam;
1.     Transaksi dengan cara ditulis atau dipersaksikan.
2.     Transaksi dengan cara menggadaikan sesuatu.
3.     Transaksi dengan cara memegang amanah
Ibnu Umar pun ketika bertransaksi memiliki cara tersendiri, jika secara tunai maka ia akan mempersaksikannya, dan jika secara berkala maka ia akan menulisnya.
Keempatpuluh enam, Firman Allah SWT, و ٲ ثهد و ا إ ذ ٳ تبا يعتم  “dan persaksikanlah apabila kamu jual beli.” Ath-Thabary mengatakan: meknanya adalah persaksikanlah transaksi yang anda lakukan, entah itu transaksi yang besar ataupun yang kecil.
Al Qurthubi berpendapat, semua ini adalah penafsiran yang sangat baik dari suatu dalil. Namun ada yang lebih baik lagi, yaitu sebuah hadits yang tidak perlu untuk ditafsirkan lagi, mengenai jual beli yang tidak menggunakan persaksian, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Ad-Daraquthni dari Thariq bin Abdillah Al Muharibi, ia pernah bercerita:
Suatu hari, kami yang berasal dari Rabadzah dan  Rabadzah selatan, mengadakan suatu perjalanan. Sesampainya kami di suatu tempat yang sangat dekat dengan kota madinah, kami berhenti sejenak untuk beristirahat bersama istri-istri kami. Ketika kami sedang duduk duduk, lalu datanglah seorang laki laki yang mengenakan pakaian berwarna serba putih, ia mengucapkan salam kepada kamu dan langsung kami jawab. Lalu ia berkata: “Darimanakah kelompok perjalanan ini berasal?” Kami menjawab: “Dari Rabadzah dan Rabadzah selatan”.
Kemudian kami pun bercengkrama sambil melanjutkan istirahat kami. Pada  saat orang tadi melihat bahwa kami membawa unta merah, orang tua itu mengatakan: “apakah kalian akan menjual unta ini?” kami menjawab: “benar kami akan menjualnya.” Ia bertanya lagi: “Berapakah harganya ?” Kami menjawabnya: “kadza wa kadza sha” (sejumlah takaran) buah kurma.” Tanpa menawar dan tanpa basa basi lagi orang tersebut menerima harga yang kami ajukan, lalu bertanya: “Aku akan membeli unta ini.” Kemudian ia langsung menarik tali kendali unta tersebut dan  masuk ke kota Madinah.
Lalu kami menyadari bahwa kami sama sekali tidak mengenal orang tersebut, dan kami pun saling menyalahi satu sama lain. “Kita telah menyerahkan unta kita kepada orang yang tidak kita kenal” Lalu salah satu istri kami menenangkan kami : “janganlah kalian saling menyalahkan, aku melihat wajah orang itu dengan seksama dan sepertinya aku mengenalinya, ia tidak akan menipu kalian. Kareena aku tidak pernah melihat ada seseorang yang bersinar wajahnya seperti itu, seperti cahaya bulan yang bersinar pada malam purnama.”
Kemudian ketika malam tiba, ada seorang laki-laki yang datang kepada kami dan mengatakan: “As-Salam’alaikum,saya diutus oleh Rasulullah SAW untuk menjamu kalian, beliau mempersilahkan anda semua untuk memakan kurma ini hingga kenyang, dan meinimbang kurma ini hingga mencukupi harga unta yang dibeli oleh beliau.” Lalu kami pun memakannya hingga kami merasa kenyang, dan kami juga menimbangnya sesuai harga yang telah kami tetapkan.
Keempatpuluh tujuh, Firman Allah SWT     ولايضار كاتب ولا شهيىد “Dan janganlah penulis dan saksi merasa dipersulitkan (dipaksa).” Mengenai makna firman ini ada tiga pendapat dari para ulama:
1.     Seorang penulis tidak boleh menulis jika tidak didetekkan, dan seorang saksi tidak boleh menambahkan atau mengurangi dalam kesaksiaannya. Pendapat ini disampaikan oleh Al Hasan, Qatadah, Thawus, Ibnu Zaid, dan ulama lainnya.
2.     Diriwayatkan dari ibnu abbas, Mujahid, dan Atha’, Bahwa makna firman ini adalah larangan untuk memaksa seorang penulis untuk menuliskan, dan larangan memaksa saksi untuk bersaksi. An- Nuhas maengatakan: Abu Ishak lebih condong dengan pendapat ini. Lalu An-Nuhas juga menambahkan : karena kalimat setelahnya : وان تفعلوا فانه فسوق بكم       "jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu.” Karena, saksi yang melakukan kesaksian palsu atau menulis yang menambah tulisan yang bukan menjadi haknya disebut dengan orang fasik, maka orang yang meminta seorang saksi untuk menulis atau menjadi saksi, padahal orang ini sangat sibuk, maka orang yang meminta menjadi saksi ini lebih pantas disebut dengan orang fasik. Asal kata يضار menurut kedua pendapat ini adalah   يضارر(dengan menggunakan harakat kasrah pada huruf ra’  pertama) kemudian kedua huruf ra’ tersebut di- idghamkan (disatukan), dan huruf ra’ yang sudah disatukan tadi dibaca dengan harakat fathah, karena lebih ringan untuk dibaca. Asal kata ini didukung oleh bacaan yang dibaca oleh Umar bin Khattab, Ibnu Abbas, dan Ibnu Ishak (yakni: يضارر)
3.    Pendapat ini disampaikan oleh mujahid, Adh-Dhahak, Thawus dan As-Suddi dan diriwayatkan pula dari ibnu abbas. Firman Allah SWT,                                                 ولايضار كاتب ولا شهيىد
“Dan janganlah penulis dan saksi merasa dipersulitkan (dipaksa). “Maknanya adalah: memanggil saksi untuk mempersaksikan, atau memanggil penulis untuk mempernuliskan, padahal mereka sedang sibuk. Jika mereka menyampaikan minta maaf dan menyampaikan alasan kenapa tidak bisa memberikan persaksian atau menulis, dan peminta tetap memaksa, dan apalagi dengan mengatakan: “jika anda menolak berarti anda melanggar perintah Allah” atau yang semacamnya, maka hal ini akan membuat mereka merasa kesulitan. Lalu Allah SWT melarang perbuatan ini (yakni memaksa penulis atau apapun saksi), karena jika mereka diberikan beban tersebut maka waktu untuk mereka beribadah dan mencari rizki akan lebih sempit dari pada biasanya.

Asal kata يضا ر  menurut pendapat ini adalah يضارر  (dengan menggunakan harakat fathah pada huruf ra’ pertama). Asal kata ini didukung oleh bacaan yang dibaca oleh Ibnu Mas’ud.
Bentuk rafa’ (harakat dhammah) yang ada pada kata كا تب dan شهيد  menurut pendapat pertama dan kedua adalah karena mereka sebagai fa’il (subjek) dari kalimat tersebut. Sedangkan menurut pendapat ketiga adalah karena mereka sebagai Maf’ul (objek) yang menggantikan tempat fa’il yang tidak disebutkan.
 Keempatpuluh delapan, Firman Allah SWT, وان تفعلوا فانه, فسوق بكم “jika kamu lakukan (yang demikian) , maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu.” Makna kata   تفعلوا kamu lakukan” adalah perubahan pada tulisan atau perubahan pada kesaksian, dan makna kata  فسو ق“suatu kefasikan” adalah kemaksiatan.
Oleh karena itu, para penulis dan para saksi yang menambahkan ataumengurangi tulisan dan kesaksian mereka adalah orang orang yang melakukan kemaksiatan, karena penambahan atau pengurangan tersebut adalah kebohongan yang akan menyakitkan seseorang pada harta atau tubuh mereka.
Keempatpuluh sembilan, Firman Allah SWT, واتقواالله ويعلمكم الله  والله بكل شيء عليم “Dan bertaqwalah kepada Allah, Allah mengajarmu, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” Ini adalah janji Allah SWT, kepada mereka orang orang yang bertaqwa kepada-Nya maka ia akan mengajarkan mereka. Yakni : memberikan cahaya pada hati mereka dan memahami segala sesuatu yang ditanamkan didalamnya. Allah SWT juga akan memberikan ke dalam hati mereka asas kuat yang dapat memisahkan antara kebenaran dan kebatilan. Allah berfirman  يا يها الذ ين ءامنوااءن تتقواالله يجعل لكم فر قا نا “ Hai orang orang yang beriman, jika kamu bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu furqaan.” (Al-Anfal 8: 29).[13]

3.     Asbab al Nuzul
Ibnu Abbas mengatakan ayat ini khusus untuk masalah transaksi Salam (pembelian barang yang diserahkan kemudian hari/ pemesanan, sementara pembayarannya diberikan di muka), dan diturunkan pada kisah transaksi Salam dalam masyarakat kota Madinah. Itulah asbabunnuzul (sebab turunnya) ayat ini, yang kemudian oleh ijma para ulama dicakupkan untuk seluruh transaksi yang berbentuk utang.
Hal ini dibantah oleh madzhab Syafi’i, mereka mengatakan bahwa ayat ini tidak ada dalil untuk pembolehan penundaan pembayaran dalam semua transaksi pinjam-meminjam. Akan tetapi, ayat ini berkenaan dengan ayat untuk bersaksi, yaitu jika ada sebuah transaksi utang piutang yang memiliki tenggat waktu pembayaran. Kemudian pembolehan penundaan pembayaran dalam pinjam meminjam dapat diketahui dengan penarikan dalil lainnya dari ayat ini.[14]
Beberapa ulama juga mengatakan bahwa tidak semua ayat dalam Al-Quran memiliki asbab an-nuzul salah satunya terbukti dengan ayat 282 yang tersurat  dalam QS. Al-Baqarah. Ayat tersebut turun bukan dilatarbelakangi dari suatu peristiwa sebagaimana pengertian asbab an-nuzul itu sendiri.[15]

4.     Tafsir Al-Mishbah
Inilah ayat terpanjang dalam Al-Quran, dan yang dikenal oleh para ulama dengan nama Ayat al-Mudayanah (ayat utang piutang).[16]  Ayat 282 ini dimulai dengan seruan Allah SWT. kepada kaum yang menyatakan beriman, Hai orang orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menulisnya.
Kata ___ , diterjemahkan dengan bermuamalah, terambil dari kata _____ , Kata ini mempunyai banyak arti, tetapi makna setiap kata yang dihimpun oleh huruf huruf kata dain itu selalu menggambarkan hubungan antara kedua pihak, salah satu pihak kedudukannya lebih tinggi dari pihak lain. Kata ini brmakna hutang, pembalasan, ketaatan, dan agama.[17]
Tuntunan agama melahirkan ketenangan bagi pemeluknya, sekaligus harga diri. Karena itu agama tidak mengajurkan seseorang berhutang kecuali sangat terpaksa. “ Hutang adalah kehinaan diwaktu siang dan keresahan di waktu malam”. Demikian sabda Rosul. Seseorang yang tidak resah karena memiliki hutang maka dia bukan orang yang menghayati tuntutan agama.
Salah satu doa popular Rosul
اللهم اعو ذبك من ضلا ءىل الد ين وغلبة الر جا ل
“Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari hutang yang memberatkan serta penekanan manusia terhadapku. Disisi lain beliau bersabda “Penangguhan pembayaran hutang oleh orang yang mampu adalah penganiayaan” (HR. Bukhari dan Muslim).
            Perintah menulis dapat mencakup perintah kepada kedua orang yang bertransaksi, dalam arti salah seorang menulis, dan apa yang ditulisnya diserahkan kepada mitranya jika mitra pandai tulis baca, dan bila tidak pandai, atau keduanya tidak pandai, maka mereka hendaknya mencari orang ketiga.[18] Penulis, kedua orang yang melakukan transaksi, dan semua yang terlibat dalam transaksi diperintahkan berlaku adil dan jujur dalam hal menuliskan dan mengimlakkan/mendiktekan utang piutangnya.

5.     Hikmah Dikeluarkannya Hukum
Tingkatan sosial yang terjadi dalam kehidupan manusia akan menyebabkan kebaikan bagi mereka jika satu dengan yang lain saling mengisi dan tidak saling menzalimi. Konsep sosial seperti itulah yang diatur dalam Al-Quran untuk terjaga keharmonisan sosial sebagai kebutuhan dasar bagi umat manusia.
Perbedaan tingkatan sosial manusia antara lain adalah terjadi dalam aspek perekonomian. Perbedaan itulah yang melatari perbuatan utang piutang kerap terjadi dalam kehidupan manusia. Al-Quran sebagai pedoman umat Islam menjelaskan secara rinci tentang perbuatan tersebut yaitu pada ayat 282 dari surat Al-Baqarah.
Allah SWT. menuntun hamba-Nya yang mukmin, jika mereka bermuamalah hutang piutang hendaknya ditulis supaya jelas jumlahnya, waktunya, dan memudahkan untuk persaksian. Ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan hutang piutang yang terjamin, jelas masanya dan telah dihalalkan oleh Allah SWT.
Manajemen utang piutang[19]:
1.     Transaksi utang piutang wajib dicatat jika ke dua belah pihak (kreditor dan debitor) merasa diperlukan untuk itu.
2.     Pencatatan utang piutang dicatat oleh para ahli dibidang tersebut. Kondisi sekarang pencatatan transaksi utang piutang dilakukan bisa dilakukan di kantor notaris.
3.     Dalam pencatatan utang piutang, kedua belah pihak wajib menghadirkan dua orang saksi laki - laki berdasarkan persetujuan. Akan tetapi, jika saksi yang dihadirkan terdiri dari saksi laki-laki dan saksi wanita, maka para pihak wajib menghadirkan satu orang saksi dari laki-laki dan dua orang saksi dari wanita. Karena kesaksian dua wanita adalah sebanding dengan kesaksian satu lelaki.
4.     Menghadirkan kesaksian tidak hanya diperintahkan pada transaksi utang piutang. Akan tetapi menghadirkan kesaksian juga diperintahkan dalam jual beli tunai.

Implikasi manajeman utang piutang bagi manusia[20]:
  1. Terpelihara kehidupan sosial manusia sebagai sebuah kebutuhan dasar bagi mereka.
  2. Menjunjung tinggi hak dan kewajiban manusia dengan tidak mereduksi sifat-sifat kemanusiaan.
  3. Berdasarkan point 1 dan 2 di atas bahwa, manajemen utang piutang dalam Al-Quran merupakan sebuah konsep sosial bagi manusia yang mengedepankan nilai-nilai kemanusian (humanis). Konsep sosial demikian membuktikan bahwa, kandungan Al-Quran adalah sebuah kebenaran yang absolut dan Al-Quran menjadi pedoman hanyalah bagi manusia yang bertakwa.

















PENUTUP
Islam adalah agama yang syumul (lengkap atau komprehensif). Semua hukum telah ada dan diatur dalam Islam. Termasuk masalah ekonomi dan lebih spesifiknya sampai kepada masalah hutang piutang. Contoh konkrit dalam Alquran surat Albaqarah ayat 282, ketika dibedah maka kita akan mengetahui secara mendetail mengenai hukum hutang piutang,  berikut tentang tata cara transaksi, perhitungan, pencatatan (proses akutansi), lama waktu transaksi, syarat pelaku yang diperbolehkan melakukan transaksi, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, kita sebagai umat Islam jangan sampai salah arah. Lakukanlah sesuai dengan hukum Islam agar tidak ada penipuan dan kesalahpahaman.






























DAFTAR PUSTAKA
Al Furqan. 2011. Manajemen Utang Piutang: Tafsir QS. Al - Baqarah Ayat 282 (Sebuah Konsep Sosial Islam). Banda Aceh: IAIN Ar-Raniry Darussalam.

Al Qurthubi. Al Jami’ li Ahkaam Al Qur’an. Terj. Oleh Rosadi, Sudi. dkk. 2008. Tafsir Ath-Qurthubi. Jakarta: Pustaka Azzam.

Muhammad, Abu Ja’far bin Jarir Ath-Thabari. Jami’ Al Bayan an Ta’wil Ayi Al Qur’an. Terj. Oleh Askan, Ahsan. 2008. Tafsir Ath-Thabari. Jakarta: Pustaka Azzam.

Shihab, M. Quraish. 2005. Tafsir Al-Mishbah . Jakarta: Lentera hati.

http://makalahtentang.info/2011/11/pengertian-hutang-piutang-dalam-islam.htm. diunduh pada tanggal 14 Desember 2011, pukul 12.34 WIB.

http://masotib.blogspot.com/2011/03/utang-piutang-dalam-hukum-islam.html. diunduh pada tanggal 14 Desember 2011, pukul 12.57 WIB.



[1] HR. Al- Bukhari  dan Muslim (dalam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari. Terjemahan: Ahsan Askan). Tafsir Ath- Thabari (judul asli: Jami’Al bayan an ta’wil Ayi Al Qur’an.) Jakarta: Pustaka Azzam. 2008. hlm. 838.
[2] Ibid, hlm. 838.
[3]  HR. Ahmad dan para penulis kitab sunan lainnya, dan juga Ibnu Hibban. Talkhis Al Habir ( dalam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari. Terjemahan: Ahsan Askan). Tafsir Ath- Thabari (judul asli: Jami’Al bayan an ta’wil Ayi Al Qur’an). Jakarta: Pustaka Azzam. 2008. Hlm.840.
[4] HR. Al-Bukhari (dalam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari. Terjemahan: Ahsan Askan). Tafsir Ath- Thabari (judul asli: Jami’Al bayan an ta’wil Ayi Al Qur’an). Jakarta: Pustaka Azzam. 2008. hlm. 845.
[5] HR. Abu Dawud (dalam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari. Terjemahan: Ahsan Askan). Tafsir Ath- Thabari (judul asli: Jami’Al bayan an ta’wil Ayi Al Qur’an). Jakarta: Pustaka Azzam. 2008. Hlm.846.
[6] HR. Imam Malik (dalam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari. Terjemahan: Ahsan Askan). Tafsir Ath- Thabari (judul asli: Jami’Al bayan an ta’wil Ayi Al Qur’an). Jakarta: Pustaka Azzam. 2008. hlm 846.
[7] Ibid.
[8] Atsar ini disebut oleh Ibnu Athiyah dalam kitab tafsirnya (2/502. (dalam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari. Terjemahan: Ahsan Askan). Tafsir Ath- Thabari (judul asli: Jami’Al bayan an ta’wil Ayi Al Qur’an). Jakarta: Pustaka Azzam. 2008. hlm. 849.
[9] Lih. Tafsir Ibnu Athiyah (2/50).  (dalam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari. Terjemahan: Ahsan Askan). Tafsir Ath- Thabari (judul asli: Jami’Al bayan an ta’wil Ayi Al Qur’an). Jakarta: Pustaka Azzam. 2008. hlm. 866.
[10] HR. Abu Dawud. Lih. Al Jami’ Ash Shaghir (dalam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari. Terjemahan: Ahsan Askan). Tafsir Ath- Thabari (judul asli: Jami’Al bayan an ta’wil Ayi Al Qur’an). Jakarta: Pustaka Azzam. 2008. hlm. 877.
[11] HR. Imam Ahmad, Imam Muslim, Imam Abu Dawud, dan Imam Ibnu Majah. (dalam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari. Terjemahan: Ahsan Askan). Tafsir Ath- Thabari (judul asli: Jami’Al bayan an ta’wil Ayi Al Qur’an). Jakarta: Pustaka Azzam. 2008. hlm. 885.
[12] HR. Bukhari dan Muslim dari Imran bin Husain R.A. (dalam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari. Terjemahan: Ahsan Askan). Tafsir Ath- Thabari (judul asli: Jami’Al bayan an ta’wil Ayi Al Qur’an). Jakarta: Pustaka Azzam. 2008. Hlm. 887.
[13] Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari. Terjemahan: Ahsan Askan). Tafsir Ath- Thabari (judul asli: Jami’Al bayan an ta’wil Ayi Al Qur’an). Jakarta: Pustaka Azzam. 2008. Hlm. 836-902.
[14] Ibid. Hlm. 836.
[15] Al Furqan. Manajemen Utang Piutang: Tafsir QS. Al - Baqarah Ayat 282 (Sebuah Konsep Sosial Islam). Banda Aceh: IAIN Ar-Raniry Darusalam. 2011. Hlm. 10.
[16] M. Quraish Shihab. Tafsir Al-Mishbah. Jakarta: Lentera Hati. 2005. Hlm. 602.
[17] Ibid. Hlm. 603.
[18] Ibid. Hlm. 604.
[19] Al Furqan. Manajemen Utang Piutang: Tafsir QS. Al - Baqarah Ayat 282 (Sebuah Konsep Sosial Islam). Banda Aceh: IAIN Ar-Raniry Darusalam. 2011. Hlm. 28-29.
[20] Ibid.

1 komentar: