HYBRID CONTRACT
CONTOH-CONTOH PENGEMBANGANPRODUK
BANK SYARIAH
Berikut akan
dipaparkan sebagian skim dan model inovasi
produk bank-bank syariah, baik produk financing, funding, jasa-jasa,
maupun treasury products. Di
antara produk
yang bisa dikembangkan di bank syariah adalah pembiayaan multi
guna, KTA (Kredit Tanpa Agunan), murabahah commodity untuk treasury product, Pembiayaan
perkebunan sawit dengan metode Margin During Contruction, bay’ wafa’ dan bay’ istighlal untuk
usaha mikro, hedging dengan forward dan swap, tawarruq emas
berlandaskan istihsan dan maslahah, dsb.
Pembiayaan multiguna
Pembiayaan
multi guna dapat menggunakan skim tawarruq emas atau bay wafa wal ijarah yang
disebut dengan bay’ istighlal (lihat Qanun
Al-Majallah al-Ahkam al-‘adliyah). Skim tawarruq emas ini
diambil dari banyak buku fiqh, terutama buku, Tawarruq Mashrafi ‘an Thariq bay’
al-ma’adin (Tawarruq di
perbankan melalui jual beli emas). Mayoritas ulama menyetujuibay’ tawarruq, Namun Umar bin
Abdul Aziz, Ibnu Taymiyah dan Ibnu Qayyim memakruhkanya. Fatwa ulama OKI hanya
mengharamkan tawarruq munazzam yang
banyak dilakukan sebagian bank syariah Malaysia. Tawarruq munazzam tidak
lain adalah bay al-‘inah itu
sendiri, maka hukumnya dilarang.
Kalau
kita mengambil pendapat mayoritas ulama, maka penerapan tawarruq, tidak
menjadi masalah, Namun jika kita mengambil pendapat Umar bin Abdul Aziz, Ibnu
Taymiyah dan Ibnu Qayyim, kemakruhannya dapat dihilangkan dengan metode
istihsan, maslahah danmaqashid. Jika
kita menggunakan metode istihsan, maka harus bisa ditunjukkan bahwa tawarruq
yang hendak diterapkan di perbankan, harus berbeda karakternya dengan tawarruq
yang dimakruhkan, sebagian ulama. Pada tawarruq perbankan itu, harus ada syarat
ketat dari bank syariah, yakni bahwa dana tawarruq harus digunakan untuk sector
riil ( yang produktif) dan officer perbankan harus mencek kebenaran terwujudnya
sektor riil di lapangan.
Jadi,
untuk mewujudkan itu officer bank syariah dalam visibility study dan analisis
pembiayaan harus mensyaratkan bahwa penggunaan uang tawarruq memang untuk
sector riel, seperti usaha mikro, pertanian dan kegiatan usaha
produktif lainnya, atau semi produktif seperti pendidikan, renovasi rumah, dan
sebagainya. Multi guna artinya penggunaan uang tersebut dapat digunakan untuk
apa saja, asalkan untuk sector riil yang sesuai syariah.
KTA (KREDIT TANPA AGUNAN) Syariah
Skim tawarruq emas
juga dapat digunakan untuk pembiyaan KTA syariah. Produk
KTA syariah harus diluncurkan dan dikembangkan, mengingat saat ini bank-bank
asing konvensional sangat gencar menawarkan produk KTA konvensional. Potensi
pasar KTA syariah mencapai 2000 triliun rupiah. Jangan biarkan bank-bank asing
menguasai pasar kita. Kalau bank syariah tidak masuk di pasar tersebut, maka
dominasi bank-bank asing konvensional, makin merajalela masuk ke UKM rakyat
Indonesia, padahal cukup banyak skim akad yang bisa digunakan untuk KTA Syariah
tersebut, antara lain dengan tawarruq (emas), atau bay wafa’ dan istighlal.
Bay’
wafa’ dan istighlal dapat pula digunakan untuk pembiayaan multi guna. Mekanismenya, Pertama, nasabah
menjual assetnya (rumah, perkebunan, atau mobil), ke bank syariah dengan harga
misalkan Rp 200 juta, dengan janji nasabah akan membeli (melunasi) kembali rumah
tersebut 2 tahun depan dengan harga yang sama, yakni Rp 200.juta. Dengan jual
beli ini, nasabah mendapatkan uang cash dari bank dan dengan demikian rumah
menjadi milik bank. Kedua,
selanjutnya, bank menyewakan rumah itu kepada nasabah itu kembali dengan margin
tertentu.
Bank
mendapatkan keuntungan (margin) dengan cara penyewaan tersebut. Besaran biaya
sewa bulanan dapat memilih dua alternatif, Pertama, biaya sewa
bulanan dan margin disesuaikan dengan besaran cicilan normal pembiayaan,
misalnya Rp 10 juta
per bulan.Ketika masa ijarah selesai, maka rumah itu kembali dijual bank kepada
nasabah dengan harga tertentu. Pilihan kedua, dalam
perjanjian itu disyaratkan nasabah untuk menyimpan sejumlah dana setiap bulan
misalkan Rp 9,2 juta dan ketika jumlah simpanan mencapai Rp 200 juta, maka
janji nasabah untuk membeli kembali rumah tersebut diwujudkan. Syarat tersebut
tidak dilarang dalam syariah, karena itu ia dibolehkan.
Inovasi produk yang bisa dikembangkan oleh
bank-bank syariah. Salah satu produk yang bisa dikembangkan di bank syariah
adalah syirkah mutanaqishah. Syirkah mutanaqishah dapat
digunakan untuk pembiayaan properti, agar pricenya bisa
kompetitif dengan konvensional. Hal ini dikarenakan murabahah kurang tepat
untuk pembiayan properti dengan tenor panjang, 7 sd 15 tahun. Penerapan
murabahah untuk properti dengan tenor jangka panjang tersebut, sudah dipandang
kuno dan lebih berisiko dalam menghadapi
fluktuasi pasar. Maka solusinya adalah syirkah mutanaqishah yang
sudah difatwakan DSN melalui fatwa DSN No 73/2009. Namun fatwa inipun
sebenarnya masih kurang lengkap, karena hanya memfatwakan
1 model syirkah mutanaqishah.
Padahal menurut studi fiqh muamalah kontemporer yang lebih luas, setidaknya
terdapat enam model (bentuk) syirkah mutanaqisihah,
Sayangnyanya, syirkah mutaqishah yang
satu model
ini pun belum banyak dipahami para bankir syariah, apalagi untuk
memahami penerapan enam model syirkah mutanaqishah lainnya. Di sinilah
diperlukan workshop dan traiining kpada para pejabat dan bankir bank-bank
syariah.
Design akad pembiayaan take over atau
pengalihan hutang. Menurut fatwa DSN MUI No 31/Tahun 2002, ada empat alternatif
kontrak, namun dalam praktiknya banyak bankir syariah yang tidak memahami
dengan baik konsep dan penerapannya, sehingga penerapannya di lapangan
mengalami penyimpangan. Hasil penelitian ilmiah di empat
bank syariah di Jakarta, menunjukkan hampir 80 % design akad pembiyaan take
over tidak sesuai dengan syariah. Kesulitan memahami design akad ini
dikarenakan semua akadnya merupakan hybrid contract (al-‘ukud al-murakkabah).
Untuk
pembiyaan take over properti,
menurut fatwa DSN MUI, terdapat empat pilihan design akad yang kesemuanya
adalah kombinasi banyak akad (al-‘ukud
al-murakkabah).Untuk memahami dan menerapkan empat alternatif akad
saja, para bankir banyak yang tidak mengerti, bagaimana pula dengan inovasi
produk yang lebih luas. Berdasarkan kajian yang lebih luas dan mendalam, design
kontrak pembiayaan take
over sebenarnya ada tujuh alternatif,
bukan empat alternatif, yakni dengan tambahan syirkah mutanaqishah dan
hiwalah itu sendiri.Syirkah mutanaqishah ini terbagi lagi kepada 10 bentuk
dan model kontrak. Dengan demikian, untuk pembiyaan take over properti atau
lainnya bisa memilih belasan alternatif akad.
produk funding yang ada di Indonesia hanyalah
mudharabah dan wadiah,yang dikembangkan menjadi tabungan depositi
dan giro. Padahal
setidaknya ada tujuh alternatif yang bisa dipilih untuk dikembangkan, yaitu pertama, deposito
wakalah bil ujrah, kedua, deposito musyarakah, ketiga, kombinasi
mudharabah dan wadiah, yaitu tabungan dan giro automatic transfer mudharabah dan
wadiah. Selanjutnya, yang keempat,
kombinasi giro wadiah dan qardh, kelima, mudharabah muqayyadah untuk
murabahah dan keenam, mudharabah muqayyadah untuk
murabahah commodity. Dan terakhir (ketujuh) ialah mudharabah
muthlaqah untuk tabungan biasa. Pilihan ketujuh ini yang paling banyak
diterapkan di Indonesia, selain giro wadiah.
Tak
bisa dipungkiri, bahwa dalam pembiayaan, bank syariah banyak menerapkan konsep
murabahah, sebagai produk dominan. Padahal dalam jual beli dapat juga dikembangkan bay’ mustarsal, bai’
taqsith, bahkan
bay wafa’, bai’
istighlal dan bai’ tawarruq. Kajian mendalam harus
dilakukan kepada bai’
tawarruq menurut
para ulama, sehingga tidak secara gampang memutuskan bentuk akad tawarruq ini
dilarang. Banyak sekali literatur mu’tabar yang membolehkan bentuk akad ini.
Jumhur ulama juga membolehkannya. Sedangkan bay’ al-‘inah jelas sekali larangan
tentangnya, sehingga tidak bisa diterapkan. Malaysia yang banyak menerapkannya
ternyata salah kaprah dalam mengutip pendapat Imam asy-Syafi’iy
dan Daud azh-Zhahiri.
Untung saja beberapa tahun belakangan ini mereka menyadari kekeliruannya dan
berupaya keras mengurangi produk bai’ al-inah secara drastis. Jadi
Indonesia tidak bisa menerima konsep bai’
al-‘inah dalam pengembangan dan inovasi produk perbankan syariah.
Model-model fiqh mumalah terus berkembang
sesuai dengan perkembangan
zaman dan lokasi geografis. Bentuk-bentuk syirkah di zaman modern ini demikian
banyak, seperti syirkah mutanaqishah, syirkah muhashah, syirkah tadhamun,
syirkah mushana’ah, syirkah muntahiyah bittamlik, syirkah ta’awuniyah, syirkah
musahamah, syirkah taushiyah, mudharabah musytarakah dan lain-lain.
Bentuk-bentuk
mudharabah juga sangat variatif dan terus berkembang. Jika di masa Nabi
Muhammad Saw, hanya terdapat 1 model mudharabah, tetapi di masa kini bentuk
mudharabah sudah menjadi lima macam, yaitu mudharabah bilateral, mudharabah
multilateral, mudharabah muwazi, mudharabah musytarakah dan Mudharabah Muntahiyah bi Tamlik.
Untuk
pembiyaan pertanian, di benak para bankir pada umumnya hanya ada bay’ salam,
yakni salam paralel. Namun belum ada satu bank syariah pun yang memilih skim
ini, meskipun sudah ada fatwa DSN sejak tahun 2000. Bentuk
skim salam paralel tidak realistis dan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat
konsumen. Akibatnya, bank syariah tidak berani memasuki sektor agribisnis atau
pertanian, selain berisiko juga karena di benak mereka,
hanya ada skim bai’ salam saja. Bai’ salam yang ada di fatwa DSN dan buku-buku
yang berkembang di Indonesia sangat sulit terjadi dan kaku.
Harusnya skim bai’ salam bisa dirancang berdasarkan prinsip syariah, bukan
melalui salam paralel sebagaimana dalam buku Muhammad Syafii Antonio dan Wahbah
az-Zuhaili dalam buku Fiqh Muamalah Mu’ashirah.Literatur
itu tidak relevan dan tidak realistis. Seandainya skim salam ditambah dengan bai’
muthlak, persoalannya sudah selesai. Penerapan bai’
salam dan bai’ muthlak adalah pilihan skim yang realistis dan kecil
risiko. Di berbagai negara, skim untuk pertanian sangat variatif, sehingga
memungkinkan bagi bank syariah untuk masuk ke sektor ini, selain bai’ salam
juga bisa kombinasi akad
syirkah milik, ijarah an bai’.
Hybrid Contract.
Di
era transkasi keuangan modern yang semakin kompleks, dibutuhkan design kontrak
akad dalam bentuk kombinasi beberapa akad yang disebut dengan hibryd contract (multiakad),
atau biasa disebut al-ukud
al-murakkabah. Bentuk akad
tunggal sudah tidak mampu meresponi transaksi keuangan kontemporer.
Dr.Mabid
al-Jarhi, mantan direktur IDB pernah
mengatakan, kombinasi akad di zaman sekarang adalah sebuah keniscayaan. Cuma
masalahnya, literatur ekonomi syariah yang ada
di Indonesia sudah lama mengembangkan teori bahwa syariah tidak membolehkan dua
akad dalam satu transaksi akad (two
in one). Padahal, larangan two in one terbatas
dalam tiga kasus saja sesuai dengan sabda-sabda Nabi Muhammad Saw yang terkait
dengan itu. Two in one tidak
boleh diperluas kepada masalah lain yang tidak relevan dan tidak pas
konteksnya. Para dosen, ahli ekonomi syariah, dan bankir syariah harus
mempelajari secara mendalam pandangan ulama tentang akad two in one dan al-‘ukud al-murakkabah,
agar pemahaman terhadap design kontrak syariah lebih komprehensif, dinamis dan
tidak kaku. Kekakuan itu bisa terjadi karena kedangkalan metodologis syariah
dan kelangkaan litaratur. Buku-buku fiqh muamalah
kontemporer yang membahas permasalahan hybrid contract (kombinasi
akad) antara lain, Al-‘Ukud
al-Murakkabah fi Fiqh al-Islami, karya, Nazih
Hammad, Damaskus 2005),juga buku al-‘Ukud al-Maliyah al-Murakkabah oleh
al-‘Imrani,
Cuma masalahnya, literatur ekonomi syariah yang ada di
Indonesia sudah lama mengembangkan teori bahwa syariah tidak membolehkan dua
akad dalam satu transaksi (two
in one). Artinya, kontrak yang mengandung two in one terlarang
dalam syariah. Larangan tersebut digenerasilisasi untuk seluruh kontrak,
sehingga setiap kontrak yang mengandung dua akad atau lebih dipandang
bertentangan dengan syariah. Di sinilah diperlukan ‘ulumul hadits dan ilmu mushtalahul hadits.
Sejumlah kitab syarah hadits juga harus dirujuk. Menurut studi yang
komprehensif terhadap tiga buah hadits yang melarang two in one, dapat
disimpulkan bahwa syariah hanya membatasi larangan itu untuk beberapa
kasus saja dan membolehkannya dalam ruang lingkup yang sangat luas.
Jadi, selama ini, larangan ini ditafsirkan secara dangkal
dan salah, sehingga menyempitkan pengembangan kegiatan transaksi dan
pengembangan produk bank dan keuangan syariah. Terjadilah pelarangan terhadap
sesuatu yang sesungguhnya tidak dilarang.
Para dosen, ahli ekonomi syariah, bankir
syariah dan konsultan harus mempelajari secara mendalam pandangan ulama tentang
akad two in one dan
al-ukud al-murakkabah,
agar pemahaman terhadap design kontrak syariah, bisa lebih komprehensif,
dinamis dan tidak kaku. Kekakuan itu bisa terjadi karena kedangkalan
metodologis syariah dan kelangkaan litaratur yang sampai kepada kita.
Memang ada tiga buah hadits Nabi Saw yang menunjukkan
larangan penggunaan hybrid
contract. Ketiga hadits itu berisi tiga larangan, pertama
larangan bai’ dan
salaf, kedua, larangan bai’ataini fi bai’atin, dan ketiga larangan shafqataini
fi shafqatin. Ketiga hadits itulah yang selalu dijadikan rujukan para ahli, konsultan dan
banker syariah tentang larangan akad two
in one dalam satu transaksi. Namun harus
dicatat, larangan itu hanya berlaku kepada beberapa kasus saja.
Bahkan hadits kedua dan ketiga maknanya sama, walaupun redaksinya
berbeda. Maksud Hadits shafqataini
fi shafqatin adalah bai’ataini
fi bai’atin.
Kasus pertama yang
dilarang, adalah menggabungkan akad qardh dengan jual beli sesuai dengan sabda
Nabi Saw tentang hal tersebut. “Dari Abu Hurairah, Rasulullah
melarang jual beli dan pinjaman”. (HR. Ahmad) [1] Imam
Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, j. 2, (Beirut:
Dâr al-Ihyâi al-Turâts al-’Araby, 1414 H), cet. ke-3, hal. 178
Kasus Kedua, bai’ al-‘inah, Pendapat
ini dikutip dari pandangan Ibnu Qayyim yang menyatakan, bahwa dari 14
penafsiran terhadap hadits bai’atain fi bai’atin (dua
akad dalam satu transaksi), penafsiran yang paling shahih adalah bai’ al-‘inah tersebut.
Kasus ketiga yang dilarang, adalah penjual menawarkan dua harga atau beberapa harga kepada pembeli,
misalnya, harga barang ini jika kontan Rp 10 juta, jika cicilan Rp 12 juta,
selanjuthya, pembeli menerima (mengucapkan qabul), tanpa terlebih dahulu
memilih salah satu harganya, Bentuk jual beli ini dilarang karena tidak jelas
harganya (gharar).
Itulah tiga kasus hybrid contract yang
dilarang berdasarkan hadits Nabi Saw. Untuk melengkapi bentuk hybrid contract yang
dilarang saya akan menguraikan pada uraian akhir tulisan ini
ketentuan-ketentuan (dhawabith) hybrid contract yang
dilarang, seperti menggabungkan akad qardh dengan
hadiah atau janji hadiah, Larangan ini, karena hybrid contract itu
mengandung riba.
Pandangan Ulama
Aliudin Za’tary dalam buku Fiqh al-Muamalah al-Maliyah
al-Muqaran mengatakan “ Tidak
ada larangan dalam syariah tentang penggabungan dua akad dalam satu
transaksi, baik akad pertukaran (bisnis) maupun akad tabarru’. Hal ini
berdasarkan keumuman dalil-dalil yang memerintahkan untuk
memenuhi (wafa) syarat-syarat dan akad-akad” Dengan demikian, hukum multi
akad adalah boleh.
Mayoritas ulama Hanafiyah, sebagian pendapat
ulama Malikiyah, ulama Syafi’iyah, dan Hanbali berpendapat bahwa hukum hybrid contract adalah
sah dan diperbolehkan menurut syariat Islam. Ulama yang membolehkan
beralasan bahwa hukum asal dari akad adalah boleh dan sah, tidak diharamkan dan
dibatalkan selama tidak ada dalil hukum yang mengharamkan atau membatalkannya. (Al-‘Imrâni, Al-’uqûd
al-Mâliyah al-Murakkabah, hal. 69). Kecuali menggabungkan dua akad yang menimbulkan riba atau menyerupai riba,
seperti menggabungkan qardh dengan akad yang lain, karena adanya larangan
hadits menggabungkan jual beli dan qardh. Demikian pula menggabungkan
jual beli cicilan dan jual beli cash dalam satu transaksi
Menurut Ibn Taimiyah, hukum asal dari segala
muamalat di dunia adalah boleh kecuali yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya,
tiada yang haram kecuali yang diharamkan Allah, dan tidak ada agama kecuali
yang disyariatkan.( Ibn
Taimiyah, Jâmi’ al-Rasâil, j. 2,
hal. 317)
Nazih Hammad dalam buku al-’Uqûd al-Murakkabah fi al-Fiqh al-Islâmy menuliskan,
”Hukum dasar dalam syara’ adalah bolehnya melakukan transaksi hybrid contract ,
selama setiap akad yang membangunnya ketika dilakukan sendiri-sendiri hukumnya
boleh dan tidak ada dalil yang melarangnya. Ketika ada dalil yang melarang,
maka dalil itu tidak diberlakukan secara umum, tetapi mengecualikan pada kasus
yang diharamkan menurut dalil itu. Karena itu, kasus itu dikatakan sebagai
pengecualian atas kaidah umum yang berlaku yaitu mengenai kebebasan melakukan
akad dan menjalankan perjanjian yang telah disepakati. (Nazîh
Hammâd, al-’uqûd al-Murakkabah fi al-Fiqh
al-Islâmy, hal. 8)
Demikian pula dengan Ibn al-Qayyim, ia
berpendapat bahwa hukum asal dari akad dan syarat adalah sah, kecuali yang
dibatalkan atau dilarang oleh agama.(Ibn al-Qayyim, I’lâm al-Muwaqqi’în, j. 1,
hal. 344)
Asy-Syâtiby menjelaskan perbedaan antara
hukum asal dari ibadat dan muamalat. Menurutnya, hukum asal dari ibadat adalah
melaksanakan (ta’abbud)
apa yang diperintahkan dan tidak melakukan penafsiran hukum. Sedangkan
hukum asal dari muamalat adalah mendasarkan substansinya bukan terletak pada
praktiknya (iltifât ila
ma’âny). Dalam hal ibadah tidak bisa dilakukan penemuan atau
perubahan atas apa yang telah ditentukan, sementara dalam bidang muamalat
terbuka lebar kesempatan untuk melakukan perubahan dan penemuan yang baru,
karena prinsip dasarnya adalah diperbolehkan (al-idzn) bukan melaksanakan
(ta’abbud).[1] ( Asy-Syâtiby, al-Muwâfaqât, j. 1, hal.
284)
Pendapat ini didasarkan pada beberapa nash yang menunjukkan kebolehan multi
akad dan akad secara umum. Pertama firman Allah dalam surat al-Mâidah ayat 1
yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman
penuhilah olehmu akad-akad”. (QS. Al-Mâidah
: 1)
Buku-buku teks fikih muamalah
kontemporer, menyebut istilah hybrid contract dengan
istilah yang beragam, seperti al-’uqûd al-murakkabah
(akad-akad yang tersusun), al-’uqûd al-muta’addidah
(akad-akad yang berbilang) , al-’uqûd al-mutaqâbilah (akad yang
berhadapan-berpasangan), al-’uqûd al-mujtami’ah (akad-akad yang berhimpun)
, dan al-’Ukud al-Mukhtalitah (akad-akad yang bercampur),al-‘ukud
al-mutakarrirah (akad-akad yang berulang), dan al-‘ukud al-mutadakhilah (akad
yang satu masuk kepada akad yang lain). Namun istilah yang paling populer
ada dua macam , yaitu al-ukud al-murakkabah dan al-ukud al mujtami’ah. Adapula
menggunakan istialah al-ukud almutajanisah (akad-akad yang sejenis)
Dr. Nazih Hammad dalam buku Al-’uqûd al-Murakkabah fî al-Fiqh al-Islâmy, 2005),
hlm. 7 mendefinisikan hybrid contract sebagai berikut, “
“Kesepakatan dua pihak untuk melaksanakan
suatu akad yang mengandung dua akad atau lebih –seperti jual beli dengan sewa
menyewa, hibah, wakalah, qardh, muzara’ah, sharaf (penukaran mata uang),
syirkah, mudharabah … dst.– sehingga semua akibat hukum akad-akad yang
terhimpun tersebut, serta semua hak dan kewajiban yang ditimbulkannya dipandang
sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan, sebagaimana akibat hukum
dari satu akad.”
Sementara itu
Abdullah al-“Imrani dalam buku Al-Ukud al-Maliyah al-Murakkabah mendefinisikan hybrid contract yaitu “Himpunan beberapa akad kebendaan yang dikandung oleh sebuah akad –baik
secara gabungan maupun secara timbal balik– sehingga seluruh hak dan kewajiban
yang ditimbulkannya dipandang sebagai akibat hukum dari satu akad”.
Kedua definisi di atas tampaknya mirip dan tidak
terdapat perbedaan. Hybrid contract itu dipandang sebagai satu kesatuan akad
dan semua akibat hukum akad-akad yang tergabung tersebut, serta
semua hak dan kewajiban yang ditimbulkannya dipandang sebagai satu kesatuan
yang tidak dapat dipisah-pisahkan, sebagaimana akibat hukum dari satu akad.
Menurut asy-Syatibi, penelitian terhadap hukum Islam menunjukkan bahwa dampak
hukum dari hybrid contract tidak sama seperti saat akad itu berdiri
sendiri-sendiri. [1] Asy-Syâtiby, al-Muwâfaqât, j. 3, hal. 144 –
146
Misalnya, musyarakah mutanaqishah, mudharabah
musytarakah, bai’ wafa’ bai’ istighlal, bai’ tawarruq, bai’ takjiri (sewa
beli), dan sebagainya. Akan tetapi harus dicatat, meskipun sudah menjadi satu
kesatuan, dalam pembuatan draft kontrak, akad-akad yang tergolong hybrid
tersebut ada yang dapat digabungkan dalam satu title kontrak dan ada pula yang
dipisahkan. Untuk musyarakah mutanaqishah, akad syirkah milk, dibuat terpisah
dengan akad ijarah, demikian pula akad pembiayaan take over, masing-masing
akadnya dipisahkan,namun dipandang sebagai satu kesatuan. Sedangkan akad
bai’ wafa, bai istighlal, sewa beli, kartu kredit, dapat disatukan dalam satu
dokumen (materai).
Macam-macam hybrid contract
Pertama, hybrid contract yang mukhtalithah (bercampur)
yang memunculkan nama baru, seperti bai’ istighlal , bai’ tawarruq,
musyarakah mutanaqishah dan bai’ wafa’.
• Jual beli istighlal
merupakan percampuran 3 akad, yaitu 2 akad jual beli dan ijarah, sehingga
bercampur 3 akad. Akad ini disebut juga three in one.
• Jual Beli
Tawarruq percampuran 2 akad jual beli. Jual Beli 1 dengan pihak pertama, Jual
Beli kedua dengan pihak ketiga.
• Musyarakah
Mutanaqishah (MMQ). Akad ini campuran akad syirkah milik dengan Ijarah
yang mutanaqishah atau jual beli yang disifati dengan mutanaqishah (decreasing). Percampuran
akad-akad ini melahirkan nama baru, yaitu musyarakah mutanaqishah (MMQ).
Substansinya hampir sama dengan IMBT, karena pada akhir periode barang menjadi
milik nasabah, namun bentuk ijarahnya berbeda, karena transfer of title ini bukan
dengan janji hibah atau beli, tetapi karena transfer of tittle yang
mutanaqishah, karena itu sebutannya ijarah saja, bukan IMBT.
• Bai’ wafa’
adalah percampuran (gabungan) 2 akad jual beli yang melahirkan nama baru. Pada
awal kelahirannya di abad 5 Hijriyah, akad ini merupakan multiakad
(hybrid), tetapi dalam proses sejarah menjadi 1 akad, dengan nama baru
yaitu bai’ wafa’.
Kedua Hybrid Contract yang mujtami’ah/mukhtalitah dengan
nama akad baru, tetapi menyebut nama akad yang lama, seperti sewa beli
(bai’ takjiri) Lease and purchase. Contoh lain ialah mudharabah
musytarakah pada life insurance dan deposito bank syariah.
Contoh lainnya yang cukup menarik ialah
menggabungkan wadiah dan mudharabah pada GIRO, yang bisa disebut
Tabungan dan Giro Automatic Transfer Mudharabah dan Wadiah. Nasabah mempunyai 2
rekening, yakni tabungan dan giro sekaligus.(2 rekening dlm 1
produk).Setiap rekening dapat pindah secara otomatis jika salah satu rek
membutuhkan.
Contoh lain ialah sewa beli (lease and purchase). Menurut buku
Fiqh Muamalah al-Mu’ashirah, Usman Tsabir, sewa beli hukumnya boleh, tidak
terdapat gharar padanya. Menurutnya, “Sesungguhnya ulama berbeda pendapat
tentang hukum menggabungkan dua akad ; antara jual beli dan ijarah. Sebagian
ulama mengatakan boleh, yaitu ulama Malikiyah dan Imam asy-Syafi’iy dalam salah
satu pendapatnya, juga Qadhi dari Ulama Hanabilah Sebagian ulama
mengatakan tidak boleh, yaitu Hanafiyah, Zhahiriyah, mazhab Syafi’iy dan al-Kharqy
dari Hanabilah”.
Selanjutnya Dr.Usman Tsbir mentarjih sebagai berikut, “Tetapi
pendapat yang paling kuat adalah pendangan yang membolehkan. Inilah pendapat
yang paling nyata (realistis), karena barang (obyek) yang dibeli dan jasa yang
dilakukan, keduanya membutuhkan iwadh’, bisa
berlaku masing-masing dan bisa pula digabung sekaligus. Perbedaan
sewa dan beli tidak merusak sahnya akad. Karena perbedaan hukum (ketentuan) dua
akad tidak mencegah sahnya akad. Di antara dalil yang menguatkan pendapat
yang membolehkan penggabungan akad jual beli dan ijarah (two in one), adalah
kaedah dasar dalam pertukaran, Tidak ada dalil yang mengharamkannya. Hukumnya
boleh karena dasar istishab”
Ketiga Hybrid contract, yang akad-akadnya tidak bercampur dan tidak
melahirkan nama akad baru. tetapi nama akad dasarnya tetap ada dan eksis dan
dipraktikkan dalam suatu transaksi. Contohnya :
1. Kontrak akad pembiayaan take over pada alternatif 1 dan 4
pada fatwa DSN MUI No 31/2002
2. Kafalah wal ijarah serta qardh dan ijarah pada kartu kredit,
3. Wa’ad untuk wakalah murabahah, ijarah, musyarakah, dll pada pembiayaan
rekening koran or line facility
5. Murabahah wal wakalah pd pembiayaan murabahah basithah.
6. Wakalah bil ujrah pada L/C, RTGS, General Insurance, dan
Factoring,
7.Kafalah wal Ijarah pada LC, Bank Garansi, pembiayaan multi jasa / multi
guna, kartu kredit.
8.Mudharabah wal murabahah/ijarah/istisna pada pembiayaan terhadap karyawan
koperasi instansi.
9. Hiwalah dan syirkah pada factoring.
10. Rahn wal ijarah pada REPO, SBI dan, SPN dan SBSN
11.Qardh, Rahn dan Ijarah pada produk gadai emas di bank syariah
12. Dalam transaksi pasar uang antar bank
syariah yang menggunakan bursa komoditas dibutuhkan 5 akad, yaitu
1. Akad bai’ antara bank surplus (peserta komersial) dengan pedagang
komoditas (peserta komersial), , 2. Akad murabahah antara bank surplus dengan
bank deficit (konsumen komoditas), 3. Akad bai’ antara bank deficit
dengan pedagang komoditas ’, 4. Wakalah antara bank deficit
kepada agen atau Bursa Berjangka Jakarta, 5. Akad bai’ muqayadhah, antara
sesama pedagang komodity.
Keempat, Hybrid
Contract yang mutanaqidhah (akad-akadnya
berlawanan). Bentuk ini dilarang dalam syariah. Contohnya
menggabungkan akad jual beli dan pinjaman (bai’ wa
salaf). Contoh lain, menggabungkan qardh wal ijarah dalam satu akad. Kedua
contoh tersebut dilarang oleh nash (dalil) syariah, yaitu hadits Rasulullah
Saw. Contoh lainnya : menggabungkan qardh dengan janji hadiah
Selain itu, ada pula hybrid contract yang mustatir (tersembunyi),
Misalnya, tabungan mudharabah di bank syariah. Akad yang digunakan pada saat
transkasi hanyalah satu akad yakni mudharabah, namun, sebenarnya dalam akad
tersebut tidak cukup hanya satu akad, harus ada akad lain sebagai tambahan,
yaitu kafalah, karena ketika nasabah menarik dana di ATM bersama, bukan ATM
bank bersangkutan, diperlukan akad kafalah. Namun akad tersebut tidak
disebutkan, melainkan tersembunyi (mustatir) karena
sudah menjadi ‘urf perbankan
dimana setiap tabungan, dapat ditarik di ATM tertentu (ATM bersama).
Dalam sukuk ijarah, sebenarnya terdapat tiga
akad, yaitu akad bai’
(bai’ al-manfa’ah), akad ijarah dan akad bai’ kembali. Namun, dalam
penamaan biasanya disebut sukuk ijarah saja.
Dalam praktek legal (hukum) di lembaga
keuangan syariah, ada hybrid
contract, yang akad-akadnya harus dipisahkan
dan ada pula yang boleh disatukan dalam satu dokumen (satu materai). Akad syirkah munataqishah, harus
dipisahkan akad-akadnya, akad pertama ialah syirkah milik, dan akad kedua
adalah ijarah yang khusus. Semua ulama mengharuskan terpisahnya dua akad
tersebut.
Dalam Gadai syariah terdapat tiga akad, yaitu
rahn, qardh (dayn) dan ijarah. Akad rahn dan dain (hutang), boleh disatukan,
karena memang harus bersatu dalam satu kertas, sedangkan akad ijarah sebaiknya
dipisahkan, untuk menghindari kesan penafsiran ijarah itu atas dasar hutang (qardh). Ijarah tidak
terkait dengan qardh, melainkan terkait dengan penyewaaan tempat, keamanan,
dsb.
Dalam kartu kredit terdapat dua akad, yaitu
kafalah dan ijarah pada ketika pembelian barang di merchant, dan kedua
akad qardh dan ijarah, ketika penarikan uang.
Dalam pembiayaan take over banyak sekali
alternative hybrid contract di
dalamnya berdasarkan fatwa DSN MUI No 31/2002. Antara lain, gabungan akad
qardh, bai’ dan Ijarah Muntahiyah bit Tamlik (IMBT) atau murabahah. Jika
menggunakan akad murabahah, mirip dengan bai’ al-‘inah, maka seharusnya
dihindari. Akad bai’ dalam pembiyaan take over dapat dilakukan di bawah tangan
(secara fikih saja, tanpa notaris), karena hanya sebagai bridging of financing. Peran
notaris hanyalah ketika akad murabahah berlangsung.
Dalam praktik hedging (tahawwuth) melalui
Islamic swap, akadnya juga hybrid, pertama dapat menggunakan double qardh,
kedua sharf biasa dan wa’ad, ketiga, tawarruq timbal balik (double
tawarruq).Semuanya adalah hybrid contract.
Hybrid Contract yang
dilarang
• Dalam hadis, Nabi secara
jelas menyatakan dua bentuk multi akad yang dilarang,
• 1. Multi akad dalam jual
beli (bai’) dan
pinjaman (بيع و سلف ),
• 2. Dua akad jual beli
dalam satu akad jual beli (
بيعتين فى بيعة واحدة ), dan
(Dua
akad dalam satu transaksi (فى صفقة واحدة صفقتين )
1.Menggabungkan akad Bai’ (jual beli ) dan Salaf dan (pinjaman)
Dalam sebuah hadis disebutkan: “Dari Abu Hurairah, Rasulullah
melarang jual beli dan pinjaman”. (HR. Ahmad) [1] Imam
Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, j. 2,
(Beirut: Dâr al-Ihyâi al-Turâts al-’Araby, 1414 H), cet. ke-3, hal. 178
Contoh seseorang (Ali) meminjamkan (qardh) sebesar 1000
dirham, lalu dikaitkan dengan penjualan barang yang bernilai 900 dirham,tetapi
harga penjualan itu tetap harga 1000 dirham.
Seolah-olah Ali memberi pinjamani 1000 dengan
akad qardh, dan menjual barang seharga 900, agar mendapatkan margin 100 dirham.
Di sini Ali memperoleh kelebihan 100, karena harga penjualan barang
menjadi Rp 1000.[1]. Namun menurut Imrani, tidak selamanya diharamkan, karena
jika harga barang sesuai dengan harga pasar, maka tidak menjadi masalah hybrid
contract antara qardh dan jual beli.
[1] Ibn Qayyim al-Jauziyyah, I’lâm al-Muwaqqi’în ‘an Rab
al-‘Âlamîn, (Kairo:
Maktabah Ibn Taimiyyah, t.t.), j. 3, hal. 153
Ibn Qayyim berpendapat bahwa Nabi melarang multi akad antara akad salaf (memberi
pinjaman/qardh)
dan jual beli, untuk menghindari terjurumus kepada riba yang diharamkan.
Namun, jika kedua akad itu terpisah (tidak tergantung,muallaq) hukumnya
boleh.
Penegasan : Larangan ini hendak menunjukkan bahwa qardh tidak boleh
dikaitkan dengan akad apapun, qardh adalah akad tabarru’, bukan akad bisnis.
2. Bai’atan fi Bay’ataini
Larangan penghimpunan dua akad jual beli dalam satu akad jual beli
didasarkan pada hadis Nabi yang berbunyi:
“Dari Abu Hurairah, berkata: “Rasulullah melarang dua jual beli dalam satu
jual beli”. (HR. Malik)
[1] Imâm Mâlik ibn Anas, Al-Muwaththa’, j. 2, hal.
663
Redaksi hadits yang mirip dengan hadits di atas, adalah shafqatain fi shafqatin wahidah (dua
transaksi dalam satu transaksi).
Banyak tafsir tentang hadits ini Pendapat yang dipilih (râjih) adalah pendapat
yang mengatakan bahwa akad demikian menimbulkan ketidakjelasan harga dan
menjerumuskan ke riba.
Misalnya seorang penjual berkata kepada orang banyak di sebuah jamaah,
”Saudara-saudara, saya menjual barang ini Rp 1 Juta, jika dibayar cash, dan Rp
1,2 juta jika cicilan setahun”. Lalu seorang yang hadir berkata, “Saya beli”.
Di sini telah terjadi ijab dan qabul, sementara harganya tidak jelas, karena
dipilihkan dua macam harga.
Ada pula yang menafsirkan seperti ini : seseorang menjual suatu barang
dengan cicilan, dengan syarat pembeli harus menjual kembali kepada orang
yang menjual itu dengan harga lebih rendah secara kontan. Akad al-’Inah seperti
ini merupakan hîlah dari
riba. Inilah yang disebut bai’ al’inah. Menurut Ibnu Qayyim, penafsiran inilah
yang paling kuat.
Ketentuan (dhawabith) hybrid Contract
Larangan Hybrid Contract disebabkan beberapa hal :
1. Dilarang karena nash Agama
“Dari Abu Hurairah, berkata: “Rasulullah melarang dua jual beli dalam satu
jual beli”. (HR. Malik)
[1] Imâm Mâlik ibn Anas, Al-Muwaththa’, j. 2, hal.
663
Larangan penghimpunan dua akad jual beli dalam satu akad jual beli
didasarkan pada nash hadis
“Dari Abu Hurairah, berkata: “Rasulullah melarang dua jual beli dalam satu
jual beli”. (HR. Malik)
[1] Imâm Mâlik ibn Anas, Al-Muwaththa’, j. 2, hal.
663
Dalam sebuah hadis disebutkan:
“Dari Abu Hurairah, Rasulullah melarang jual beli dan pinjaman”. (HR.
Ahmad)
[1] Imam Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, j. 2,
(Beirut: Dâr al-Ihyâi al-Turâts al-’Araby, 1414 H), cet. ke-3, hal. 178
Selain perspektif nash agama, larangan ini sesungguhnya dikarenakan
transaksi itu mengandung riba dan gharar.
2. Dilarang karena Hilah kepada Riba
• Contohnya ialah
Jual Beli al-I’nah. Jual beli dilarang karena hilah kepada riba.
• Contoh berikutnya ialah
praktik tawarruq munazzam yang berputar dan bank surplus bertindak juga
sebagai wakil pembeli dalam menjual barang ke agen di bursa sebagaimana yang
difatwakan ulama OKI.
• Contoh berikutnya menggabungkan
akad tawarruq, wakalah dan wadi’ah untuk pembiyaaan multi guna. Di mana pihak
ketiga adalah anak perusahaan dari Bank Islam yang memberikan dana.
3. Multi akad menyebabkan jatuh ke riba.
• Setiap multi akad yang
mengantarkan pada yang haram, seperti riba, hukumnya haram, meskipun akad-akad
yang membangunnya adalah boleh, seperti menggabungkan qardh dengan janji
hadiah.
• Penghimpunan beberapa
akad yang hukum asalnya boleh namun membawanya kepada yang dilarang menyebabkan
hukumnya menjadi dilarang. seperti : multi akad antara akad salaf dan
jual beli. Contoh, Saya meminjamkan uang kepada anda sebesar Rp 1 juta, dengan
ketentuan anda harus membeli Hand phone saya dengan harga sekian.
• Multi akad :
Gabungan qardh dan
hibah/manfaat lain dilarang syariah. Ulama sepakat mengharamkan qardh yang
dibarengi dengan persyaratan imbalan lebih, berupa hibah atau lainnya. Contoh,
seseorang, (misalnya Ahmad) meminjamkan uang kepada si B, dengan syarat Ahmad
menempati rumah si B. Contoh lain : Saya pinjamkan kpd anda uang Rp 200.000.
tapi saya pakai motor anda selama 3 hari. Termasuk dalam kategori ini
menggabungkan Qardh dgn Ijarah dalam satu transaksi, kecuali ijarahnya sebatas
biaya operasional, yaitu untuk menutupi riel cost.
• Malikiyah melarang multi
akad dari akad-akad yang berbeda hukumnya, seperti antara akad qardh dengan
ijarah., [1]
[1] Al-‘Imrâni, Al-’uqûd al-Mâliyah al-Murakkabah, hal. 181 – 182 .
[1] Al-‘Imrâni, Al-’uqûd al-Mâliyah al-Murakkabah, hal. 181 – 182 .
4. Multi akad menyebabkan jatuh ke gharar. Misalnya
sebuah perusahaan multifinance menjual mobil kepada nasabah, dengan harga
tertentu, misalkan Rp 250 juta untuk masa 24 bulan, tanpa urbun di awal. Namun
perusahaan itu menawarkan beberapa alternative besaran urbun, tanpa
ditetapkan (dipilih) salah satu alkternatif besaran urbunnya. Jika urbun
dibayar bulan ke enam , harganya lebih murah, jika bulan ke 13 harga
urbunnya sekian, dst. Dengan beragamnya harga tersebut, maka tidak ada
kepastian harga pembelian barang tersebut.Inilah yang disebut dengan gharar.
Perbankan syariah, harus memperbaiki diri dalam peningkatan kualitas SDM-nya dengan melaksanakan
training dan workshop intensif mengenai inovasi produk. Selain itu, para bankir
bank syariah bisa mengikuti kuliah S2 (pascasarjana) ekonomi syariah
konsentrasi perbankan syariah. Di
Jakarta, sudah dikembangkan
S2 ekonomi Islam di banyak Perguruan Tinggi, seperti S2 Manajemen Perbankan dan
Keuangan Islam Universitas Paramadina, S2 Islamic Economics and Finance
Univertsitas Trisakti, S2 Ekonomi syariah Universitas Indonesia (UI), S2
Ekonomi Islam Universitas Az-Zahra. Daerah lain seharusnya sudah melakukan kegiatan
akademis yang sama. Minimal setiap provinsi terdapat sebuah Perguruan Tinggi yang
membuka program S2 ekonomi syariah yang mengikuti perkembangan keuangan modern.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar