Senin, 21 Oktober 2013

Hybrid Contract

HYBRID CONTRACT

CONTOH-CONTOH PENGEMBANGANPRODUK BANK SYARIAH
Berikut akan dipaparkan sebagian skim dan model inovasi produk bank-bank syariah, baik produk financing, funding, jasa-jasa, maupun treasury products. Di antara produk yang bisa dikembangkan di bank syariah adalah pembiayaan multi guna, KTA (Kredit Tanpa Agunan), murabahah commodity untuk treasury product, Pembiayaan perkebunan sawit dengan metode Margin During Contruction, bay’ wafa’ dan bay’ istighlal untuk usaha mikro, hedging dengan forward dan swap, tawarruq emas berlandaskan istihsan dan maslahah, dsb.
Pembiayaan multiguna
Pembiayaan multi guna dapat menggunakan skim tawarruq emas atau bay wafa wal ijarah yang disebut dengan bay’ istighlal (lihat Qanun Al-Majallah al-Ahkam al-‘adliyah). Skim tawarruq emas ini diambil dari banyak buku fiqh, terutama buku, Tawarruq Mashrafi ‘an Thariq bay’ al-ma’adin (Tawarruq di perbankan melalui jual beli emas). Mayoritas ulama menyetujuibay’ tawarruq, Namun Umar bin Abdul Aziz, Ibnu Taymiyah dan Ibnu Qayyim memakruhkanya. Fatwa ulama OKI hanya mengharamkan tawarruq munazzam yang banyak dilakukan sebagian bank syariah Malaysia. Tawarruq munazzam tidak lain adalah bay al-‘inah itu sendiri, maka hukumnya dilarang.
Kalau kita mengambil pendapat mayoritas ulama, maka penerapan tawarruq, tidak menjadi masalah, Namun jika kita mengambil pendapat Umar bin Abdul Aziz, Ibnu Taymiyah dan Ibnu Qayyim, kemakruhannya dapat dihilangkan dengan metode istihsan, maslahah danmaqashid. Jika kita menggunakan metode istihsan, maka harus bisa ditunjukkan bahwa tawarruq yang hendak diterapkan di perbankan, harus berbeda karakternya dengan tawarruq yang dimakruhkan, sebagian ulama. Pada tawarruq perbankan itu, harus ada syarat ketat dari bank syariah, yakni bahwa dana tawarruq harus digunakan untuk sector riil ( yang produktif) dan officer perbankan harus mencek kebenaran terwujudnya sektor riil di lapangan.
Jadi, untuk mewujudkan itu officer bank syariah dalam visibility study dan analisis pembiayaan harus mensyaratkan bahwa penggunaan uang tawarruq memang untuk sector riel, seperti usaha mikro, pertanian dan kegiatan usaha produktif lainnya, atau semi produktif seperti pendidikan, renovasi rumah, dan sebagainya. Multi guna artinya penggunaan uang tersebut dapat digunakan untuk apa saja, asalkan untuk sector riil yang sesuai syariah.


KTA (KREDIT TANPA AGUNAN) Syariah
Skim tawarruq emas juga dapat digunakan untuk pembiyaan KTA syariah. Produk KTA syariah harus diluncurkan dan dikembangkan, mengingat saat ini bank-bank asing konvensional sangat gencar menawarkan produk KTA konvensional. Potensi pasar KTA syariah mencapai 2000 triliun rupiah. Jangan biarkan bank-bank asing menguasai pasar kita. Kalau bank syariah tidak masuk di pasar tersebut, maka dominasi bank-bank asing konvensional, makin merajalela masuk ke UKM rakyat Indonesia, padahal cukup banyak skim akad yang bisa digunakan untuk KTA Syariah tersebut, antara lain dengan tawarruq (emas), atau bay wafa’ dan istighlal.
Bay’ wafa’ dan istighlal dapat pula digunakan untuk pembiayaan multi guna. Mekanismenya, Pertama, nasabah menjual assetnya (rumah, perkebunan, atau mobil), ke bank syariah dengan harga misalkan Rp 200 juta, dengan janji nasabah akan membeli (melunasi) kembali rumah tersebut 2 tahun depan dengan harga yang sama, yakni Rp 200.juta. Dengan jual beli ini, nasabah mendapatkan uang cash dari bank dan dengan demikian rumah menjadi milik bank. Kedua, selanjutnya, bank menyewakan rumah itu kepada nasabah itu kembali dengan margin tertentu.
Bank mendapatkan keuntungan (margin) dengan cara penyewaan tersebut. Besaran biaya sewa bulanan dapat memilih dua alternatif, Pertama, biaya sewa bulanan dan margin disesuaikan dengan besaran cicilan normal pembiayaan, misalnya Rp 10 juta per bulan.Ketika masa ijarah selesai, maka rumah itu kembali dijual bank kepada nasabah dengan harga tertentu. Pilihan kedua, dalam perjanjian itu disyaratkan nasabah untuk menyimpan sejumlah dana setiap bulan misalkan Rp 9,2 juta dan ketika jumlah simpanan mencapai Rp 200 juta, maka janji nasabah untuk membeli kembali rumah tersebut diwujudkan. Syarat tersebut tidak dilarang dalam syariah, karena itu ia dibolehkan.
 Inovasi produk yang bisa dikembangkan oleh bank-bank syariah. Salah satu produk yang bisa dikembangkan di bank syariah adalah syirkah mutanaqishah. Syirkah mutanaqishah dapat digunakan untuk pembiayaan properti, agar pricenya bisa kompetitif dengan konvensional. Hal ini dikarenakan murabahah kurang tepat untuk pembiayan properti dengan tenor panjang, 7 sd 15 tahun. Penerapan murabahah untuk properti dengan tenor jangka panjang tersebut, sudah dipandang kuno dan lebih berisiko dalam menghadapi fluktuasi pasar. Maka solusinya adalah syirkah mutanaqishah yang sudah difatwakan DSN melalui fatwa DSN No 73/2009. Namun fatwa inipun sebenarnya masih kurang lengkap, karena hanya memfatwakan 1 model syirkah mutanaqishah. Padahal menurut studi fiqh muamalah kontemporer yang lebih luas, setidaknya terdapat enam model (bentuk) syirkah mutanaqisihah, Sayangnyanya, syirkah mutaqishah yang satu model ini pun belum banyak dipahami para bankir syariah, apalagi untuk memahami penerapan enam model syirkah mutanaqishah lainnya. Di sinilah diperlukan workshop dan traiining kpada para pejabat dan bankir bank-bank syariah.
 Design akad pembiayaan take over atau pengalihan hutang. Menurut fatwa DSN MUI No 31/Tahun 2002, ada empat alternatif kontrak, namun dalam praktiknya banyak bankir syariah yang tidak memahami dengan baik konsep dan penerapannya, sehingga penerapannya di lapangan mengalami penyimpangan. Hasil penelitian ilmiah di empat bank syariah di Jakarta, menunjukkan hampir 80 % design akad pembiyaan take over tidak sesuai dengan syariah. Kesulitan memahami design akad ini dikarenakan semua akadnya merupakan hybrid contract (al-‘ukud al-murakkabah).
Untuk pembiyaan take over properti, menurut fatwa DSN MUI, terdapat empat pilihan design akad yang kesemuanya adalah kombinasi banyak akad (al-‘ukud al-murakkabah).Untuk memahami dan menerapkan empat alternatif akad saja, para bankir banyak yang tidak mengerti, bagaimana pula dengan inovasi produk yang lebih luas. Berdasarkan kajian yang lebih luas dan mendalam, design kontrak pembiayaan take over sebenarnya ada tujuh alternatif, bukan empat alternatif, yakni dengan tambahan syirkah mutanaqishah dan hiwalah itu sendiri.Syirkah mutanaqishah ini terbagi lagi kepada 10 bentuk dan model kontrak. Dengan demikian, untuk pembiyaan take over properti atau lainnya bisa memilih belasan alternatif akad.
 produk funding yang ada di Indonesia hanyalah mudharabah dan wadiah,yang dikembangkan menjadi tabungan depositi dan giro. Padahal setidaknya ada tujuh alternatif yang bisa dipilih untuk dikembangkan, yaitu pertama, deposito wakalah bil ujrah, kedua, deposito musyarakah, ketiga, kombinasi mudharabah dan wadiah, yaitu tabungan dan giro automatic transfer mudharabah dan wadiah. Selanjutnya, yang keempat, kombinasi giro wadiah dan qardh, kelima, mudharabah muqayyadah untuk murabahah dan keenam, mudharabah muqayyadah untuk murabahah commodity. Dan terakhir (ketujuh) ialah mudharabah muthlaqah untuk tabungan biasa. Pilihan ketujuh ini yang paling banyak diterapkan di Indonesia, selain giro wadiah.
Tak bisa dipungkiri, bahwa dalam pembiayaan, bank syariah banyak menerapkan konsep murabahah, sebagai produk dominan. Padahal dalam jual beli dapat juga dikembangkan bay’ mustarsal, bai’ taqsith, bahkan bay wafa’, bai’ istighlal dan bai’ tawarruq. Kajian mendalam harus dilakukan kepada bai’ tawarruq menurut para ulama, sehingga tidak secara gampang memutuskan bentuk akad tawarruq ini dilarang. Banyak sekali literatur mu’tabar yang membolehkan bentuk akad ini. Jumhur ulama juga membolehkannya. Sedangkan bay’ al-‘inah jelas sekali larangan tentangnya, sehingga tidak bisa diterapkan. Malaysia yang banyak menerapkannya ternyata salah kaprah dalam mengutip pendapat Imam asy-Syafi’iy dan Daud azh-Zhahiri. Untung saja beberapa tahun belakangan ini mereka menyadari kekeliruannya dan berupaya keras mengurangi produk bai’ al-inah secara drastis. Jadi Indonesia tidak bisa menerima konsep bai’ al-‘inah dalam pengembangan dan inovasi produk perbankan syariah.
  Model-model fiqh mumalah terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan lokasi geografis. Bentuk-bentuk syirkah di zaman modern ini demikian banyak, seperti syirkah mutanaqishah, syirkah muhashah, syirkah tadhamun, syirkah mushana’ah, syirkah muntahiyah bittamlik, syirkah ta’awuniyah, syirkah musahamah, syirkah taushiyah, mudharabah musytarakah dan lain-lain.
 Bentuk-bentuk mudharabah juga sangat variatif dan terus berkembang. Jika di masa Nabi Muhammad Saw, hanya terdapat 1 model mudharabah, tetapi di masa kini bentuk mudharabah sudah menjadi lima macam, yaitu mudharabah bilateral, mudharabah multilateral, mudharabah muwazi, mudharabah musytarakah dan Mudharabah Muntahiyah bi Tamlik.
 Untuk pembiyaan pertanian, di benak para bankir pada umumnya hanya ada bay’ salam, yakni salam paralel. Namun belum ada satu bank syariah pun yang memilih skim ini, meskipun sudah ada fatwa DSN sejak tahun 2000. Bentuk skim salam paralel tidak realistis dan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat konsumen. Akibatnya, bank syariah tidak berani memasuki sektor agribisnis atau pertanian, selain berisiko juga karena di benak mereka, hanya ada skim bai’ salam saja. Bai’ salam yang ada di fatwa DSN dan buku-buku yang berkembang di Indonesia sangat sulit terjadi dan kaku. Harusnya skim bai’ salam bisa dirancang berdasarkan prinsip syariah, bukan melalui salam paralel sebagaimana dalam buku Muhammad Syafii Antonio dan Wahbah az-Zuhaili dalam buku Fiqh Muamalah Mu’ashirah.Literatur itu tidak relevan dan tidak realistis. Seandainya skim salam ditambah dengan bai’ muthlak, persoalannya sudah selesai. Penerapan bai’ salam dan bai’ muthlak adalah pilihan skim yang realistis dan kecil risiko. Di berbagai negara, skim untuk pertanian sangat variatif, sehingga memungkinkan bagi bank syariah untuk masuk ke sektor ini, selain bai’ salam juga bisa kombinasi akad syirkah milik, ijarah an bai’.
 Hybrid Contract.
Di era transkasi keuangan modern yang semakin kompleks, dibutuhkan design kontrak akad dalam bentuk kombinasi beberapa akad yang disebut dengan hibryd contract (multiakad), atau biasa disebut al-ukud al-murakkabah. Bentuk akad tunggal sudah tidak mampu meresponi transaksi keuangan kontemporer.
Dr.Mabid al-Jarhi, mantan direktur IDB pernah mengatakan, kombinasi akad di zaman sekarang adalah sebuah keniscayaan. Cuma masalahnya, literatur ekonomi syariah yang ada di Indonesia sudah lama mengembangkan teori bahwa syariah tidak membolehkan dua akad dalam satu transaksi akad (two in one). Padahal, larangan two in one terbatas dalam tiga kasus saja sesuai dengan sabda-sabda Nabi Muhammad Saw yang terkait dengan itu. Two in one tidak boleh diperluas kepada masalah lain yang tidak relevan dan tidak pas konteksnya. Para dosen, ahli ekonomi syariah, dan bankir syariah harus mempelajari secara mendalam pandangan ulama tentang akad two in one dan al-‘ukud al-murakkabah, agar pemahaman terhadap design kontrak syariah lebih komprehensif, dinamis dan tidak kaku. Kekakuan itu bisa terjadi karena kedangkalan metodologis syariah dan kelangkaan litaratur. Buku-buku fiqh muamalah kontemporer yang membahas permasalahan hybrid contract (kombinasi akad) antara lain, Al-‘Ukud al-Murakkabah fi Fiqh al-Islami, karya, Nazih Hammad, Damaskus 2005),juga buku al-‘Ukud al-Maliyah al-Murakkabah oleh al-‘Imrani,
Cuma masalahnya, literatur ekonomi syariah yang ada di Indonesia sudah lama mengembangkan teori bahwa syariah tidak membolehkan dua akad dalam satu transaksi  (two in one). Artinya, kontrak yang mengandung two in one terlarang dalam syariah. Larangan tersebut digenerasilisasi untuk seluruh  kontrak, sehingga setiap kontrak yang mengandung dua akad atau lebih dipandang bertentangan dengan syariah. Di sinilah diperlukan ‘ulumul hadits dan ilmu mushtalahul hadits. Sejumlah kitab syarah hadits juga harus dirujuk. Menurut studi yang komprehensif terhadap tiga buah hadits yang melarang two in one, dapat disimpulkan  bahwa syariah hanya membatasi larangan itu untuk beberapa kasus saja dan  membolehkannya  dalam ruang lingkup yang sangat luas.
Jadi, selama ini, larangan ini ditafsirkan secara dangkal dan salah, sehingga menyempitkan pengembangan kegiatan transaksi dan pengembangan produk bank dan keuangan syariah. Terjadilah pelarangan terhadap sesuatu yang sesungguhnya tidak dilarang.
Para dosen, ahli ekonomi syariah, bankir syariah dan konsultan harus mempelajari secara mendalam pandangan ulama tentang akad two in one dan al-ukud al-murakkabah, agar pemahaman terhadap design kontrak syariah, bisa lebih komprehensif, dinamis dan tidak kaku. Kekakuan itu bisa terjadi karena kedangkalan metodologis syariah dan kelangkaan litaratur yang sampai kepada kita.
Memang ada tiga buah hadits Nabi Saw yang menunjukkan larangan penggunaan hybrid contract. Ketiga hadits itu berisi tiga larangan,  pertama larangan  bai’ dan salaf, kedua, larangan bai’ataini fi bai’atin, dan ketiga larangan shafqataini fi shafqatin. Ketiga hadits itulah yang selalu dijadikan rujukan para ahli, konsultan dan banker syariah tentang larangan akad  two in one dalam satu transaksi. Namun harus dicatat, larangan itu hanya berlaku kepada beberapa  kasus saja.  Bahkan hadits kedua dan ketiga maknanya sama, walaupun redaksinya berbeda. Maksud Hadits shafqataini fi shafqatin adalah bai’ataini fi bai’atin.
Kasus pertama yang dilarang, adalah menggabungkan akad qardh dengan jual beli sesuai dengan sabda Nabi Saw tentang hal tersebut. “Dari Abu Hurairah, Rasulullah melarang jual beli dan pinjaman”. (HR. Ahmad) [1] Imam Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, j. 2, (Beirut: Dâr al-Ihyâi al-Turâts al-’Araby, 1414 H), cet. ke-3, hal. 178
Kasus Kedua, bai’ al-‘inah, Pendapat ini dikutip dari pandangan Ibnu Qayyim yang menyatakan, bahwa dari 14 penafsiran terhadap hadits bai’atain fi bai’atin (dua akad dalam satu transaksi), penafsiran yang paling shahih adalah bai’ al-‘inah tersebut.
Kasus ketiga yang dilarang, adalah penjual menawarkan dua harga atau beberapa harga kepada pembeli, misalnya, harga barang ini jika kontan Rp 10 juta, jika cicilan Rp 12 juta, selanjuthya, pembeli menerima (mengucapkan qabul), tanpa terlebih dahulu memilih salah satu harganya, Bentuk jual beli ini dilarang karena tidak jelas harganya (gharar).
Itulah tiga kasus hybrid contract yang dilarang berdasarkan hadits Nabi Saw. Untuk melengkapi bentuk hybrid contract yang dilarang saya akan menguraikan   pada uraian akhir tulisan ini ketentuan-ketentuan (dhawabith) hybrid contract yang dilarang, seperti menggabungkan akad qardh dengan hadiah atau janji hadiah, Larangan ini, karena hybrid contract itu mengandung riba.
Pandangan Ulama
Aliudin Za’tary dalam buku Fiqh al-Muamalah al-Maliyah  al-Muqaran mengatakan  Tidak ada larangan dalam syariah tentang  penggabungan dua akad dalam satu transaksi, baik akad  pertukaran (bisnis) maupun akad tabarru’. Hal ini berdasarkan keumuman dalil-dalil  yang memerintahkan  untuk  memenuhi (wafa)  syarat-syarat dan akad-akad” Dengan demikian, hukum multi akad adalah boleh.
Mayoritas ulama Hanafiyah, sebagian pendapat ulama Malikiyah, ulama Syafi’iyah, dan Hanbali berpendapat bahwa hukum hybrid contract adalah sah dan diperbolehkan menurut syariat Islam. Ulama  yang membolehkan beralasan bahwa hukum asal dari akad adalah boleh dan sah, tidak diharamkan dan dibatalkan selama tidak ada dalil hukum yang mengharamkan atau membatalkannya. (Al-‘Imrâni, Al-’uqûd al-Mâliyah al-Murakkabah, hal. 69). Kecuali menggabungkan dua akad yang menimbulkan riba atau menyerupai riba, seperti menggabungkan qardh dengan akad yang lain, karena adanya larangan hadits menggabungkan jual beli dan  qardh. Demikian pula menggabungkan jual beli cicilan dan jual beli cash dalam satu transaksi
Menurut Ibn Taimiyah, hukum asal dari segala muamalat di dunia adalah boleh kecuali yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya, tiada yang haram kecuali yang diharamkan Allah, dan tidak ada agama kecuali yang disyariatkan.( Ibn Taimiyah, Jâmi’ al-Rasâil, j. 2, hal. 317)
Nazih Hammad dalam buku al-’Uqûd al-Murakkabah fi al-Fiqh al-Islâmy menuliskan, ”Hukum  dasar dalam  syara’ adalah bolehnya melakukan transaksi  hybrid contract , selama setiap akad yang membangunnya ketika dilakukan sendiri-sendiri hukumnya boleh dan tidak ada dalil yang melarangnya. Ketika ada dalil yang melarang, maka dalil itu tidak diberlakukan secara umum, tetapi mengecualikan pada kasus yang diharamkan menurut dalil itu. Karena itu, kasus itu dikatakan sebagai pengecualian atas kaidah umum yang berlaku yaitu mengenai kebebasan melakukan akad dan menjalankan perjanjian yang telah disepakati. (Nazîh Hammâd, al-’uqûd al-Murakkabah fi al-Fiqh al-Islâmy, hal. 8)
Demikian pula dengan Ibn al-Qayyim, ia berpendapat bahwa hukum asal dari akad dan syarat adalah sah, kecuali yang dibatalkan atau dilarang oleh agama.(Ibn al-Qayyim, I’lâm al-Muwaqqi’în, j. 1, hal. 344)
Asy-Syâtiby menjelaskan perbedaan antara hukum asal dari ibadat dan muamalat. Menurutnya, hukum asal dari ibadat adalah melaksanakan (ta’abbud) apa yang diperintahkan dan tidak melakukan penafsiran hukum.  Sedangkan hukum asal dari muamalat adalah mendasarkan substansinya bukan terletak pada praktiknya (iltifât ila ma’âny). Dalam hal ibadah tidak bisa dilakukan penemuan atau perubahan atas apa yang telah ditentukan, sementara dalam bidang muamalat terbuka lebar kesempatan untuk melakukan perubahan dan penemuan yang baru, karena prinsip dasarnya adalah diperbolehkan (al-idzn) bukan melaksanakan (ta’abbud).[1] ( Asy-Syâtiby, al-Muwâfaqât, j. 1, hal. 284)
Pendapat ini didasarkan pada beberapa nash yang menunjukkan kebolehan multi akad dan akad secara umum. Pertama firman Allah dalam surat al-Mâidah ayat 1 yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman penuhilah olehmu akad-akad”. (QS. Al-Mâidah : 1)
Buku-buku  teks fikih muamalah kontemporer,  menyebut istilah hybrid contract dengan  istilah yang beragam,  seperti     al-’uqûd  al-murakkabah (akad-akad yang tersusun), al-’uqûd  al-muta’addidah (akad-akad yang berbilang) , al-’uqûd al-mutaqâbilah (akad yang berhadapan-berpasangan), al-’uqûd al-mujtami’ah (akad-akad yang berhimpun) ,  dan al-’Ukud al-Mukhtalitah (akad-akad yang bercampur),al-‘ukud al-mutakarrirah (akad-akad yang berulang), dan al-‘ukud al-mutadakhilah (akad yang satu masuk kepada akad yang lain).  Namun istilah yang paling populer ada dua macam , yaitu al-ukud al-murakkabah dan al-ukud al mujtami’ah. Adapula menggunakan istialah al-ukud almutajanisah (akad-akad yang sejenis)
Dr. Nazih Hammad dalam buku Al-’uqûd al-Murakkabah fî al-Fiqh al-Islâmy, 2005), hlm. 7 mendefinisikan hybrid contract sebagai berikut, “
“Kesepakatan dua pihak untuk melaksanakan suatu akad yang mengandung dua akad atau lebih –seperti jual beli dengan sewa menyewa, hibah, wakalah, qardh, muzara’ah, sharaf (penukaran mata uang), syirkah, mudharabah … dst.– sehingga semua akibat hukum akad-akad yang terhimpun tersebut, serta semua hak dan kewajiban yang ditimbulkannya dipandang sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan, sebagaimana akibat hukum dari satu akad.”
Sementara itu  Abdullah al-“Imrani dalam buku Al-Ukud al-Maliyah al-Murakkabah mendefinisikan hybrid contract yaitu “Himpunan beberapa akad kebendaan yang dikandung oleh sebuah akad –baik secara gabungan maupun secara timbal balik– sehingga seluruh hak dan kewajiban yang ditimbulkannya dipandang sebagai akibat hukum dari satu akad”.
Kedua definisi di atas tampaknya mirip dan tidak terdapat perbedaan. Hybrid contract itu dipandang sebagai satu kesatuan akad  dan semua akibat hukum akad-akad yang tergabung  tersebut, serta semua hak dan kewajiban yang ditimbulkannya dipandang sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan, sebagaimana akibat hukum dari satu akad. Menurut asy-Syatibi, penelitian terhadap hukum Islam menunjukkan bahwa dampak hukum dari hybrid contract  tidak sama seperti saat akad itu berdiri sendiri-sendiri.  [1] Asy-Syâtiby, al-Muwâfaqât, j. 3, hal. 144 – 146
Misalnya, musyarakah mutanaqishah, mudharabah musytarakah, bai’ wafa’ bai’ istighlal, bai’ tawarruq, bai’ takjiri (sewa beli), dan sebagainya. Akan tetapi harus dicatat, meskipun sudah menjadi satu kesatuan, dalam pembuatan draft kontrak, akad-akad yang tergolong hybrid tersebut ada yang dapat digabungkan dalam satu title kontrak dan ada pula yang dipisahkan. Untuk musyarakah mutanaqishah, akad syirkah milk, dibuat terpisah dengan akad ijarah, demikian pula akad pembiayaan take over, masing-masing akadnya dipisahkan,namun dipandang sebagai satu kesatuan. Sedangkan akad  bai’ wafa, bai istighlal, sewa beli, kartu kredit, dapat disatukan dalam satu dokumen (materai).
Macam-macam hybrid contract
Pertama, hybrid contract  yang mukhtalithah (bercampur) yang memunculkan nama baru, seperti bai’ istighlal , bai’  tawarruq, musyarakah mutanaqishah dan bai’ wafa’.
 Jual beli istighlal merupakan percampuran 3 akad, yaitu 2 akad jual beli dan ijarah, sehingga bercampur  3 akad. Akad ini disebut juga  three in one.
 Jual Beli Tawarruq percampuran 2 akad jual beli. Jual Beli 1 dengan pihak pertama, Jual Beli kedua dengan pihak ketiga.
 Musyarakah  Mutanaqishah (MMQ). Akad ini campuran akad syirkah milik dengan  Ijarah  yang mutanaqishah atau jual beli yang disifati dengan mutanaqishah (decreasing). Percampuran akad-akad ini melahirkan nama baru, yaitu musyarakah mutanaqishah (MMQ). Substansinya hampir sama dengan IMBT, karena pada akhir periode barang menjadi milik nasabah, namun  bentuk ijarahnya berbeda,  karena transfer of title ini bukan dengan janji hibah atau beli, tetapi karena transfer of tittle yang mutanaqishah, karena itu  sebutannya ijarah saja, bukan IMBT.
 Bai’ wafa’ adalah percampuran (gabungan) 2 akad jual beli yang melahirkan nama baru. Pada  awal kelahirannya di abad 5 Hijriyah, akad  ini merupakan multiakad (hybrid), tetapi dalam proses sejarah menjadi 1 akad, dengan nama baru  yaitu bai’ wafa’.
Kedua Hybrid Contract yang mujtami’ah/mukhtalitah dengan nama akad baru, tetapi menyebut nama akad yang lama, seperti  sewa beli (bai’ takjiri) Lease and purchase. Contoh lain  ialah mudharabah musytarakah pada life insurance dan deposito bank syariah.
Contoh lainnya yang cukup menarik  ialah menggabungkan wadiah dan mudharabah pada GIRO, yang bisa disebut   Tabungan dan Giro Automatic Transfer Mudharabah dan Wadiah. Nasabah mempunyai 2 rekening, yakni tabungan dan giro sekaligus.(2  rekening dlm 1 produk).Setiap rekening dapat pindah secara otomatis jika salah satu rek membutuhkan.
Contoh lain ialah sewa beli (lease and purchase). Menurut buku Fiqh Muamalah al-Mu’ashirah, Usman Tsabir, sewa beli hukumnya boleh, tidak terdapat gharar padanya. Menurutnya, “Sesungguhnya ulama berbeda pendapat tentang hukum menggabungkan dua akad ; antara jual beli dan ijarah. Sebagian ulama mengatakan boleh, yaitu ulama Malikiyah dan Imam asy-Syafi’iy dalam salah satu pendapatnya, juga Qadhi dari Ulama Hanabilah  Sebagian ulama mengatakan tidak boleh, yaitu Hanafiyah, Zhahiriyah, mazhab Syafi’iy dan al-Kharqy dari Hanabilah”.
Selanjutnya Dr.Usman Tsbir mentarjih sebagai berikut, “Tetapi pendapat yang paling kuat adalah pendangan yang membolehkan. Inilah pendapat yang paling nyata (realistis), karena barang (obyek) yang dibeli dan jasa yang dilakukan, keduanya membutuhkan iwadh’, bisa berlaku masing-masing dan bisa pula digabung sekaligus. Perbedaan sewa dan beli tidak merusak sahnya akad. Karena perbedaan hukum (ketentuan) dua akad tidak mencegah  sahnya akad. Di antara dalil yang menguatkan pendapat yang membolehkan penggabungan akad jual beli dan ijarah (two in one), adalah kaedah dasar dalam pertukaran, Tidak ada dalil yang mengharamkannya. Hukumnya boleh karena dasar istishab”
Ketiga Hybrid  contract, yang akad-akadnya  tidak bercampur dan tidak melahirkan nama akad baru. tetapi nama akad dasarnya tetap ada dan eksis dan dipraktikkan dalam suatu transaksi. Contohnya :
1. Kontrak  akad pembiayaan take over pada  alternatif 1 dan 4 pada fatwa DSN MUI No  31/2002
2. Kafalah wal ijarah serta qardh dan ijarah  pada kartu kredit,
3. Wa’ad untuk wakalah murabahah, ijarah, musyarakah, dll pada pembiayaan rekening koran or line facility
5. Murabahah wal wakalah pd pembiayaan murabahah basithah.
6. Wakalah bil ujrah pada L/C, RTGS,  General Insurance, dan Factoring,
7.Kafalah wal Ijarah pada LC, Bank Garansi, pembiayaan multi jasa / multi guna, kartu kredit.
8.Mudharabah wal murabahah/ijarah/istisna pada pembiayaan terhadap karyawan koperasi instansi.
9. Hiwalah dan syirkah  pada factoring.
10. Rahn wal ijarah pada REPO, SBI dan, SPN dan  SBSN
11.Qardh, Rahn dan Ijarah pada produk gadai emas di bank syariah
12. Dalam transaksi pasar uang antar bank syariah yang menggunakan  bursa komoditas dibutuhkan 5 akad, yaitu   1. Akad bai’ antara bank surplus (peserta komersial) dengan pedagang komoditas (peserta komersial), , 2. Akad murabahah antara bank surplus dengan bank deficit (konsumen komoditas), 3. Akad  bai’ antara bank deficit  dengan pedagang  komoditas ’, 4. Wakalah  antara bank deficit kepada agen atau Bursa Berjangka Jakarta, 5. Akad bai’ muqayadhah, antara sesama pedagang komodity.
Keempat, Hybrid Contract  yang  mutanaqidhah (akad-akadnya berlawanan).  Bentuk ini dilarang dalam syariah.  Contohnya menggabungkan akad     jual beli dan pinjaman (bai’ wa salaf). Contoh lain, menggabungkan qardh wal ijarah dalam satu akad. Kedua contoh tersebut dilarang oleh nash (dalil) syariah, yaitu hadits Rasulullah Saw.  Contoh lainnya  : menggabungkan  qardh dengan janji hadiah
Selain itu, ada pula hybrid contract yang mustatir (tersembunyi), Misalnya, tabungan mudharabah di bank syariah. Akad yang digunakan pada saat transkasi hanyalah satu akad yakni mudharabah, namun, sebenarnya dalam akad tersebut tidak cukup hanya satu akad, harus ada akad lain sebagai tambahan, yaitu kafalah, karena ketika nasabah menarik dana di ATM bersama, bukan ATM bank bersangkutan, diperlukan akad kafalah. Namun akad tersebut tidak disebutkan, melainkan tersembunyi (mustatir)  karena sudah menjadi ‘urf perbankan dimana setiap tabungan, dapat ditarik di ATM  tertentu (ATM bersama).
Dalam sukuk ijarah, sebenarnya terdapat tiga akad, yaitu akad bai’ (bai’ al-manfa’ah), akad ijarah dan akad bai’ kembali. Namun, dalam penamaan biasanya disebut sukuk ijarah saja.
Dalam praktek legal (hukum) di lembaga keuangan syariah, ada hybrid contract, yang akad-akadnya harus dipisahkan dan ada pula yang boleh disatukan dalam satu dokumen (satu materai). Akad syirkah munataqishah, harus dipisahkan akad-akadnya, akad pertama ialah syirkah milik, dan akad kedua  adalah ijarah yang khusus. Semua ulama mengharuskan terpisahnya dua akad tersebut.
Dalam Gadai syariah terdapat tiga akad, yaitu rahn, qardh (dayn) dan ijarah. Akad rahn dan dain (hutang), boleh disatukan, karena memang harus bersatu dalam satu kertas, sedangkan akad ijarah sebaiknya dipisahkan, untuk menghindari kesan penafsiran ijarah itu atas dasar hutang (qardh). Ijarah tidak terkait dengan qardh, melainkan terkait dengan penyewaaan tempat, keamanan, dsb.
Dalam kartu kredit terdapat dua akad, yaitu kafalah dan  ijarah pada ketika pembelian barang di merchant, dan kedua akad qardh dan ijarah, ketika penarikan uang.
Dalam pembiayaan take over banyak sekali alternative hybrid contract di dalamnya berdasarkan fatwa DSN MUI No 31/2002. Antara lain, gabungan akad qardh, bai’ dan Ijarah Muntahiyah bit Tamlik (IMBT) atau murabahah. Jika menggunakan akad murabahah, mirip dengan bai’ al-‘inah, maka seharusnya dihindari. Akad bai’ dalam pembiyaan take over dapat dilakukan di bawah tangan (secara fikih saja, tanpa notaris), karena hanya sebagai bridging of  financing. Peran notaris hanyalah  ketika akad murabahah berlangsung.
Dalam praktik hedging (tahawwuth) melalui Islamic swap, akadnya juga hybrid, pertama dapat menggunakan double qardh, kedua sharf biasa dan wa’ad, ketiga, tawarruq timbal balik  (double tawarruq).Semuanya adalah hybrid contract.
Hybrid Contract yang dilarang
 Dalam hadis, Nabi secara jelas menyatakan dua bentuk multi akad yang dilarang,
 1. Multi akad dalam jual beli (bai’) dan pinjaman (بيع و سلف ),
 2. Dua akad jual beli dalam satu akad jual beli ( بيعتين فى بيعة واحدة ), dan
     (Dua akad  dalam satu transaksi (فى صفقة واحدة صفقتين )
1.Menggabungkan  akad  Bai’ (jual beli ) dan Salaf dan (pinjaman)
Dalam sebuah hadis disebutkan: “Dari Abu Hurairah, Rasulullah melarang jual beli dan pinjaman”. (HR. Ahmad) [1] Imam Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, j. 2, (Beirut: Dâr al-Ihyâi al-Turâts al-’Araby, 1414 H), cet. ke-3, hal. 178
Contoh seseorang (Ali) meminjamkan (qardh) sebesar 1000 dirham, lalu dikaitkan dengan penjualan barang yang bernilai 900 dirham,tetapi harga penjualan itu tetap harga 1000 dirham.
Seolah-olah Ali memberi pinjamani 1000 dengan akad qardh, dan menjual barang seharga 900, agar mendapatkan margin 100 dirham. Di sini Ali  memperoleh kelebihan 100, karena harga penjualan barang menjadi Rp 1000.[1]. Namun menurut Imrani, tidak selamanya diharamkan, karena jika harga barang sesuai dengan harga pasar, maka tidak menjadi masalah hybrid contract antara qardh dan jual beli.
[1] Ibn Qayyim al-Jauziyyah, I’lâm al-Muwaqqi’în ‘an Rab al-‘Âlamîn, (Kairo: Maktabah Ibn Taimiyyah, t.t.), j. 3, hal. 153
Ibn Qayyim berpendapat bahwa Nabi melarang multi akad antara akad salaf (memberi pinjaman/qardh) dan jual beli, untuk menghindari terjurumus kepada riba yang diharamkan.  Namun, jika kedua akad itu terpisah (tidak tergantung,muallaq) hukumnya boleh.
Penegasan : Larangan ini hendak menunjukkan bahwa qardh tidak boleh dikaitkan dengan akad apapun, qardh adalah akad tabarru’, bukan akad bisnis.
2. Bai’atan fi Bay’ataini
Larangan penghimpunan dua akad jual beli dalam satu akad jual beli didasarkan pada hadis Nabi yang berbunyi:
“Dari Abu Hurairah, berkata: “Rasulullah melarang dua jual beli dalam satu jual beli”. (HR. Malik)
[1] Imâm Mâlik ibn Anas, Al-Muwaththa’, j. 2, hal. 663
Redaksi hadits yang mirip dengan hadits di atas, adalah shafqatain fi shafqatin wahidah (dua transaksi dalam satu transaksi).
Banyak tafsir tentang hadits ini Pendapat yang dipilih (râjih) adalah pendapat yang mengatakan bahwa akad demikian menimbulkan ketidakjelasan harga dan menjerumuskan ke riba.
Misalnya seorang penjual berkata kepada orang banyak di sebuah jamaah, ”Saudara-saudara, saya menjual barang ini Rp 1 Juta, jika dibayar cash, dan Rp 1,2 juta jika cicilan setahun”. Lalu seorang yang hadir berkata, “Saya beli”. Di sini telah terjadi ijab dan qabul, sementara harganya tidak jelas, karena dipilihkan dua macam harga.
Ada pula yang menafsirkan seperti ini : seseorang menjual suatu barang dengan  cicilan, dengan syarat pembeli harus menjual kembali kepada orang yang menjual itu dengan harga lebih rendah secara kontan. Akad al-’Inah seperti ini merupakan hîlah dari riba. Inilah yang disebut bai’ al’inah. Menurut Ibnu Qayyim, penafsiran inilah yang paling kuat.
Ketentuan (dhawabith) hybrid Contract
Larangan Hybrid Contract disebabkan beberapa hal :
1. Dilarang karena nash Agama
“Dari Abu Hurairah, berkata: “Rasulullah melarang dua jual beli dalam satu jual beli”. (HR. Malik)
[1] Imâm Mâlik ibn Anas, Al-Muwaththa’, j. 2, hal. 663
Larangan penghimpunan dua akad jual beli dalam satu akad jual beli didasarkan pada nash hadis
“Dari Abu Hurairah, berkata: “Rasulullah melarang dua jual beli dalam satu jual beli”. (HR. Malik)
[1] Imâm Mâlik ibn Anas, Al-Muwaththa’, j. 2, hal. 663
Dalam sebuah hadis disebutkan:
“Dari Abu Hurairah, Rasulullah melarang jual beli dan pinjaman”. (HR. Ahmad)
[1] Imam Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, j. 2, (Beirut: Dâr al-Ihyâi al-Turâts al-’Araby, 1414 H), cet. ke-3, hal. 178
Selain perspektif nash agama, larangan ini sesungguhnya dikarenakan transaksi itu mengandung riba dan gharar.
2. Dilarang karena Hilah kepada Riba
 Contohnya ialah  Jual Beli al-I’nah. Jual beli dilarang karena hilah kepada riba.
 Contoh berikutnya ialah praktik tawarruq  munazzam yang berputar dan bank surplus bertindak juga sebagai wakil pembeli dalam menjual barang ke agen di bursa sebagaimana yang difatwakan ulama OKI.
 Contoh berikutnya  menggabungkan akad tawarruq, wakalah dan wadi’ah untuk pembiyaaan multi guna. Di mana pihak ketiga adalah anak perusahaan dari Bank Islam yang memberikan dana.
3. Multi akad menyebabkan jatuh ke riba.
 Setiap multi akad yang mengantarkan pada yang haram, seperti riba, hukumnya haram, meskipun akad-akad yang membangunnya adalah boleh, seperti menggabungkan qardh dengan janji hadiah.
 Penghimpunan beberapa akad yang hukum asalnya boleh namun membawanya kepada yang dilarang menyebabkan hukumnya menjadi dilarang. seperti : multi akad antara akad salaf dan jual beli. Contoh, Saya meminjamkan uang kepada anda sebesar Rp 1 juta, dengan ketentuan anda harus membeli Hand phone saya dengan harga sekian.
 Multi akad :  Gabungan qardh dan hibah/manfaat lain dilarang syariah. Ulama sepakat mengharamkan qardh yang dibarengi dengan persyaratan imbalan lebih, berupa hibah atau lainnya. Contoh, seseorang, (misalnya Ahmad) meminjamkan uang kepada si B, dengan syarat Ahmad menempati rumah si B. Contoh lain : Saya pinjamkan kpd anda uang Rp 200.000. tapi saya pakai motor anda selama 3 hari. Termasuk dalam kategori ini menggabungkan Qardh dgn Ijarah dalam satu transaksi, kecuali ijarahnya sebatas biaya operasional, yaitu untuk menutupi riel cost.
 Malikiyah melarang multi akad dari akad-akad yang berbeda hukumnya, seperti antara akad qardh dengan ijarah., [1]
[1]
 Al-‘Imrâni, Al-’uqûd al-Mâliyah al-Murakkabah, hal. 181 – 182 .
4. Multi akad menyebabkan jatuh ke gharar. Misalnya sebuah perusahaan multifinance menjual mobil kepada nasabah, dengan harga tertentu, misalkan Rp 250 juta untuk masa 24 bulan, tanpa urbun di awal. Namun perusahaan itu  menawarkan beberapa alternative  besaran urbun, tanpa ditetapkan (dipilih) salah satu alkternatif besaran urbunnya. Jika urbun dibayar bulan ke enam , harganya lebih murah, jika bulan ke 13  harga urbunnya sekian, dst. Dengan beragamnya harga tersebut, maka tidak ada kepastian harga pembelian barang tersebut.Inilah yang disebut dengan gharar.   
 Perbankan syariah, harus memperbaiki diri dalam peningkatan kualitas SDM-nya dengan melaksanakan training dan workshop intensif mengenai inovasi produk. Selain itu, para bankir bank syariah bisa mengikuti kuliah S2 (pascasarjana) ekonomi syariah konsentrasi perbankan syariah.  Di Jakarta,  sudah dikembangkan S2 ekonomi Islam di banyak Perguruan Tinggi, seperti S2 Manajemen Perbankan dan Keuangan Islam Universitas Paramadina, S2 Islamic Economics and Finance Univertsitas Trisakti, S2 Ekonomi syariah Universitas Indonesia (UI), S2 Ekonomi Islam Universitas Az-Zahra. Daerah lain seharusnya sudah melakukan kegiatan akademis yang sama. Minimal setiap provinsi terdapat sebuah Perguruan Tinggi yang membuka program S2 ekonomi syariah yang mengikuti perkembangan keuangan modern.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar