Jumat, 18 Oktober 2013

Otoritas jasa Keuangan (OJK)

Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
Oleh: Angie Cyntia Wati/ 09390001

I.           Pendahuluan
Berdasarkan amanat Bank Indonesia pasal 34 UU no.3 tahun 2004, pembentukan lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang mencakup perbankan, asuransi, dana pensiun, sekuritas, modal ventura dan perusahaan pembiayaan serta badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat sangat diperlukan. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merupakan sebuah lembaga independen dan baru saja dibentuk di negara Indonesia yang menyelenggarakn fungsi pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan dibidang perbankan, pasar modal, dan industri keuangan non-bank.
 Undang-Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan pada dasarnya memuat ketentuan tentang organisasi dan tata kelola dari lembaga yang memiliki otoritas pengaturan dan pengawasan terhadap sektor jasa keuangan. Sedangkan ketentuan mengenai jenis-jenis produk jasa keuangan, cakupan dan batas-batas kegiatan lembaga jasa keuangan, kualifikasi dan kriteria lembaga jasa keuangan, tingkat kesehatan dan pengaturan prudensial serta ketentuan tentang jasa penunjang sektor jasa keuangan dan lain sebagainya yang menyangkut transaksi jasa keuangan diatur dalam undang-undang sektoral tersendiri, yaitu Undang-Undang tentang Perbankan, Pasar Modal, Usaha Perasuransian, Dana Pensiun, dan peraturan perundang-undangan lain yang terkait dengan sektor jasa keuangan lainnya. Otoritas jasa keuangan dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan jasa keuangan didalam sektor jasa keuangan dapat terselenggara secara teratur, adil, transparan dan akuntabel serta dapat mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil. Terdapat beberapa hal yang melatarbelakangi lahirnya UU no.21 tahun 2011 tentang OJK selain pertimbangan Undang-Undang tentang Bank Indonesia sebagaimana telah beberapa kali dirubah, yakni:
*    Sistem keuangan dan seluruh kegiatan jasa keuangan yang menjalankan fungsi intermediasi bagi berbagai kegiatan produktif di dalam perekonomian nasional merupakan salah satu komponen penting dalam sistem perekonomian nasional.
*    Terjadinya proses globalisasi dalam sistem keuangan dan pesatnya kemajuan di bidang teknologi informasi serta inovasi finansial telah menciptakan sistem keuangan yang sangat kompleks, dinamis, dan saling terkait antar-subsektor keuangan baik dalam hal produk maupun kelembagaan.
*    Adanya lembaga jasa keuangan yang memiliki hubungan kepemilikan di berbagai subsektor keuangan (konglomerasi) telah menambah kompleksitas transaksi dan interaksi antarlembaga jasa keuangan di dalam sistem keuangan
*    Banyaknya permasalahan lintas sektoral di sektor jasa keuangan, yang meliputi tindakan moral hazard, belum optimalnya perlindungan konsumen jasa keuangan, dan terganggunya stabilitas sistem keuangan.
Harapan penataan UU No.21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan adalah penataan tersebut dilakukan agar dapat mencapai mekanisme koordinasi yang lebih efektif di dalam menangani permasalahan yang timbul dalam sistem keuangan sehingga dapat lebih menjamin tercapainya stabilitas sistem keuangan dan penataan tersebut dilakukan agar pengaturan dan pengawasan terhadap keseluruhan kegiatan jasa keuangan tersebut harus dilakukan secara terintegrasi.
II.         Fungsi dan Tujuan OJK
Fungsi OJK adalah:
*     Mengawasi aturan main yang sudah dijalankan dari forum stabilitas keuangan.
*     Menjaga stabilitas sistem keuangan.
*     Melakukan pengawasan non-bank dalam struktur yang sama seperti sekarang.
*     Pengawasan bank keluar dari otoritas BI sebagai bank sentral dan dipegang oleh lembaga baru.
Tujuan OJK adalah:
*    Untuk mencapainya, BI dalam melaksanakan kebijakan moneter secara berkelanjutan, konsisten, dan transparan dengan mempertimbangkan kebijakan umum pemerintah di bidang perekonomian.
*    Mengatasi kompleksitas keuangan global dari ancaman krisis.
*    Menciptakan satu otoritas yang lebih kuat dengan memiliki sumber daya manusia dan ahli yang mencukupi.

III.      Tugas dan Wewenang OJK
Tugas OJK:
*     Kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan.
*     Kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal.
*     Kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.
Wewenang OJK:
*     Terkait Khusus Pengawasan dan Pengaturan Lembaga Jasa Keuangan Bank yang meliputi :
*     Perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran dasar, rencana kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya manusia, merger, konsolidasi dan akuisisi bank, serta pencabutan izin usaha bank.
*     Kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana, penyediaan dana, produk hibridasi, dan aktivitas di bidang jasa.
*     Pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank yang meliputi: likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset, rasio kecukupan modal minimum, batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap simpanan, dan pencadangan bank; laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja bank; sistem informasi debitur; pengujian kredit (credit testing); dan standar akuntansi bank.
*     Pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank, meliputi:  manajemen risiko; tata kelola bank; prinsip mengenal nasabah dan anti pencucian uang; dan pencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan; dan pemeriksaan bank.
*     Terkait Pengaturan Lembaga Jasa Keuangan (Bank dan Non-Bank) yang meliputi :
*     Menetapkan peraturan dan keputusan OJK.
*     Menetapkan peraturan mengenai pengawasan di sektor jasa keuangan.
*     Menetapkan kebijakan mengenai pelaksanaan tugas OJK.
*     Menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan perintah tertulis terhadap Lembaga Jasa Keuangan dan pihak tertentu.
*     Menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan pengelola statuter pada Lembaga Jasa Keuangan.
*     Menetapkan struktur organisasi dan infrastruktur, serta mengelola, memelihara, dan menatausahakan kekayaan dan kewajiban.
*     Menetapkan peraturan mengenai tata cara pengenaan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.
*     Terkait Pengawasan Lembaga Jasa Keuangan (Bank dan Non-Bank) yang meliputi :
*     Menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan.
*     Mengawasi pelaksanaan tugas pengawasan yang dilaksanakan oleh Kepala Eksekutif.
*     Melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan Konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.
*     Memberikan perintah tertulis kepada Lembaga Jasa Keuangan dan/atau pihak tertentu.
*     Melakukan penunjukan pengelola statuter.
*     Menetapkan penggunaan pengelola statuter.
*     Menetapkan sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.
*     Memberikan dan/atau mencabut: izin usaha, izin orang perseorangan, efektifnya pernyataan pendaftaran, surat tanda terdaftar, persetujuan melakukan kegiatan usaha, pengesahan, persetujuan atau penetapan pembubaran dan penetapan lain.

IV.        Asas-Asas OJK
Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Otoritas Jasa Keuangan berlandaskan asas-asas sebagai berikut:
*     Asas independensi
*     Asas kepastian hokum
*     Asas kepentingan umum
*     Asas keterbukaan
*     Asas profesionalitas
*     Asas integritas
*     Asas akuntabilitas
V.          Peluang dan Tantangan Lembaga Keuangan dan Perbankan Islam Berkenaan dengan Kehadiran OJK
Perkembangan perbankan islam dewasa ini sangatlah pesat. Jika dibandingkan dengan perbankan konvensional,  perbankan islam memiliki beberapa keunggulan yaitu daya tahan perbankan islam lebih kuat dibanding dengan perbankan konvensional, selain itu dalam hal penjaminan dan layanan perbankan islam juga lebih baik. Tetapi keunggulan tersebut belum diikuti dengan pangsa pasar perbankan islam, karena perbankan islam masih memiliki beberapa kelemahan. Didalam perbankan islam belum ada sumber daya insani (SDM), layanan produk masih standar, serta kurangnya edukasi dan sosialisasi. Dengan keadaan tersebut, sangat disayangkan sekali di dalam UU no.21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bahwa tidak ada satu pasal pun dalam UU tersebut yang mengamanahkan pengembangan perbankan islam.
Jika kita lihat draft undang-undang OJK yang diusulkan, tidak mencantumkan detail bagaimana dengan keuangan syariah kedepannya. Sehingga banyak kalangan merasa khawatir, prospek industri keuangan syariah dimasa OJK nanti akan terhambat dengan kurangnya regulasi dan peraturan pemerintah yang mensupport industri keuangan syariah yang menyebabkan pertumbuhan keuangan syariah di tanah air menjadi lamban. Apalagi jika dewan komisioner OJK nanti dikhawatirkan diisi oleh pihak-pihak yang anti terhadap ‘keuangan syariah’. Dari kekhawatiran diatas, diharapkan pemerintah bisa mendapatkan masukan agar pihak pemerintah bisa menyeleksi betul-betul para pimpinan OJK nanti sehingga tidak menghambat lajunya pertumbuhan keuangan syariah yang sedang berkembang pesat.
Terlepas dari hal-hal diatas, terbentuknya OJK dapat dipandang sebagai suatu peluang bagi sistim keuangan syariah untuk lebih dapat mengarahkan perkembangan industri secara lintas sektoral dimana sistim keuangan syariah secara keseluruhan akan dapat mencapai tingkat efisiensi operasi yang lebih tinggi. Kehadiran OJK dapat pula meningkatkan efiktivitas regulasi dalam menekan peluang terjadinya regulatory arbitrage. Dibalik semua peluang yang ada, penempatan supervise dan regulasi sistim keuangan syariah dapat juga menyebabkan OJK kehilangan focus yang pada akhirnya memupuskan momen-tum perkembangan yang pada saat ini sedang diraih. Untuk menghindari hal tersebut, perkembangan sistim keuangan syariah harus didukung secara struktur dan fungsi dalam OJK. Struktur pendukung berarti terdapat organ yang secara dedicated menjalankan fungsi pengembangan secara aktif selain juga menjalankan fungsi pengawasan. Berbeda dengan sistim keuangan konvensional yang dianggap telah cukup mapan, perkembangan sistim keuangan syariah khususnya pada sub-sub sektor selain perbankan seperti pasar modal, takaful dan zakat, masih berada pada tahapan pengembangan. Saat ini merupakan momentum yang tepat untuk menyusun struktur OJK yang mendukung terhadap perkembangan perbankan syariah yang pada akhirnya diharapkan akan melengkapi sistim keuangan nasional yang tangguh dan berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi Indonesia.
Selain itu, dengan adanya OJK diharapkan dapat mencegah kenakalan oknum di industri keuangan, baik perbankan islam maupun lembaga keuangan lainnya. pengawasan bank di BI adalah berdasarkan risiko (risk based supervision). Setiap obat untuk setiap penyakit bank itu berbeda-beda. Sebagai contoh, penyakit karena manajemen, atau penyakit karena struktural dan finansial. OJK kedepannya harus mencari akar permasalahan agar mendapat obat yang tepat. berdasarkan prinsip inti pengawasan bank di Basel (Basel Core Principle), Indonesia masih dinilai kurang baik dalam pengawasan konsolidasi. Padahal, saat ini sudah banyak bank yang memiliki anak usaha lintas industri yang diawasi oleh regulator lain. Lembaga keuangan di indonesia dianggap kurang comply, namun diharapkan dengan adanya OJK, kelemahan tersebut dapat ditutupi.
Meskipun banyak yang kurang menyetujui dengan disahkannya undang-undang OJK, akan tetapi Indonesia perlu membuktikan kepada dunia bahwasanya perbankan islam indonesia bisa menjadi pioneer dan trendsetter bagi industri keuangan islam dunia. Tidak hanya itu, dengan adanya OJK ini dimana seluruh industri keuangan syariah dibawahi oleh satu institusi, diharapkan dapat lebih optimal pengembangannya dan bisa memproklamirkan diri sebagai International hub untuk keuangan syariah untuk Asian dan Middle East Countries (AMED). Tidak hanya itu, indonesia juga diharapkan bisa mencetak bankir-bankir syariah professional yang diakui oleh dunia dengan inovasi produk-produk syariah terbaru, baik itu di industri asuransi syariah, industri perbankan syariah, industri pasar modal syariah dan juga industri keuangan mikro syariah yang faktanya indonesia memiliki ribuan institusi keuangan mikro syariah seperti Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS),  BMT yang tersebar diseluruh pelosok indonesia dan bank syariah pun memiliki produk mikro untuk memenuhi kebutuhan rakyat Indonesia yang notabene mayoritas pendapatannya rendah.
Dengan pesatnya pertumbuhan lembaga-lembaga keuangan syariah di tanah air baik itu berskala besar, menengah maupun kecil, prospek indonesia untuk menjadi cermin bagi kekuatan keuangan syariah global sudah terlihat. Maka dari itu, prospek ini jikalau tidak betul-betul dimanfaatkan maka kita sebagai bangsa yang besar akan selalu ketinggalan dengan Negara tetangga seperti Singapore dan Malaysia. Salah satu usulan yang sangat menarik yang bisa kita usulkan untuk kemajuan industri keuangan syariah di masa OJK adalah dibentuknya Dewan Pengawas Syariah Nasional Otoritas Jasa Keuangan (DPSN-OJK). Dimana, hingga saat ini belum ada aturan pemerintah yang mengatur yang mengawasi Dewan Pengawas Syariah di setiap institusi keuangan syariah. Sehingga setiap produk perbankan syariah yang dikeluarkan oleh sebuah institusi tidak mendapatkan review dan koreksi dari ahli-ahli syariah yang diatasnya. Sampai saat ini, lembaga independen yang mendukung hanyalah DSN-MUI yang pada dasarnya tidak mempunyai kewenangan dalam mereview produk-produk syariah di pasaran apakah sudah sesuai dengan aturan syariah ataukah belum.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar