KONSEP TAWARRUQ
Konsep Tawarruq dan Aplikasinya dalam Perbankan Syariah
Tawarruq adalah
bentuk pemenuhan atas likuiditas.
Prosesnya adalah
jual beli antara tiga pihak dengan cara berbeda dan pada pihak yang berbeda
pula. Dalam prakteknya, transaksi tawarruq dapat terjadi ketika seseorang
membeli sebuah produk dengan cara kredit (pembayaran dengan cicilan) dan
menjualnya kembali kepada orang ketiga yang bukan pemilik pertama produk
tersebut dengan cara
tunai.
Definisi Tawarruq Dalam Bahasa Arab,
akar kata dari tawarruq adalah wariq yang artinya, simbol atau karakter dari
perak (silver). Kata tawarruq dapat diartikan dengan lebih
luas yaitu mencari uang tunai dengan berbagai cara yaitu bisa dengan mencari
perak, emas atau koin lainnya. Secara harfiyah artinya adalah berbagai cara
yang
ditempuh untuk mendapatkan uang tunai atau likuiditas. Istilah tawarruq ini
diperkenalkan oleh Mazhab Hanbali. Sedang Mazhab Syafi’i membahasakan tawarruq dengan sebutan zarnaqah,
yang berarti bertambah atau berkembang.
Dalam Hukum Islam, tawarruq
adalah struktur yang dapat dilakukan oleh seorang mustawriq/mutawarriq yaitu
seorang yang membutuhkan likuiditas. Dalam praktiknya, transaksi tawarruq dapat
terjadi ketika seseorang membeli sebuah produk dengan cara kredit (pembayaran
dengan cicilan) dan menjualnya kembali kepada orang ketiga yang bukan pemilik
pertama produk tersebut dengan cara tunai, dengan harga yang lebih murah. Ada 3 formasi dari transaksi tawarruq: 1. Seseorang yang membutuhkan likuiditas
(uang tunai) membeli produk barang atau komoditi dengan cara kredit dan menjualnya kepada pihak lain dengan cara tunai, tanpa diketahui
oleh pihak-pihak lain, akan niatnya tersebut di atas. 2. Seseorang
(mutawarriq) yang membutuhkan uang tunai, memohon untuk
diberikan pinjaman uang, dari penjual, yang menolak untuk meminjamkan uangnya,
tapi penjual tersebut berkeinginan untuk menjual barangnya dengan cara kredit dengan harga tunai.
Lalu mutawarriq tersebut dapat menjual kembali barang tersebut kepada orang
lain, dengan harga yang lebih rendah atau lebih tinggi. Kedua formasi
transaksi tawarruq ini, dapat diterima dan diizinkan oleh para Ulama tanpa
adanya perdebatan. 3. Hampir sama dengan formasi no.
2, kecuali si penjual, menjual barangnya dengan harga yang lebih
mahal dari harga pasar kepada mutawarriq, sebagai akibat dari pembayaran yang
tertunda, karena cicilan. Formasi ini masih diperdebatkan oleh para pakar hukum
ekonomi syariah.
Perbedaan antara Tawarruq
dan Inah Pada transaksi bai’ al-inah, seseorang yang membutuhkan dana, membeli
barang dengan cara kredit, lalu menjualnya kembali kepada si penjual (pemilik
barang) dalam bentuk tunai, yang harganya lebih rendah dari harga kredit. Akar
kata inah adalah ayn (barang yang telah dibeli) dapat menemukan jalannya kembali
kepada pemilik asalnya. Menurut kebanyakan ahli hukum
Islam, barang yang digunakan adalah sebuah alat untuk melakukan hilah, yakni
rekayasa untuk menghindar dari hal-hal yang dilarang, seperti riba. Sedang
tawarruq adalah ketika seseorang yang membutuhkan dana segar atau uang tunai
membeli barang dengan cara kredit lalu menjualnya kepada pihak ketiga dengan cara tunai dengan harga yang lebih rendah. Struktur
transaksi tawarruq tidak mengindikasikan hilah (melegalkan cara untuk
mendapatkan riba), karena barang tersebut tidak kembali pada pemilik asalnya.
Dengan demikian, para pakar hukum Islam, berpendapat bahwa tawarruq adalah
transaksi yang sah dan dapat di terima.
Legalitas dari Tawarruq
Para Ulama klasik dari mazhab Hanafi, Syafi’i dan Hanbali memandang tawarruq
sebagai transaksi yang diperbolehkan secara legal. Para Ulama kontemporer
(modern) juga memandang transaksi tawarruq diperbolehkan. Di antara para Ulama
itu adalah Abdul Aziz Ibn Baz.
Dewan Pengawas Syariah
(DPS) dari bank-bank syariah juga mengizinkan transaksi tawarruq ini, termasuk
DPS dari Al- Rajhi Bank dan Kuwait Finance House. Islamic Fiqh Academy, yang
beranggotakan negara-negara Islam yang tergabung dalam OKI pada konferensi
tahunannya sesi ke-15 di kota Mekkah, telah mengeluarkan resolusi yang mendukung
diperbolehkannya transaksi tawarruq, dengan syarat, pembeli tidak menjual
kembali barang yang telah dibelinya kepada penjual pertama dengan harga yang
lebih rendah, langsung atau tidak langsung, yang kalau terjadi, hal itu masuk
dalam kategori transaksi yang mengandung riba. Para Ulama dari Mazhab Maliki
tidak setuju dengan penjualan barang dengan harga yang lebih tinggi dari harga
pasar apabila dilakukan oleh seseorang yang mengambil keuntungan pinjaman
dengan cara yang masuk dalam kategori Riba. Sebagian dari para Ulama mazhab
Maliki menyatakan tidak setuju apabila si penjual itu mempraktikkan transaksi
inah. Indikasi ini tampaknya membuat Tawarruq adalah transaksi yang tidak
diperkenankan oleh Mazhab Maliki. Umar Ibn Abdul aziz and Muhammad Ibn al-Hasan,
tidak setuju dengan tawarruq. Ibnu Taymiyyah dari Mazhad Hanbali, dan muridnya
Ibn al-Qayim sangat tidak setuju dengan
Tawarruq dan menyamakan dengan kategori Inah. Sebagian dari Ulama Hanafi telah
melarang transaksi ini dan menyamakannya dengan inah, namun sebagian lagi,
seperti Ibn al-Humam, mengatakan kalau Tawarruq tidak terlalu disenangi. Larangan terhadap transaksi Tawarruq ini sangat erat
kaitannya dengan formasi spesifik dari Tawarruq yang dipraktikkan oleh Lembaga
Keuangan Syariah dan bukan dari praktik Tawarruq yang klasik (tawarruq fiqhi).
Yaitu Tawarruq Munazam atau Regulated Tawarruq. Islamic Fiqh Academy
Jeddah, pada sesi ke- 17 konferensi tahunannya, juga memandang bahwa Tawarruq
Munazam ini Illegal atau dilarang, seperti yang telah dipraktikkan oleh Lembaga
Keuangan Syariah selama ini.
Argumentasi dari Ulama
yang Pro-Tawarruq Para Ulama yang merestui transaksi Tawarruq ini mempunyai dalil
dari ayat- ayat al-Qur’an yang diuniversalkan dan mereka berpendapat bahwa
semua transaksi jual beli itu halal (diperbolehkan), kecuali ada bukti yang kuat
untuk melarangnya. Secara universal memang transaksi al-bay adalah halal/legal.
Tawarruq adalah salah satu transaksi al- bay yang termasuk dalam universal dari
semua transaksi al-bay dan dianggap legal/halal walaupun tidak ada satu ayat
dari al-Qur’an dan satu kutipan Hadist, serta tidak ada satu pun tindakan dari
sahabat Nabi Muhammad SAW yang menyatakan Tawarruq tidak halal/dilarang.
Salah satu Hadist yang
tercatat oleh al-Bukhari dan Muslim terbukti telah mendukung transaksi ini. Ketika salah satu petani kurma dari
Khaybar datang dan membawakan Kualitas Kurma yang terbaik
kepada Nabi Muhammad SAW , Nabi bertanya kepada petani tersebut apakah semua
buah kurma dari Khaybar
sangat baik mutunya. Petani ini menjawab tidak, saya menukar dua ukuran (kg)
kualitas kurma yang rendah untuk satu ukuran (kg) yang bagus, terkadang saya
harus menukar 3 ukuran (kg) yang kulitas rendah untuk satu ukuran (kg) yang
kualitasnya bagus. Lalu Nabi
Muhammad melarang petani itu untuk melakukan transaksi itu dan malah menyarankan untuk menjual semua kualitas rendahnya agar mendapatkan uang
tunai (berupa koin perak pada zaman itu) dan lalu menggunakan uang tersebut
untuk membeli Kurma dengan kualitas yang bagus. Hadist ini mengindikasikan
diperkenankannya suatu metode untuk menghindari Riba. Semua media jual beli dan
syarat-syarat serta kondisi dari transaksi jual beli sudah terpenuhi, bebas dari faktor-faktor yang
dilarang. Niat untuk mendapatkan kualitas Kurma yang lebih bagus tidak membatalkan strukturnya. Dengan demikian, hal ini
menunjukkan legalitas dari transaksi jual beli dimana maksud dan niat yang berlainan menggunakan suatu media dapat diterima
dan dilakukan dan bebas dari riba secara explicit dan
implicit. Jadi untuk mendapat kan likuiditas dengan media ini (tawarruq) sudah
seharusnya diperkenankan apabila memang diperlukan.
Peraturan dasar/orisinal atas diperbolehkannya tawarruq menjadi dasar dukungan atas keabsahannya.
Itu artinya, pada
esensinya semua transaksi diperbolehkan, kecuali ada bukti yang kuat yang berhubungan dengan salah satu transaksi yang spesifik. Al-Kasani mengatakan bahwa pertukaran
kepemilikan pada barang, membuat tidak adanya
kemungkinan untuk mendapat keuntungan dengan cara riba dalam struktur
transaksinya. Sementara itu kredit tanpa bunga (qard) tidak mungkin didapatkan
sewaktu-waktu, jadi dengan metode ini untuk mendapatkan likuditas, bisa
dianggap sebagai transaksi yang biasa yang menggunakan barang/aset/komoditi
sebagai medianya. Menurut para Ulama yang pro ini, mempraktikan transaksi ini
adalah salah, hanya apa bila jual beli tersebut melibatkan orang yang seperti
dalam transaksi inah, di mana niat untuk mendapatkan riba adalah sangat
terlihat dengan jelas. Argumentasi dari Ulama yang Kontra terhadap Tawarruq
Para Ulama yang menentang tawarruq
konsentrasi utamanya pada aspek dari niat. Mereka mengatakan niat dari
transaksi ini adalah untuk mendapatkan uang, yang dapat berakibat sama dengan
menjual uang untuk mendapat uang lebih, sementara barang/komoditinya hanyalah
digunakan sebagai media, yang kepemilikannya tidak diniatkan. Untuk itu secara
prinsip yang tegas dengan jelas
adanya kemungkinan untuk melakukan sebuah rekayasa untuk mendapakan uang
tunai. Jadi, penolakan atas tawarruq ini berdasarkan adanya hilah atau rekayasa
untuk menghindar dari hal-hal yang dilarang, yang diimplementasikan untuk mendapatkan
sesuatu yang sama dengan riba. Menurut Ibn Abas :ini adalah transaksi uang
terhadap uang dengan kain sutra di tengah-tengahnya;. Para Ulama berpendapat
bahwa hasil akhir dari sebuah transaksi sangatlah penting untuk menentukan
keabsahannya pada struktur tertentu. Kalau alasan utama praktik dari pada
tawarruq adalah untuk mendapatkan uang sekarang, agar bisa mandapatkan
keuntungan yang lebih besar di kemudian hari, maka sudah sepatutnya transaksi
tawarruq ini dilarang, karena tidak lebih dan tidak kurang identik dengan
praktik untuk mendapatkan Riba. Prinsip untuk menutup jalan/peluang
(sadd-al-zarai), adalah argumentasi yang mendukung ketidakabsahan dari
tawarruq, di mana praktik ini dikhawatirkan adalah sebuah trik atau tipu daya
untuk menghindar dari praktik riba. Para Ulama yang menentang tawarruq
mengkutip beberapa hadist yang telah melarang transaksi inah yang menurut
mereka, termasuk pada kategori yang sama, karena kedua praktik ini mempunyai
tujuan yang sama yaitu untuk mendapatkan likuiditas terhadap kewajiban yang
jumlahnya lebih dan akan dibayarkan di masa yang akan datang. Para Ulama dari
Mazhab Hanbali, Ibn Taymiyyah, adalah salah satu yang menentang tawarruq, dan
beliau mengatakan bahwa tawarruq tidak jauh berbeda dengan inah yang hanya bertujuan
untuk mendapatkan dana segar/likuditas. Pemilik modal (penyandang dana) menjual
asetnya kepada seseorang, bukan memberinya uang, untuk mendapatkan keuntungan
lebih nanti nya, ketika (pihak kedua) orang tersebut menjual aset itu kembali
kepada penjualnya (pihak pertama), itu adalah inah, kalau dijual kepada orang
lain (pihak ke tiga) itu adalah tawarruq. Aset yang dipindahkan ke pihak ketiga,
sebagai perantara, pihak ketiga yang menjualnya kembali pada pihak pertama,
pihak ketiga menjadi muhallil,
yaitu seseorang yang melegalitaskan riba untuk pihak pertama. Ibn Qayim,
muridnya Ibn Taymiyyah menolak untuk mengizinkan praktik
dari tawarruq, karena ada indikasi untuk mendapatkan riba ada dalam transaksi
tawarruq. Ibn Taymiyyah menyatakan bahwa sangat tidak
mungkin untuk Syariah melegalkan kerusakan yang besar sementara melarang kerusakan yang lebih kecil, yaitu riba. Beliau mengutip statement
yang diberikan oleh Umar ibn Abdul Aziz : tawarruq adalah saudaranya riba. Untuk transaksi menggunakan hilah, para
ulama berpendapat sah-sah saja, sepanjang tidak merusak fundamental, dasar dari pada prinsip-prinsip
syariah, atau merusak manfaatnya. Menurut salah satu hadist nabi, yang berhubungan dengan hilah, masalah yang terpenting
adalah niat, setiap perbuatan terjadi pada dasarnya karena adanya niat, dan setiap orang akan mendapat pahala
berdasarkan niat dalam melakukan segala sesuatu. Ketika niat
seseorang baik, perbuatannya dapat diterima, apabila niatnya salah,
perbuatannya dapat dikatakan salah. Namun menurut prinsip dari Mazhab Syafi’i,
ketika kata-kata dalam akad sudah explicit, dan tidak diperlukan lagi suatu
penjelasan, maka niat dari pihak-pihak yang berakad adalah sudah jelas.
Verifikasi dari niat penting untuk dijelaskan apabila ada kata-kata yang tidak
jelas/kabur artinya.
Implementasi Tawarruq dari semua argument
pro dan kontra mengenai tawarruq, sebagian besar para ulama kontemporer memberikan izinnya, sepanjang tidak
berhubungan dengan sesuatu yang akan berindikasi kearah untuk mendapatkan riba.
Kondisi dari transaksi tawarruq sifatnya bedasarkan keinginan (hajah) dan bukan
berdasarkan kebutuhan yang mendesak (darurah). Oleh karena itu
memberikan regulasi di dalam transaksi tawarruq menjadi keharusan dalam
rangka memonitor implementasinya. Oleh sebab itu kebutuhan akan mencari jalan
untuk mendapatkan uang tunai melalui transaksi tawarruq harus murni berdasarkan
kebutuhan likuiditas orang tersebut, bukan untuk orang lain. Sehingga ada
pendapat Ulama yang
mengatakan bahwa transaksi tawarruq diperbolehkan apabila tidak ada cara
lain untuk mendapatkan likuditas, seperti pinjaman bebas bunga atau qard.
Ulama lain tidak setuju
karena tawarruq dalam formasi yang sederhana, yaitu tawarruq fiqhi masuk dalam
kategori jual beli (trading), walaupun motifnya adalah untuk mendapatkan
likuiditas, yang tidak dapat dikatakan sebagai illegal motif. Sama dengan jual
beli untuk mendapatkan barang, niat untuk mendapatkan liquiditas untuk keperluan
di masa yang akan datang adalah sama dan tidak perlu adanya regulasi yang
membatasi transaksi ini.
Sementara itu para Ulama
yang lain berpendapat bahwa agar tawarruq dapat diterima oleh semua pihak yang
terkait, maka beberapa regulasi harus dibuat, untuk memastikan bahwa esensi
dari transaksi jual-beli masih eksis. Salah satu syaratnya adalah, penjual yang menjual
barangnya kepada mutawarriq harus memiliki barang yang akan dijualnya pada saat
berlangsungnya akad. Di mana hal itu sesuai dengan hadist nabi yang mengatakan
: janganlah kamu menjual barang yang
tidak kamu miliki ; itu artinya tidak sah akad jual beli apabila, penjual tidak
memiliki barang yang akan dijualnya kepada si pembeli, sama ketentuan nya
dengan transaksi jual beli yang lainnya yang telah diatur di dalam syariah. Syarat yang kedua adalah,
penjualan yang kedua harus kepada pihak ke tiga, bukan pada pihak pertama, seperti pada transaksi bay al-inah.
Tawarruq Munazam Struktur dari tawarruq yang
dapat diterima oleh sebagian besar ulama, telah diadopsi
oleh Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dengan esensi tujuan yang serupa. Formasi
yang diimplementasikan oleh Bank-Bank Syariah, telah dimodifikasi sedemikian
rupa, yang strukturnya berbeda dengan tawarruq klasik atau tawarruq fiqhi.
Struktur tawarruq yang sudah dimodifikasi oleh bank-bank Syariah variasinya bisa berbeda antara satu bank
syariah dengan bank-bank syariah yang lainnya, yang disebut dengan nama tawarruq munazam atau regulated tawarruq
atau organized tawarruq. Yang dimaksud dengan tawarruq munazam adalah: seorang nasabah membeli komoditi dari bank,
dengan prinsip murabahah, lalu pembayarannya dilakukan dengan harga tangguh, setelah komoditi tersebut pindah tangan,
nasabah menunjuk bank sebagai agennya untuk menjual kembali komoditi tersebut
kepada nasabah yang lain dengan harga yang lebih rendah, dan dibayar tunai. Implementasi dari pada transaksi tawarruq
munazam ini juga berlaku di pasar international. Bank
syariah membeli komoditi dari pasar international dibayar tunai dan menjualnya
kembali kepada nasabahnya dengan prinsip murabahah dengan harga yang lebih
tinggi, lalu bank menjual kembali barang tersebut mewakili nasabahnya (prinsip
wakalah) kepada pihak ketiga. Lalu dana yang dibayarkan ke bank akan
diserahkan ke nasabah bank, yang akan membayar transaksi murabahahnya dengan
cicilan dengan harga yang lebih tinggi sesuai dengan perjanjian di muka. Proses
ini melibatkan broker pasar komoditi internasional, yang mendapat sejumlah
komisi untuk jasanya. Prosedur ini juga dapat dilakukan pada keperluan
likuditas nasabah pada investasi mudarabah (Mudarabah Investment). Proses yang
lainnya adalah untuk menyediakan likuiditas untuk bank syariah. Bank syariah menyetorkan sejumlah uang kepada Bank syariah
lain di luar negeri. Berdasarkan perjanjian, bank syariah yang di luar negeri
bertindak sebagai agen (prinsip wakalah) membeli komoditi dari pasar
internasional dibayar tunai, lalu menjual kembali komoditi tersebut ke pada
banknya sendiri, dengan pembayaran yang ditangguhkan, lalu menjual kembali
barang tersebut ke pasar internasional dengan dibayar tunai. Proses ini menggunakan prinsip murabahah international, yang
dapat menambah pendapatan Bank.
Proses tawarruq ini melibatkan transfer sejumlah uang ke luar negeri yang
biasanya menggunakan benchmark interest rate pada saat itu. Prosedur dari tawarruq munazam: Seorang Nasabah yang
membutuhkan dana datang ke bank syariah dan membuat perjanjian dengan bank
untuk membeli komoditi dari bank setelah bank membelinya dari
broker.Bank Syariah membeli komoditi.Bank syariah menjual kembali komoditi
tersebut kepada nasabah dengan harga tangguh.Nasabah akan menunjuk bank sebagai
wakilnya untuk menjual kembali komoditi tersebut dibayar tunai.Bank Syariah
menjual komoditi
ke pada pihak ketiga (biasanya kepada broker lain) dibayar tunai. Uang tunai hasil
penjualan disetorkan ke rekening nasabah.Pada akhirnya, nasabah mendapatkan
dana yang dibutuhkannya, dan mempunyai kewajiban untuk membayar cicilannya
kepada bank atas pembelian komoditi
pada transaksi no. 3 di atas. Untuk menghindari rumitnya transaksi
murabahah ada beberapa Bank yang menghilangkan beberapa prosedur, salah satunya prinsip wakalah atau wakil dari nasabah untuk membeli barang
dari pihak luar, sehingga ada beberapa Bank Syariah yang memilih untuk memiliki
show roomnya sendiri untuk kendaraan roda 2 dan 4 dan barang-barang elektronik
agar lebih mudah proses jual beli murabahahnya, salah satunya adalah Bank
al-Rajhi. Tidak terjadinya pemindahan fisik dari
komoditi, hanya sebatas penandatanganan akad jual beli. Pemindahan komoditi
secara fisik terjadi, setiap kali terjadinya akad jual-beli.
Argumentasi dari para
Ulama yang Pro pada Tawarruq Munazam Para ulama yang mengizinkan implementasi
dari tawarruq munazam ini berpendapat bahwa setiap langkah dari prosedur yang
dilalui dalam prosesnya sesuai dengan prinsip syariah. Kalau
setiap proses suatu akad yang terlibat di dalamnya sah, maka tidak ada alasan
untuk tidak mengatakan bahwa semua prosedurnya sah, yaitu: 1. Bank membeli komoditi dari pasar komoditi dan secara
konstruktif memiliki komoditi tersebut, melalui beberapa klausul dalam dokumen
transaksi, atas dasar janji untuk membeli dari Nasabahnya. 2. Bank menjual komoditi dengan prinsip murabahah dan hak
kepemilikan barang pindah kepada Nasabah. 3. Nasabah
menunjuk bank sebagai wakilnya untuk menjual kembali komoditi tersebut.
4. Bank kemudian menjual kembali komoditi
tersebut kepada
pihak ke tiga. 5. Bank memberikan dana hasil
penjualan kepada nasabah.
Pertama-tama yang harus
dibahas di sini adalah perjanjian sepihak untuk membeli komoditi dari nasabah,
yang masih dalam perdebatan, apakah janji tersebut dapat dipaksa untuk dipatuhi
atau tidak. Kalau kedua belah pihak membuat perjanjian bersama untuk transaksi
jual beli yang akan dilakukan kemudian, Imam asy-Syafi’i mengatakan kalau
transaksi tersebut tidak sah.
Namun demikian kalau
hanya salah satu pihak berjanji untuk membeli komoditi tersebut, hal ini tidak
akan terlalu berpengaruh banyak. Hal ini dikarenakan Bank yang mengharuskan
nasabahnya untuk membuat perjanjian sepihak kepada Bank untuk membeli komoditi,
tanpa adanya janji dari pihak Bank untuk menjual komoditi tersebut kepada
nasabahnya. Sebagain daripada para Ulama mengatakan
kalau janji sepihak tidak dapat dipaksa untuk diimplementasikan, sementara itu
para Ulama kontemporer merasa demi kepentingan kelancaran transaksi komersil
pada saat ini, maka janji sepihak haruslah mengikat. Yang kedua,
jual-beli pada transaksi murabahah, dengan dasar harga beli ditambah dengan
ongkos dan laba bank, komoditi yang dibeli nasabah dari Bank biasanya dibayar
dengan cicilan. Dengan demikian apabila, suatu komoditi
dijual dengan harga yang lebih tinggi (dibayar dengan cara mencicil)
dari harga tunainya, maka transaksi tersebut adalah transaksi yang sah. Yang
ketiga, adanya akad wakalah, ketika nasabah menunjuk Bank sebagai wakilnya
untuk menjual kembali komoditi tersebut.
Dalam Hukum Islam wakalah:
adalah akad yang sah, yang dapat dilakukan dengan upah atau komisi atau
free of charge/gratis. Para ulama yang mendukung
tawarruq munazam berpendapat bahwa transaksinya sangat serupa dengan
tawarruq fiqhi, hanya lebih well organized (teratur) agar lebih lancar dan
cepat prosesnya. Argumentasi dari para Ulama yang
kontra pada Tawarruq Munazam Perdebatan yang terjadi pada tawarruq
munazam adalah untuk tidak mengikutsertakan formasi
tawarruq yang ketiga, yaitu: si penjual, menjual barangnya dengan harga
yang lebih mahal dari harga pasar kepada mutawarriq, sebagai akibat dari
pembayaran yang tertunda/dengan cicilan.
Dengan begitu artinya tawarruq munazam adalah
indikasi dari kerjasama antara bank dan nasabahnya yang bertujuan untuk
menyediakan dana segar terhadap kewajiban kredit untuk nasabahnya. Sehingga
prinsip objektifitas dari niat dalam konteks ini sangatlah relevan. Nasabah
yang berniat untuk mendapatkan uang tunai, dan membayar sejumlah dana yang
lebih di kemudian hari melalui akad, penunjukan wakil dan Mou. Karena tujuan
utamanya adalah untuk mendapatkan likuditas, yang dapat pula dilakukan melaui
proses tawarruq fiqhi. Peran Bank Syariah dalam transaksi ini bukan hanya
terbatas sebagai perantara untuk pembelian komoditi, seperti pada prinsip
murabahah, tetapi keterlibatan Bank Syariah di sini juga untuk mendapatkan
keuntungan dari memberi fasililitas untuk mencari dana segar, terhadap hutang
yang lebih tinggi dari jumlah uang tunai yang didapat nasabahnya. Bank syariah
tidak pernah bermaksud untuk menyediakan komoditi tersebut kepada nasabahnya.
Bank syariah mempunyai niat untuk mendapatkan keuntungan dari harga komoditi
dengan cara pembayaran cicilan, di kemudian hari, sementara si nasabah berniat
untuk mendapatkan uang tunai, untuk menutupi cicilannya yang jumlahnya lebih
besar dari uang tunai yang didapatnya. Jadi sangat jelas di sini adanya persamaan hilah atau rekayasa untuk melakukan hal-hal yang dilarang, yang
indikasi ke arah untuk mendapatkan riba yang permanen sifatnya. Melalui beberapa proses, Bank syariah hanya berperan sebagai perantara yang tidak
sungguh-sungguh tertarik dengan jual beli komoditi atau memasuki pasar komoditi
internasional. Begitu juga nasabahnya, tidak berniat untuk memiliki komoditi
tersebut atau pada kasus-kasus tertentu tidak tahu menahu tentang adanya proses
jual beli komoditi. Karena tujuan utamanya hanyalah untuk mendapatkan uang
tunai segera dari Bank, dengan berhutang yang akan dibayar dengan cicilan. Oleh
karena itu, sebagian dari Ulama menganggap transaksi ini adalah transaksi
Ribawi. Dari hasil observasi para Ulama, tawarruq
munazam telah melanggar beberapa larangan yang disebutkan dalam hadist, karena
secara eksplisit sama dengan formasi dalam inah, karena
komoditinya kembali kepada penjual asalnya, ditambah dengan komisi yang diterimanya, yang masuk dalam kategori dua transaksi al-bay
dalam satu transaksi
Salah satu hadist yang
dilanggar juga adalah al-bay yang tidak ada relevansi dengan kondisinya (bai wa
syart yang sudah sangat jelas dilarang).
Di mana pada transaksi ini jual beli untuk mendapatkan keuntungan melalui
pinjaman. Jadi tujuan dari pada tawarruq munazam ini adalah pertukaran antara
uang tunai dengan hutang yang lebih besar nilainya. Itu sebabnya tawarruq
munazam tidak dapat memenuhi qualifikasi sebagai pembiayaan alternatif dari pada pembiayaan konvensional yang berbasis
interest (bunga/riba). Satu hal yang juga banyak dikritik oleh para ulama yang tidak setuju dengan implementasi dari transaksi tawarruq munazam ini
adalah: komoditi yang dibeli di pasar international adalah
sebuah refleksi dari transaksi ribawi, yaitu riba al fadl, yang dilarang.
Islamic Fiqh Academy Jeddah, pada konferensi tahunannya yang ke-17, tidak
memberi izin atas praktik tawarruq munazam yang
berlaku di beberapa Bank syariah pada saat ini, dikarenakan praktik tawarruq
munazam hanyalah sebatas di atas kertas untuk mendapatkan uang tunai. Praktik tawarruq munazam pada Perbankan Syariah
adalah untuk keperluan personal financing, sukuk dan pasar komoditi internasional.
Pada transaksi tawarruq munazam ada terjadinya 3 (tiga)
akad murabahah, yang pertama jual-beli
di antara Bank dan penjual komoditi, yang kedua,
jual beli di antara Bank dan nasabah. Yang ketiga,
jual-beli antara nasabah dan pihak ketiga (pihak lain yang bukan bank dan bukan
penjual pertama dari komoditi tersebut). Di dalam transaksi ini juga terjadi 2 (dua) akad wakalah, yang pertama,
Nasabah menunjuk bank sebagai wakilnya untuk membeli komoditi dari si penjual, yang
kedua, ketika nasabah menunjuk Bank sebagai wakilnya untuk menjual kembali
komoditi tersebut pada pihak ketiga. Terkadang ada akad
wakalah yang ketiga antara bank dan penjual/dealer untuk menegosiasikan harga untuk
penjualan Murabahah yang ketiga. Biasanya dalam proses ini komoditinya tidak
berpindah tangan dari penjual pertama, atau komoditi yang dibeli di pasar
komoditi internasional, di
mana fisik dari barang tersebut tidak ada. Proses ini melibatkan 4 pihak : penjual pertama,
nasabah, bank dan pembeli
(pihak ketiga). Prosedur setiap bank syariah berbeda-beda, ada juga bank yang
sudah membeli dulu komoditinya, dan nasabah tidak perlu membuat perjanjian
untuk membeli, tapi bank langsung menawarkan komoditi kepada nasabah dengan
cara musawamah di mana harga dapat dinegosiasikan dan nasabah tidak tahu harga
asli dan keuntungan yang didapat oleh bank dari hasil penjualan ini.
Kesimpulan: Para Ulama masih berdebat mengenai transaksi tawarruq. Pada transaksi
tawarruq fiqhi, transaksinya adalah murni jual-beli, di mana ada pemindahan
kepemilikan barang, sementara praktik dari tawarruq
munazam yang dilakukan oleh beberapa bank syariah pada saat ini, adalah
sebuah proses untuk mendapatkan uang tunai di mana transaksi jual-belinya hanya
di atas kertas dan tidak ada perpindahan aset, yang artinya praktik tawarruq
munazam sudah melanggar prinsip syariah yang utama yaitu: seseorang tidak dapat menjual barang yang tidak
dimilikinya. Oleh sebab itu transaksi ini tidak diizinkan oleh Islamic Fiqh
Academy Jeddah pada resolusinya yang ke-17. Reference:
INCEIF 2006, Applied Shariah in Financial Transactions 15-02-2008 Nibra Hosen
dakwatuna.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar