Senin, 21 Oktober 2013

Konsep Tawarruq


KONSEP TAWARRUQ
 
Konsep Tawarruq dan Aplikasinya dalam Perbankan Syariah
Tawarruq adalah bentuk pemenuhan atas likuiditas.
Prosesnya adalah jual beli antara tiga pihak dengan cara berbeda dan pada pihak yang berbeda pula. Dalam prakteknya, transaksi tawarruq dapat terjadi ketika seseorang membeli sebuah produk dengan cara kredit (pembayaran dengan cicilan) dan menjualnya kembali kepada orang ketiga yang bukan pemilik pertama produk tersebut dengan cara
tunai.
         Definisi Tawarruq Dalam Bahasa Arab, akar kata dari tawarruq adalah wariq yang artinya, simbol atau karakter dari perak (silver).   Kata tawarruq dapat diartikan dengan lebih luas yaitu mencari uang tunai dengan berbagai cara yaitu bisa dengan mencari perak, emas atau koin lainnya. Secara harfiyah artinya adalah berbagai cara yang
ditempuh untuk mendapatkan uang tunai atau likuiditas. Istilah tawarruq ini diperkenalkan oleh Mazhab Hanbali. Sedang Mazhab Syafi’i  membahasakan tawarruq dengan sebutan zarnaqah, yang berarti bertambah atau berkembang.
          Dalam Hukum Islam, tawarruq adalah struktur yang dapat dilakukan oleh seorang mustawriq/mutawarriq yaitu seorang yang membutuhkan likuiditas. Dalam praktiknya, transaksi tawarruq dapat terjadi ketika seseorang membeli sebuah produk dengan cara kredit (pembayaran dengan cicilan) dan menjualnya kembali kepada orang ketiga yang bukan pemilik pertama produk tersebut dengan cara tunai, dengan harga yang lebih murah. Ada 3 formasi dari transaksi tawarruq: 1. Seseorang yang membutuhkan likuiditas (uang tunai) membeli produk barang atau komoditi dengan cara kredit dan menjualnya kepada pihak lain dengan cara tunai, tanpa diketahui oleh pihak-pihak lain, akan niatnya tersebut di atas.  2. Seseorang (mutawarriq) yang membutuhkan uang tunai, memohon untuk diberikan pinjaman uang, dari penjual, yang menolak untuk meminjamkan uangnya, tapi penjual tersebut berkeinginan untuk menjual barangnya dengan cara kredit dengan harga tunai. Lalu mutawarriq tersebut dapat menjual kembali barang tersebut kepada orang lain, dengan harga yang lebih rendah atau lebih tinggi. Kedua formasi transaksi tawarruq ini, dapat diterima dan diizinkan oleh para Ulama tanpa adanya perdebatan. 3. Hampir sama dengan formasi no. 2, kecuali si penjual, menjual barangnya dengan harga yang lebih mahal dari harga pasar kepada mutawarriq, sebagai akibat dari pembayaran yang tertunda, karena cicilan. Formasi ini masih diperdebatkan oleh para pakar hukum ekonomi syariah.
            Perbedaan antara Tawarruq dan Inah Pada transaksi bai’ al-inah, seseorang yang membutuhkan dana, membeli barang dengan cara kredit, lalu menjualnya kembali kepada si penjual (pemilik barang) dalam bentuk tunai, yang harganya lebih rendah dari harga kredit. Akar kata inah adalah ayn (barang yang telah dibeli) dapat menemukan jalannya kembali kepada pemilik asalnya. Menurut kebanyakan ahli hukum Islam, barang yang digunakan adalah sebuah alat untuk melakukan hilah, yakni rekayasa untuk menghindar dari hal-hal yang dilarang, seperti riba. Sedang tawarruq adalah ketika seseorang yang membutuhkan dana segar atau uang tunai membeli barang dengan cara kredit lalu menjualnya kepada pihak ketiga dengan cara tunai dengan harga yang lebih rendah. Struktur transaksi tawarruq tidak mengindikasikan hilah (melegalkan cara untuk mendapatkan riba), karena barang tersebut tidak kembali pada pemilik asalnya. Dengan demikian, para pakar hukum Islam, berpendapat bahwa tawarruq adalah transaksi yang sah dan dapat di terima.
            Legalitas dari Tawarruq Para Ulama klasik dari mazhab Hanafi, Syafi’i dan Hanbali memandang tawarruq sebagai transaksi yang diperbolehkan secara legal. Para Ulama kontemporer (modern) juga memandang transaksi tawarruq diperbolehkan. Di antara para Ulama itu adalah Abdul Aziz Ibn Baz.
           Dewan Pengawas Syariah (DPS) dari bank-bank syariah juga mengizinkan transaksi tawarruq ini, termasuk DPS dari Al- Rajhi Bank dan Kuwait Finance House. Islamic Fiqh Academy, yang beranggotakan negara-negara Islam yang tergabung dalam OKI pada konferensi tahunannya sesi ke-15 di kota Mekkah, telah mengeluarkan resolusi yang mendukung diperbolehkannya transaksi tawarruq, dengan syarat, pembeli tidak menjual kembali barang yang telah dibelinya kepada penjual pertama dengan harga yang lebih rendah, langsung atau tidak langsung, yang kalau terjadi, hal itu masuk dalam kategori transaksi yang mengandung riba. Para Ulama dari Mazhab Maliki tidak setuju dengan penjualan barang dengan harga yang lebih tinggi dari harga pasar apabila dilakukan oleh seseorang yang mengambil keuntungan pinjaman dengan cara yang masuk dalam kategori Riba. Sebagian dari para Ulama mazhab Maliki menyatakan tidak setuju apabila si penjual itu mempraktikkan transaksi inah. Indikasi ini tampaknya membuat Tawarruq adalah transaksi yang tidak diperkenankan oleh Mazhab Maliki. Umar Ibn Abdul aziz and Muhammad Ibn al-Hasan, tidak setuju dengan tawarruq. Ibnu Taymiyyah dari Mazhad Hanbali, dan muridnya Ibn al-Qayim sangat tidak  setuju dengan Tawarruq dan menyamakan dengan kategori Inah. Sebagian dari Ulama Hanafi telah melarang transaksi ini dan menyamakannya dengan inah, namun sebagian lagi, seperti Ibn al-Humam, mengatakan kalau Tawarruq tidak terlalu disenangi. Larangan terhadap transaksi Tawarruq ini sangat erat kaitannya dengan formasi spesifik dari Tawarruq yang dipraktikkan oleh Lembaga Keuangan Syariah dan bukan dari praktik Tawarruq yang klasik (tawarruq fiqhi). Yaitu Tawarruq Munazam atau Regulated Tawarruq. Islamic Fiqh Academy Jeddah, pada sesi ke- 17 konferensi tahunannya, juga memandang bahwa Tawarruq Munazam ini Illegal atau dilarang, seperti yang telah dipraktikkan oleh Lembaga Keuangan Syariah selama ini.
             Argumentasi dari Ulama yang Pro-Tawarruq Para Ulama yang merestui transaksi Tawarruq ini mempunyai dalil dari ayat- ayat al-Qur’an yang diuniversalkan dan mereka berpendapat bahwa semua transaksi jual beli itu halal (diperbolehkan), kecuali ada bukti yang kuat untuk melarangnya. Secara universal memang transaksi al-bay adalah halal/legal. Tawarruq adalah salah satu transaksi al- bay yang termasuk dalam universal dari semua transaksi al-bay dan dianggap legal/halal walaupun tidak ada satu ayat dari al-Qur’an dan satu kutipan Hadist, serta tidak ada satu pun tindakan dari sahabat Nabi Muhammad SAW yang menyatakan Tawarruq tidak halal/dilarang.
           Salah satu Hadist yang tercatat oleh al-Bukhari dan Muslim terbukti telah mendukung transaksi ini. Ketika salah satu petani kurma dari Khaybar datang dan membawakan Kualitas Kurma yang terbaik kepada Nabi Muhammad SAW , Nabi bertanya kepada petani tersebut apakah semua buah kurma dari Khaybar sangat baik mutunya. Petani ini menjawab tidak, saya menukar dua ukuran (kg) kualitas kurma yang rendah untuk satu ukuran (kg) yang bagus, terkadang saya harus menukar 3 ukuran (kg) yang kulitas rendah untuk satu ukuran (kg) yang kualitasnya bagus. Lalu Nabi Muhammad melarang petani itu untuk melakukan transaksi itu dan malah menyarankan untuk menjual semua kualitas rendahnya agar mendapatkan uang tunai (berupa koin perak pada zaman itu) dan lalu menggunakan uang tersebut untuk membeli Kurma dengan kualitas yang bagus. Hadist ini mengindikasikan diperkenankannya suatu metode untuk menghindari Riba. Semua media jual beli dan syarat-syarat serta kondisi dari transaksi jual beli sudah terpenuhi, bebas dari faktor-faktor yang dilarang. Niat untuk mendapatkan kualitas Kurma yang lebih bagus tidak membatalkan strukturnya. Dengan demikian, hal ini menunjukkan legalitas dari transaksi jual beli dimana maksud dan niat yang berlainan menggunakan suatu media dapat diterima dan dilakukan dan bebas dari riba secara explicit dan implicit. Jadi untuk mendapat kan likuiditas dengan media ini (tawarruq) sudah seharusnya diperkenankan apabila memang diperlukan. Peraturan dasar/orisinal atas diperbolehkannya tawarruq menjadi dasar dukungan atas keabsahannya.
            Itu artinya, pada esensinya semua transaksi diperbolehkan, kecuali ada bukti yang kuat yang berhubungan dengan salah satu transaksi yang spesifik. Al-Kasani mengatakan bahwa pertukaran kepemilikan pada barang, membuat tidak adanya kemungkinan untuk mendapat keuntungan dengan cara riba dalam struktur transaksinya. Sementara itu kredit tanpa bunga (qard) tidak mungkin didapatkan sewaktu-waktu, jadi dengan metode ini untuk mendapatkan likuditas, bisa dianggap sebagai transaksi yang biasa yang menggunakan barang/aset/komoditi sebagai medianya. Menurut para Ulama yang pro ini, mempraktikan transaksi ini adalah salah, hanya apa bila jual beli tersebut melibatkan orang yang seperti dalam transaksi inah, di mana niat untuk mendapatkan riba adalah sangat terlihat dengan jelas. Argumentasi dari Ulama yang Kontra terhadap Tawarruq

Para Ulama yang menentang tawarruq
konsentrasi utamanya pada aspek dari niat. Mereka mengatakan niat dari transaksi ini adalah untuk mendapatkan uang, yang dapat berakibat sama dengan menjual uang untuk mendapat uang lebih, sementara barang/komoditinya hanyalah digunakan sebagai media, yang kepemilikannya tidak diniatkan. Untuk itu secara prinsip yang tegas dengan jelas
adanya kemungkinan untuk melakukan sebuah rekayasa untuk mendapakan uang tunai. Jadi, penolakan atas tawarruq ini berdasarkan adanya hilah atau rekayasa untuk menghindar dari hal-hal yang dilarang, yang diimplementasikan untuk mendapatkan sesuatu yang sama dengan riba. Menurut Ibn Abas :ini adalah transaksi uang terhadap uang dengan kain sutra di tengah-tengahnya;. Para Ulama berpendapat bahwa hasil akhir dari sebuah transaksi sangatlah penting untuk menentukan keabsahannya pada struktur tertentu. Kalau alasan utama praktik dari pada tawarruq adalah untuk mendapatkan uang sekarang, agar bisa mandapatkan keuntungan yang lebih besar di kemudian hari, maka sudah sepatutnya transaksi tawarruq ini dilarang, karena tidak lebih dan tidak kurang identik dengan praktik untuk mendapatkan Riba. Prinsip untuk menutup jalan/peluang (sadd-al-zarai), adalah argumentasi yang mendukung ketidakabsahan dari tawarruq, di mana praktik ini dikhawatirkan adalah sebuah trik atau tipu daya untuk menghindar dari praktik riba. Para Ulama yang menentang tawarruq mengkutip beberapa hadist yang telah melarang transaksi inah yang menurut mereka, termasuk pada kategori yang sama, karena kedua praktik ini mempunyai tujuan yang sama yaitu untuk mendapatkan likuiditas terhadap kewajiban yang jumlahnya lebih dan akan dibayarkan di masa yang akan datang. Para Ulama dari Mazhab Hanbali, Ibn Taymiyyah, adalah salah satu yang menentang tawarruq, dan beliau mengatakan bahwa tawarruq tidak jauh berbeda dengan inah yang hanya bertujuan untuk mendapatkan dana segar/likuditas. Pemilik modal (penyandang dana) menjual asetnya kepada seseorang, bukan memberinya uang, untuk mendapatkan keuntungan lebih nanti nya, ketika (pihak kedua) orang tersebut menjual aset itu kembali kepada penjualnya (pihak pertama), itu adalah inah, kalau dijual kepada orang lain (pihak ke tiga) itu adalah tawarruq. Aset yang dipindahkan ke pihak ketiga, sebagai perantara, pihak ketiga yang menjualnya kembali pada pihak pertama, pihak ketiga menjadi muhallil, yaitu seseorang yang melegalitaskan riba untuk pihak pertama. Ibn Qayim, muridnya Ibn Taymiyyah menolak untuk mengizinkan praktik dari tawarruq, karena ada indikasi untuk mendapatkan riba ada dalam transaksi tawarruq. Ibn Taymiyyah menyatakan bahwa sangat tidak mungkin untuk Syariah melegalkan kerusakan yang besar sementara melarang kerusakan yang lebih kecil, yaitu riba. Beliau mengutip statement yang diberikan oleh Umar ibn Abdul Aziz : tawarruq adalah saudaranya riba. Untuk transaksi menggunakan hilah, para ulama berpendapat sah-sah saja, sepanjang tidak merusak fundamental, dasar dari pada prinsip-prinsip syariah, atau merusak manfaatnya. Menurut salah satu hadist nabi, yang berhubungan dengan hilah, masalah yang terpenting adalah niat, setiap perbuatan terjadi pada dasarnya karena adanya niat, dan setiap orang akan mendapat pahala berdasarkan niat dalam melakukan segala sesuatu. Ketika niat seseorang baik, perbuatannya dapat diterima, apabila niatnya salah, perbuatannya dapat dikatakan salah. Namun menurut prinsip dari Mazhab Syafi’i, ketika kata-kata dalam akad sudah explicit, dan tidak diperlukan lagi suatu penjelasan, maka niat dari pihak-pihak yang berakad adalah sudah jelas. Verifikasi dari niat penting untuk dijelaskan apabila ada kata-kata yang tidak jelas/kabur artinya.           
                          Implementasi Tawarruq dari semua argument
pro dan kontra mengenai tawarruq, sebagian besar para ulama kontemporer memberikan izinnya, sepanjang tidak berhubungan dengan sesuatu yang akan berindikasi kearah untuk mendapatkan riba. Kondisi dari transaksi tawarruq sifatnya bedasarkan keinginan (hajah) dan bukan berdasarkan kebutuhan yang mendesak (darurah). Oleh karena itu
memberikan regulasi di dalam transaksi tawarruq menjadi keharusan dalam rangka memonitor implementasinya. Oleh sebab itu kebutuhan akan mencari jalan untuk mendapatkan uang tunai melalui transaksi tawarruq harus murni berdasarkan kebutuhan likuiditas orang tersebut, bukan untuk orang lain. Sehingga ada pendapat Ulama yang
mengatakan bahwa transaksi tawarruq diperbolehkan apabila tidak ada cara lain untuk mendapatkan likuditas, seperti pinjaman bebas bunga atau qard.
            Ulama lain tidak setuju karena tawarruq dalam formasi yang sederhana, yaitu tawarruq fiqhi masuk dalam kategori jual beli (trading), walaupun motifnya adalah untuk mendapatkan likuiditas, yang tidak dapat dikatakan sebagai illegal motif. Sama dengan jual beli untuk mendapatkan barang, niat untuk mendapatkan liquiditas untuk keperluan di masa yang akan datang adalah sama dan tidak perlu adanya regulasi yang membatasi transaksi ini.
            Sementara itu para Ulama yang lain berpendapat bahwa agar tawarruq dapat diterima oleh semua pihak yang terkait, maka beberapa regulasi harus dibuat, untuk memastikan bahwa esensi dari transaksi jual-beli masih eksis. Salah satu  syaratnya adalah, penjual yang menjual barangnya kepada mutawarriq harus memiliki barang yang akan dijualnya pada saat berlangsungnya akad. Di mana hal itu sesuai dengan hadist nabi yang mengatakan :   janganlah kamu menjual barang yang tidak kamu miliki ; itu artinya tidak sah akad jual beli apabila, penjual tidak memiliki barang yang akan dijualnya kepada si pembeli, sama ketentuan nya dengan transaksi jual beli yang lainnya yang telah diatur di dalam syariah. Syarat yang kedua adalah, penjualan yang kedua harus kepada pihak ke tiga, bukan pada pihak pertama, seperti pada transaksi bay al-inah. Tawarruq Munazam Struktur dari tawarruq yang dapat diterima oleh sebagian besar ulama, telah diadopsi oleh Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dengan esensi tujuan yang serupa. Formasi yang diimplementasikan oleh Bank-Bank Syariah, telah dimodifikasi sedemikian rupa, yang strukturnya berbeda dengan tawarruq klasik atau tawarruq fiqhi. Struktur tawarruq yang sudah dimodifikasi oleh bank-bank Syariah variasinya bisa berbeda antara satu bank syariah dengan bank-bank syariah yang lainnya, yang disebut dengan nama tawarruq munazam atau regulated tawarruq atau organized tawarruq. Yang dimaksud dengan tawarruq munazam adalah: seorang nasabah membeli komoditi dari bank, dengan prinsip murabahah, lalu pembayarannya dilakukan dengan harga tangguh, setelah komoditi tersebut pindah tangan, nasabah menunjuk bank sebagai agennya untuk menjual kembali komoditi tersebut kepada nasabah yang lain dengan harga yang lebih rendah, dan dibayar tunai. Implementasi dari pada transaksi tawarruq munazam ini juga berlaku di pasar international. Bank syariah membeli komoditi dari pasar international dibayar tunai dan menjualnya kembali kepada nasabahnya dengan prinsip murabahah dengan harga yang lebih tinggi, lalu bank menjual kembali barang tersebut mewakili nasabahnya (prinsip wakalah) kepada pihak ketiga. Lalu dana yang dibayarkan ke bank akan diserahkan ke nasabah bank, yang akan membayar transaksi murabahahnya dengan cicilan dengan harga yang lebih tinggi sesuai dengan perjanjian di muka. Proses ini melibatkan broker pasar komoditi internasional, yang mendapat sejumlah komisi untuk jasanya. Prosedur ini juga dapat dilakukan pada keperluan likuditas nasabah pada investasi mudarabah (Mudarabah Investment). Proses yang lainnya adalah untuk menyediakan likuiditas untuk bank syariah. Bank syariah menyetorkan sejumlah uang kepada Bank syariah lain di luar negeri. Berdasarkan perjanjian, bank syariah yang di luar negeri bertindak sebagai agen (prinsip wakalah) membeli komoditi dari pasar internasional dibayar tunai, lalu menjual kembali komoditi tersebut ke pada banknya sendiri, dengan pembayaran yang ditangguhkan, lalu menjual kembali barang tersebut ke pasar internasional dengan dibayar tunai. Proses ini menggunakan prinsip murabahah international, yang dapat menambah pendapatan Bank.
Proses tawarruq ini melibatkan transfer sejumlah uang ke luar negeri yang biasanya menggunakan benchmark interest rate pada saat itu. Prosedur dari tawarruq munazam: Seorang Nasabah yang membutuhkan dana datang ke bank syariah dan membuat perjanjian dengan bank untuk membeli komoditi dari bank setelah bank membelinya dari
broker.Bank Syariah membeli komoditi.Bank syariah menjual kembali komoditi tersebut kepada nasabah dengan harga tangguh.Nasabah akan menunjuk bank sebagai wakilnya untuk menjual kembali komoditi tersebut dibayar tunai.Bank Syariah menjual komoditi
ke pada pihak ketiga (biasanya kepada broker lain) dibayar tunai.                               Uang tunai hasil penjualan disetorkan ke rekening nasabah.Pada akhirnya, nasabah mendapatkan dana yang dibutuhkannya, dan mempunyai kewajiban untuk membayar cicilannya kepada bank atas pembelian komoditi pada transaksi no. 3 di atas. Untuk menghindari rumitnya transaksi murabahah ada beberapa Bank yang menghilangkan beberapa prosedur, salah satunya prinsip wakalah atau wakil dari nasabah untuk membeli barang dari pihak luar, sehingga ada beberapa Bank Syariah yang memilih untuk memiliki show roomnya sendiri untuk kendaraan roda 2 dan 4 dan barang-barang elektronik agar lebih mudah proses jual beli murabahahnya, salah satunya adalah Bank al-Rajhi.   Tidak terjadinya pemindahan fisik dari komoditi, hanya sebatas penandatanganan akad jual beli. Pemindahan komoditi secara fisik terjadi, setiap kali terjadinya akad jual-beli.
            Argumentasi dari para Ulama yang Pro pada Tawarruq Munazam Para ulama yang mengizinkan implementasi dari tawarruq munazam ini berpendapat bahwa setiap langkah dari prosedur yang dilalui dalam prosesnya sesuai dengan prinsip syariah. Kalau
setiap proses suatu akad yang terlibat di dalamnya sah, maka tidak ada alasan untuk tidak mengatakan bahwa semua prosedurnya sah, yaitu: 1. Bank membeli komoditi dari pasar komoditi dan secara konstruktif memiliki komoditi tersebut, melalui beberapa klausul dalam dokumen transaksi, atas dasar janji untuk membeli dari Nasabahnya. 2. Bank menjual komoditi dengan prinsip murabahah dan hak kepemilikan barang pindah kepada Nasabah. 3. Nasabah menunjuk bank sebagai wakilnya untuk menjual kembali komoditi tersebut. 4. Bank kemudian menjual kembali komoditi tersebut kepada
pihak ke tiga. 5. Bank memberikan dana hasil penjualan kepada nasabah.
            Pertama-tama yang harus dibahas di sini adalah perjanjian sepihak untuk membeli komoditi dari nasabah, yang masih dalam perdebatan, apakah janji tersebut dapat dipaksa untuk dipatuhi atau tidak. Kalau kedua belah pihak membuat perjanjian bersama untuk transaksi jual beli yang akan dilakukan kemudian, Imam asy-Syafi’i mengatakan kalau transaksi tersebut tidak sah.
              Namun demikian kalau hanya salah satu pihak berjanji untuk membeli komoditi tersebut, hal ini tidak akan terlalu berpengaruh banyak. Hal ini dikarenakan Bank yang mengharuskan nasabahnya untuk membuat perjanjian sepihak kepada Bank untuk membeli komoditi, tanpa adanya janji dari pihak Bank untuk menjual komoditi tersebut kepada nasabahnya. Sebagain daripada para Ulama mengatakan kalau janji sepihak tidak dapat dipaksa untuk diimplementasikan, sementara itu para Ulama kontemporer merasa demi kepentingan kelancaran transaksi komersil pada saat ini, maka janji sepihak haruslah mengikat. Yang kedua, jual-beli pada transaksi murabahah, dengan dasar harga beli ditambah dengan ongkos dan laba bank, komoditi yang dibeli nasabah dari Bank biasanya dibayar dengan cicilan. Dengan demikian apabila, suatu komoditi dijual dengan harga yang lebih tinggi (dibayar dengan cara mencicil) dari harga tunainya, maka transaksi tersebut adalah transaksi yang sah. Yang ketiga, adanya akad wakalah, ketika nasabah menunjuk Bank sebagai wakilnya untuk menjual kembali komoditi tersebut.

Dalam Hukum Islam wakalah:
adalah akad yang sah, yang dapat dilakukan dengan upah atau komisi atau free of charge/gratis. Para ulama yang mendukung tawarruq munazam berpendapat bahwa transaksinya sangat serupa dengan tawarruq fiqhi, hanya lebih well organized (teratur) agar lebih lancar dan cepat prosesnya. Argumentasi dari para Ulama yang kontra pada Tawarruq Munazam Perdebatan yang terjadi pada tawarruq munazam adalah untuk tidak mengikutsertakan formasi tawarruq yang ketiga, yaitu: si penjual, menjual barangnya dengan harga yang lebih mahal dari harga pasar kepada mutawarriq, sebagai akibat dari pembayaran yang tertunda/dengan cicilan.
            Dengan begitu artinya tawarruq munazam adalah indikasi dari kerjasama antara bank dan nasabahnya yang bertujuan untuk menyediakan dana segar terhadap kewajiban kredit untuk nasabahnya. Sehingga prinsip objektifitas dari niat dalam konteks ini sangatlah relevan. Nasabah yang berniat untuk mendapatkan uang tunai, dan membayar sejumlah dana yang lebih di kemudian hari melalui akad, penunjukan wakil dan Mou. Karena tujuan utamanya adalah untuk mendapatkan likuditas, yang dapat pula dilakukan melaui proses tawarruq fiqhi. Peran Bank Syariah dalam transaksi ini bukan hanya terbatas sebagai perantara untuk pembelian komoditi, seperti pada prinsip murabahah, tetapi keterlibatan Bank Syariah di sini juga untuk mendapatkan keuntungan dari memberi fasililitas untuk mencari dana segar, terhadap hutang yang lebih tinggi dari jumlah uang tunai yang didapat nasabahnya. Bank syariah tidak pernah bermaksud untuk menyediakan komoditi tersebut kepada nasabahnya. Bank syariah mempunyai niat untuk mendapatkan keuntungan dari harga komoditi dengan cara pembayaran cicilan, di kemudian hari, sementara si nasabah berniat untuk mendapatkan uang tunai, untuk menutupi cicilannya yang jumlahnya lebih besar dari uang tunai yang didapatnya. Jadi sangat jelas di sini adanya persamaan hilah atau rekayasa untuk melakukan hal-hal yang dilarang, yang indikasi ke arah untuk mendapatkan riba yang permanen sifatnya. Melalui beberapa proses, Bank syariah hanya berperan sebagai perantara yang tidak sungguh-sungguh tertarik dengan jual beli komoditi atau memasuki pasar komoditi internasional. Begitu juga nasabahnya, tidak berniat untuk memiliki komoditi tersebut atau pada kasus-kasus tertentu tidak tahu menahu tentang adanya proses jual beli komoditi. Karena tujuan utamanya hanyalah untuk mendapatkan uang tunai segera dari Bank, dengan berhutang yang akan dibayar dengan cicilan. Oleh karena itu, sebagian dari Ulama menganggap transaksi ini adalah transaksi Ribawi. Dari hasil observasi para Ulama, tawarruq munazam telah melanggar beberapa larangan yang disebutkan dalam hadist, karena secara eksplisit sama dengan formasi dalam inah, karena komoditinya kembali kepada penjual asalnya, ditambah dengan komisi yang diterimanya, yang masuk dalam kategori dua transaksi al-bay dalam satu transaksi 
            Salah satu hadist yang dilanggar juga adalah al-bay yang tidak ada relevansi dengan kondisinya (bai wa syart  yang sudah sangat jelas dilarang). 
Di mana pada transaksi ini jual beli untuk mendapatkan keuntungan melalui pinjaman. Jadi tujuan dari pada tawarruq munazam ini adalah pertukaran antara uang tunai dengan hutang yang lebih besar nilainya. Itu sebabnya tawarruq munazam tidak dapat memenuhi qualifikasi sebagai pembiayaan alternatif dari pada pembiayaan konvensional yang berbasis interest (bunga/riba). Satu hal yang juga banyak dikritik oleh para ulama yang tidak setuju dengan implementasi dari transaksi tawarruq munazam ini adalah: komoditi yang dibeli di pasar international adalah sebuah refleksi dari transaksi ribawi, yaitu riba al fadl, yang dilarang. Islamic Fiqh Academy Jeddah, pada konferensi tahunannya yang ke-17, tidak memberi izin atas praktik tawarruq munazam yang berlaku di beberapa Bank syariah pada saat ini, dikarenakan praktik tawarruq munazam hanyalah sebatas di atas kertas untuk mendapatkan uang tunai. Praktik tawarruq munazam pada Perbankan Syariah adalah untuk keperluan personal financing, sukuk dan pasar komoditi internasional. Pada transaksi tawarruq munazam ada terjadinya 3 (tiga) akad murabahah, yang pertama jual-beli di antara Bank dan penjual komoditi, yang kedua, jual beli di antara Bank dan nasabah. Yang ketiga, jual-beli antara nasabah dan pihak ketiga (pihak lain yang bukan bank dan bukan penjual pertama dari komoditi tersebut). Di dalam transaksi ini juga terjadi 2 (dua) akad wakalah, yang pertama, Nasabah menunjuk bank sebagai wakilnya untuk membeli komoditi dari si penjual, yang kedua, ketika nasabah menunjuk Bank sebagai wakilnya untuk menjual kembali komoditi tersebut pada pihak ketiga. Terkadang ada akad wakalah yang ketiga antara bank dan penjual/dealer untuk menegosiasikan harga untuk penjualan Murabahah yang ketiga. Biasanya dalam proses ini komoditinya tidak berpindah tangan dari penjual pertama, atau komoditi yang dibeli di pasar komoditi internasional, di mana fisik dari barang tersebut tidak ada. Proses ini melibatkan 4 pihak : penjual pertama, nasabah, bank dan pembeli (pihak ketiga). Prosedur setiap bank syariah berbeda-beda, ada juga bank yang sudah membeli dulu komoditinya, dan nasabah tidak perlu membuat perjanjian untuk membeli, tapi bank langsung menawarkan komoditi kepada nasabah dengan cara musawamah di mana harga dapat dinegosiasikan dan nasabah tidak tahu harga asli dan keuntungan yang didapat oleh bank dari hasil penjualan ini.

               Kesimpulan: Para Ulama masih berdebat mengenai transaksi tawarruq. Pada transaksi tawarruq fiqhi, transaksinya adalah murni jual-beli, di mana ada pemindahan kepemilikan barang, sementara praktik dari tawarruq munazam yang dilakukan oleh beberapa bank syariah pada saat ini, adalah sebuah proses untuk mendapatkan uang tunai di mana transaksi jual-belinya hanya di atas kertas dan tidak ada perpindahan aset, yang artinya praktik tawarruq munazam sudah melanggar prinsip syariah yang utama yaitu: seseorang tidak dapat menjual barang yang tidak dimilikinya. Oleh sebab itu transaksi ini tidak diizinkan oleh Islamic Fiqh Academy Jeddah pada resolusinya yang ke-17. Reference: INCEIF 2006, Applied Shariah in Financial Transactions 15-02-2008 Nibra Hosen dakwatuna.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar