Jumat, 18 Oktober 2013

Monopoli

MONOPOLI

BAB 1
PENDAHULUAN
MONOPOLI
Monopoli berasal dari bahasa Yunani, yaitu mono yang berarti tunggal, sendiri atau satu-satunya dan poli yang artinya adalah banyak. Monopoli dipergunakan untuk menunjukkan suatu keadaan di mana seseorang menguasai pasar, di mana pasar tersebut tidak tersedia lagi produk substitusi atau produk substitusi yang potensial, dan terdapatnya kemampuan pelaku pasar tersebut untuk menerapkan harga produk tersebut yang lebih tinggi, tanpa mengikuti hukum persaingan pasar atau tertentu atas satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha, hukum tentang permintaan dan penawaran pasar.[1]
Monopoli (ihtikar) berasal dari kata hakr, yang berarti mengumpulkan dan menguasai barang kebutuhan. Ihtikar digunakan oleh para ahli Fiqh Islam untuk menyatakan hak istimewa untuk mengumpulkan dan menguasai barang kebutuhan dalam upaya mengantisipasi kenaikan harga. Dengan kata lain, ihtikar berarti proses memonopoli produk agar mengakibatkan terjadinya kenaikan harga.
Praktek-praktek monopoli di dalam masyarakat sudah banyak terjadi, contohnya adalah Hoarding atau penimbunan, penimbunan dapat diartikan sebagai usaha menahan peredaran barang di pasar sehingga terjadi kelangkaan dan menjualnya ketika harga naik. Penimbunan ini mengakibatkan masyarakat terpaksa harus membeli barang tersebut dengan harga tinggi.
Akibat atau dampak yang timbul dari adanya praktek monopoli adalah dari segi ekonomi, yang pertama, harga yang terlalu tinggi akan menimbulkan kelesuan ekonomi. Yang kedua, terganggunya mekanisme pasar dan stabilitas ekonomi, karena mekanisme pasar akan berjalan secara normal jika terbentuk suatu pasar persaingan sempurna. Yang ketiga, menyebabkan inflasi, monopoli dengan harga tinggi dapat menyebabkan inflasi, sehingga akan memberatkan konsumen dan masyarakat pada umumnya. Dari segi moral, monopoli dapat membentuk manusia yang egois, individualis dan matrealistis.
Beberapa bentuk monopoli yang diperbolehkan:
1.     Monopoli yang dicapai dengan adanya skala ekonomis
Skala ekonomis terjadi jika suatu perusahaan dapat memproduksi barang dalam jumlah besar dan hampir memenuhi permintaan pasar yang ada. Tingginya permintaan disebabkan oleh keunggulannya dalam bersaing.
2.     Monopoli dengan kebijakan pemerintah
a.      Hak paten atau hak cipta
b.     Hak monopoli
Tujuan pemerintah memberikan hak monopoli tersebut dimaksudkan untuk kesejahteraan masyrakat. Sebab jika hal ini dikelola oleh swasta murni jelas akan menimbulkan kemadharatan.
c.      Monopoli oleh badan pemerintahan
Dalam hal ini pemerintah mempunyai perusahaan sendiri untuk menambah pemasukan keuangan negara, walaupun terkadang perusahaan milik pemerintah ini ada yang berbentuk persero, akan tetapi perusahaan ini tentunya menguasai hajat hidup orang banyak


BAB 2
ISI
Ø Hadits Nabi
حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ عَمْرٍو الْأَشْعَثِيُّ حَدَّثَنَا حَاتِمُ بْنُ إِسْمَعِيلَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَجْلَانَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ عَطَاءٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ عَنْ مَعْمَرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَحْتَكِرُ إِلَّا خَاطِئٌ قَالَ إِبْرَاهِيمُ قَالَ مُسْلِم و حَدَّثَنِي بَعْضُ أَصْحَابِنَا عَنْ عَمْرِو بْنِ عَوْنٍ أَخْبَرَنَا خَالِدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ عَمْرِو بْنِ يَحْيَى عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ عَنْ مَعْمَرِ بْنِ أَبِي مَعْمَرٍ أَحَدِ بَنِي عَدِيِّ بْنِ كَعْبٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ  اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ بِمِثْلِ حَدِيثِ سُلَيْمَانَ بْنِ بِلَالٍ عَنْ يَحْيَى
(HR. muslim : 3112)
Ø  Syarah
قوله : ( لا يحتكر إلا خاطئ ) بالهمز أي عاص آثم . ورواه مسلم بلفظ : من احتكر فهو خاطئ . قال النووي : الاحتكار المحرم هو في الأقوات خاصة بأن يشتري الطعام في وقت الغلاء ولا يبيعه في الحال بل ادخره ليغلو , فأما إذا جاء من قريه أو اشتراه في وقت الرخص وادخره وباعه في وقت الغلاء فليس باحتكار ولا تحريم فيه , وأما غير الأقوات فلا يحرم الاحتكار فيه بكل حال انتهى . واستدل مالك بعموم الحديث على أن الاحتكار حرام من المطعوم وغيره ذكره ابن الملك في شرح المشارق كذا في المرقاة . قوله : ( فقلت ) قائله محمد ابن إبراهيم ( لسعيد ) أي ابن المسيب ( يا أبا محمد ) كنية سعيد بن المسيب ( إنك تحتكر قال ومعمر ) أي ابن عبد الله بن فضالة ( قد كان يحتكر ) أي في غير الأقوات ( والخبط ) بفتح الخاء المعجمة والموحدة الورق الساقط أي علف الدواب ( ونحو هذا ) أي من غير الأقوات قال ابن عبد البر وآخرون إنما كانا يحتكران الزيت . وحملا الحديث على احتكار القوت عند الحاجة إليه . وكذلك حمله الشافعي وأبو حنيفة وآخرون قوله : ( وفي الباب عن عمر ) مرفوعا : من احتكر على المسلمين طعامهم ضربه الله بالجذام والإفلاس . أخرجه ابن ماجه قال الحافظ في الفتح : إسناده حسن . وعنه مرفوعا بلفظ : الجالب مرزوق والمحتكر ملعون . أخرجه ابن ماجه وإسناده ضعيف . ( وعلي ) لم أقف على حديثه ( وأبي أمامة ) مرفوعا : من احتكر طعاما أربعين يوما ثم تصدق به لم يكن له كفارة . أخرجه رزين ( وابن عمر ) مرفوعا : من احتكر طعاما أربعين ليلة فقد برئ من الله وبرئ منه - أخرجه أحمد والحاكم قال الحافظ في الفتح في إسناده مقال . وفي الباب عن أبي هريرة مرفوعا : من احتكر حكرة يريد أن يغالي بها على المسلمين فهو خاطئ . أخرجه الحاكم ذكره الحافظ وسكت عنه . وعن معاذ مرفوعا : من احتكر طعاما على أمتي أربعين يوما وتصدق به لم يقبل منه . أخرجه ابن عساكر . قوله : ( ورخص بعضهم في الاحتكار في غير الطعام ) واحتجوا بالروايات التي فيها التصريح بلفظ الطعام . قال الشوكاني في النيل : وظاهر أحاديث الباب أن الاحتكار محرم من غير فرق بين قوت الآدمي والدواب وبين غيره . والتصريح بلفظ الطعام في بعض الروايات لا يصلح لتقييد باقي الروايات المطلقة . بل هو من التنصيص على فرد من الأفراد التي يطلق عليها المطلق وذلك لأن نفي الحكم عن غير الطعام إنما هو لمفهوم اللقب وهو غير معمول به عند الجمهور , وما كان كذلك لا يصلح للتقييد على ما تقرر في الأصول . قوله : ( قال ابن المبارك لا بأس بالاحتكار بالقطن والسختيان ) قال في القاموس السختيان ويفتح جلد الماعز إذا دبغ معرب .

Ø  Pandangan Para Ulama
Imam al-Gazali (ahli fikih mazhab asy-Syafii) dimana beliau berpendapat bahwa yang dimaksud al-Ihtikar hanyalah terbatas pada bahan makanan pokok saja. Sedangkan selain bahan makanan pokok (sekunder) seperti, obat-obatan, jamu-jamuan, wewangian, dan sebagainya tidak terkena larangan meskipun termasuk barang yang dimakan. Alasan mereka adalah karena yang dilarang dalam nash hanyalah makanan. Menurut mereka masalah ihtikar adalah menyangkut kebebasan pemilik barang untuk menjual barangnya. Maka larangan itu harus terbatas pada apa yang ditunjuk oleh nash. Kelompok ini mendefinisikan al-ikhtikar terbatas pada makanan pokok saja.
Sedangkan kelompok ulama yang mendefinisikan al-Ihtikar lebih luas dan umum diantaranya adalah Imam Abu Yusuf (ahli fikih mazhab Hanafi). Beliau menyatakan bahwa larangan ihtikar tidak hanya terbatas pada makanan, pakaian dan hewan, tetapi meliputi seluruh produk yang dibutuhkan masyarakat. Menurut mereka, yang menjadi  ilat (motivasi hukum) dalam larangan melakukan ihtikar tersebut adalah kemudaratan yang menimpa orang banyak. Oleh karena itu kemudaratan yang menimpa orang banyak tidak hanya terbatas pada makanan, pakaian dan hewan, tetapi mencakup seluruh produk yang dibutuhkan orang. (Abdul Aziz Dahlan (ed) 1996: 655).
As-Sayyid Sabiq dalam Fiqh as-Sunnah menyatakan al-Ihtikar sebagai membeli suatu barang dan menyimpannya agar barang tersebut berkurang di masyarakat sehingga harganya meningkat sehingga manusia akan mendapatkan kesulitan akibat kelangkaan dan mahalnya harga barang tersebut. (As-Sayyid Sabiq, 1981: 162).
Fathi ad-Duraini mendefinisikan ihtikar dengan tindakan menyimpan harta, manfaat atau jasa, dan enggan menjual dan memberikannya kepada orang lain yang mengakibatkan melonjaknya harga pasar secara drastis disebabkan persediaan barang terbatas atau stok barang hilang sama sekali dari pasar, sementara rakyat, negara, ataupun hewan (peternakan) amat membutuhkan produk, manfaat, atau jasa tersebut. Al-Ihtikar menurut ad-Duraini, tidak hanya menyangkut komoditas, tetapi manfaat suatu komoditas dan bahkan jasa dari pembeli jasa dengan syarat, embargo  yang dilakukan para pedagang dan pemberi jasa ini bisa memuat harga pasar tidak stabil, padahal komoditas, manfaat, atau jasa tersebut sangat dibutuhkan oleh masyarakat, negara, dan lain-lain. Misalnya, pedagang gula pasir di awal Ramadhan tidak mau menjual barang dagangannya, karena mengetahui bahwa pada minggu terakhir bulan Ramadhan masyarakat sangat membutuhkan gula untuk menghadapi lebaran. Dengan menipisnya stok gula di pasar, harga gula pasti akan naik. Ketika itulah para pedagang gula menjual gulanya, sehingga pedagang tersebut mendapat keuntungan (profit) yang berlipat ganda. (Abdul Aziz Dahlan (ed) 1996: 655).
Adiwarman Karim mengatakan bahwa al-Ihtikar adalah mengambil keuntungan di atas keuntungan normal dengan cara menjual lebih sedikit barang untuk harga yang lebih tinggi, atau istilah ekonominya disebut dengan monopoly (Adiwarman Karim, 2000:154)
Dr. Zaki Badawi juga berargumentasi bahwa pelarangan monopoli  juga berlaku bagi sistem perbankan dan usaha-usaha yang lain. Monopoli dalam sistem perbankan sebagai contoh, akan memberikan pemonopoli kekuatan finansial dan praktek komersial dalam komunitasnya. Semangat Islam menyadari bahwa monopoli akan memberikan hak otoritas yang tidak semestinya kepada beberapa kelompok juga akan berdampak adanya ineffisiensi.

Ø  Keterkaitan antara kandungan hadits dengan persoalan di masyarakat
Masalah yang terjadi dalam masyarakat saat ini sangatlah beragam dan kompleks. Dengan bertambahnya kebutuhan masyarakat dan keinginan pemenuh kebutuhan  dengan cara singkat sehingga memunculkan penyelesaian yang tidak jarang itu jelas-jelas bertentangan dengan agama maupun aturan negara. Terlebih lagi dalam persoalan ekonomi ataupun dalam transaksi jual-beli. Pada dasarnya aktivitas jual-beli itu bebas selama tidak bertentangan dengan prinsip dan selama tidak ada dalil yang melarangnya.
Prinsip - prinsip yang dibangun dalam mekanisme pasar islam diantaranya : ar-Ridha, berdasarkan persaingan sehat, kejujuran, dan keterbukaan. Ketika salah satu prinsip tersebut dilanggar maka akan merusak mekanisme pasar.
Monopoli (ikhtikar) merupakan salah satu bentuk kegiatan ekonomi yang merusak mekanisme pasar dan stabilitas harga. Monopoli ini diartikan penimbunan akan barang agar tidak beredar dipasar, bertujuan untuk mengambil keuntungan di atas keuntungan normal. Tentu hal ini telah melanggar prinsip yang ada dan menjadi faktor perekayasa supply dan demand.
Ada berbagai macam cara yang digunakan oleh masyarakat dalam melakukan monopoli ini, diantaranya :
·       Tadlis kuantitas
·       Tadlis harga
·       Ghaban faa-hisy
Menjual barang dagangannya diatas harga pasar
·       Talaqqi rukban
Pedagang membeli dagangan si penjual sebelum penjual masuk ke pasar. Hal ini dilarang karena akan merugikan si penjual, ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW :
عَنْ طَا وُسٍ عَنِ ابْنِ عَبَّا سٍ قَلَ: قَلَ رسول الله صلّى الله عليه وسلم :لاَ تَلَقُّو ا الرُّكَّا بَ وَلاَ يَبِعْ حَا ضِرُ‘ لِبَادٍ, قُلْتُ لاِبْنِ عَبَّاسٍ: مَاقُوْلُهُ: وَلاَ يَبِعْ حَا ضِرُلِبَادٍ,قَلَ: لاَيَكُنُ لَهُ سِمْسَارًا.(متفق عليه والفظ للبخارى
“Dari thawus dari Ibnu abbas ia berkata: telah bersabda Rasulullah SAW: “ Janganlah kamu mencegat kafilah-kafilah dan janganlah orang-orang kotamenjual buat orang desa.” saya bertanya kepada Ibnu abbas, ” Apa arti sabdanya.? “Janganlah kamu mencegat kafilah-kafilah dan jangan orang-orang kota menjualkan buat orang desa,” Ia menjawab: “Artinya janganlah ia menjadi perantara baginya.” (Muttafaq alaih , tetapi lafazh tersebut dari bukhari).
Kita ketahui dalam sejarah, bahwa masyarakat Arab, banyak mata pencariannya sebagai pedagang. Mereka berdagang dari negeri yang satu kenegeri yang lain. Ketika mereka kembali, mereka membawa barang-barang yang sangat dibutuhkan oleh penduduk ma’kah. Mereka datang bersama rombongan besar yang disebut kafilah. Penduduk arab berebut untuk mendapatkan barang tersebut karena harganya murah. Oleh karena itu banyak tengkulak atau makelar mencegat rombongan tersebut di tengah jalan atau memborong barang yang dibawa oleh mereka. Para tengkulak tersebut menjualnya kembali dengan harga yang sangat mahal.
Maka jelaslah bahwa monopoli (ikhtikar) yang dilakukan masyarakat tidaklah sesuai dengan prinsip – prinsip mekanisme pasar islam. Dengan demikian, maka monopoli dilarang di dalam islam.

Ø  Pendapat kelompok kami
Dengan adanya monopoli terutama pada bahan makanan dan kebutuhan pokok manusia maka akan memicu persaingan yang tidak sehat sehingga akan merusak mekanisme pasar dan stabilitas harga di pasaran. Harga dipasaran pun akan mengalami kenaikan sehingga apabila hal itu terus berlanjut maka suatu negara tersebut akan mengalami inflasi.
Dengan mengamati dan mencermati pendapat para ulama di atas, maka Kelompok kami bersepakat bahwa monopoli (ikhtikar) dihukumi haram ketika hal itu merugikan orang lain. Allah SWT juga telah melarang proses penimbunan ini dan mengancam kepada mereka dengan siksa yang pedih. Ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat at-Taubah ayat 34-35.
وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ (34) يَوْمَ يُحْمَى عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَى بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ هَذَا مَا كَنَزْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ فَذُوقُوا مَا كُنْتُمْ تَكْنِزُونَ (35     
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada  jalan Allah  maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung, dan punggung mereka (lalu dikatakan kepada mereka): “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu”.
BAB 3
KESIMPULAN
Monopoli dipergunakan untuk menunjukkan suatu keadaan di mana seseorang menguasai pasar, di mana pasar tersebut tidak tersedia lagi produk substitusi atau produk substitusi yang potensial, dan terdapatnya kemampuan pelaku pasar tersebut untuk menerapkan harga produk tersebut yang lebih tinggi, tanpa mengikuti hukum persaingan pasar atau tertentu atas satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha, hukum tentang permintaan dan penawaran pasar.
Nabi melarang praktik monopoli di masyarakat, ini sesuai dengan sabda nya : Dari Ma’mar bin Abi Ma’mar, seorang Bani Adi bin Ka’b R.A. dia berkata: Rosulullah SAW. Bersabda: “Tidaklah melakukan monopoli, kecuali orng yang salah”.
Dengan mengamati dan mencermati pendapat para ulama di atas, maka Kelompok kami bersepakat bahwa monopoli (ikhtikar) dihukumi haram ketika hal itu merugikan orang lain.


DAFTAR PUSTAKA
·        H. arifin, bey. Terjemah sunan Abi Dawud jilid IV. 1993. Semarang: CV. Asy-syifa’.




[1] Munir Fuady, Hukum Anti Monopoli..., hlm 4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar