PENDAHULUAN
Islam agama yang lengkap dan sempurna telah meletakkan kaidah-kaidah
dasar dan aturan dalam semua sisi kehidupan manusia, baik dalam ibadah maupun
muamalah (hubungan antar makhluk). Setiap orang membutuhkan interaksi dengan
orang lain untuk saling menutupi kebutuhan dan tolong-menolong di antara
mereka.
Karena itulah, kita sangat perlu mengetahui aturan Islam dalam
seluruh sisi kehidupan kita sehari-hari, di antaranya tentang interaksi sosial
dengan sesama manusia, khususnya berkenaan dengan perpindahan harta dari satu
tangan ke tangan yang lain.
Utang-piutang terkadang tidak dapat dihindari, padahal banyak muncul
fenomena ketidakpercayaan di antara manusia, khususnya di zaman kiwari ini.
Sehingga. orang terdesak untuk meminta jaminan benda atau barang berharga dalam
meminjamkan hartanya.
Realita yang ada tidak dapat dipungkiri, suburnya usaha-usaha
pegadaian, baik dikelola pemerintah atau swasta menjadi bukti terjadinya
kegiatan gadai ini. Ironisnya, banyak kaum muslimin yang belum mengenal aturan
indah dan adil dalam Islam mengenai hal ini. Padahal perkara ini bukanlah
perkara baru dalam kehidupan mereka, sudah sejak lama mereka mengenal jenis
transaksi seperti ini. Sebagai akibatnya, terjadi kezaliman dan saling memakan
harta saudaranya dengan batil.
PEMBAHASAN
Hadits Ar Rahn (Gadai)
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اشْتَرَى طَعَامًا مِنْ يَهُودِيٍّ إِلَى أَجَلٍ
وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيدٍ
“Sesungguhnya,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli bahan makanan dari seorang yahudi
dengan cara berutang, dan beliau menggadaikan baju besinya.” (Hr. Al-Bukhari no. 2513 dan Muslim no. 1603).[1]
ﻋنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ مَشَى إِلَى
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِخُبْزِ شَعِيرٍ وَإِهَالَةٍ سَنِخَةٍ
وَلَقَدْ رَهَن دِرْعًا لَهُ عِنْدَ يَهُودِيٍّ بِالْمَدِينَةِ وَأَخَذَ مِنْهُ
شَعِيرًا لِأَهْلِهِ
“Anas Ibn Malik suatu saat mendatangi
Rasulullah dengan membawa roti gandum dan sungguh Rasulullah SAW telah
menangguhkan baju besi kepada orang Yahudi di Madinah ketika beliau mengambil (meminjam) gandum dari orang Yahudi
tersebut untuk keluarga Nabi.”[2]
ﺍﻠﺭﻫﻥﹸﻴﺭﻜﺏﹸﺒﻨﻔﻘﺘﻪﹺﺇﺫﹶﺍﻜﺎﻥﹶﻤﺭﻫﻭﻨﺎﹰﻭﻟﺒﻥﹸﺍﻟﺩﱠﺭﱢﻴﺸﺭﺏﹸﺒﻨﻔﻘﺘﻪﹺﺇﺫﺍﻜﺎﻥﹶﻤﺭﻫﻭﻨﺎﹰﻭﻋﺎﻰﺍﻠﺫﻱ ﻴﺭﻜﺏﹸﻭﻴﺸﺭﺏﹸﺍﻠﻨﻔﻘﺔﹸ
“Binatang
tunggangan boleh ditunggangi sebagai imbalan atas nafkahnya (makanannya) bila
sedang digadaikan, dan susu binatang yang diperah boleh diminum sebagai imbalan
atas makanannya bila sedang digadaikan. Orang yang menunggangi dan meminum susu
berkewajiban untuk memberi makanan.”(Hr. Bukhori, no.2512).[3]
ﺤﺩﹲﺜﻨﺎﹶﺍﺒﻭﻜﺭﹶﻴﺏﹴﻭﻴﻭﺴﻑﹸﺒﻥﹸﻋﻴﺱﹶﻗﺎﻝ:ﺤﺩﹲﺜﻨﺎﻭﻜﻴﻊﹼﻋﻥﹾﺯﹶﻜﺭﻴﺎﹲ‚ﻋﻥﹾﻋﺎﻤﺭﹴ‚ﻋﻥﹾﺍﺒﻰﻫﺭﻴﺭﺓ‚ﻗﺎﻝﹶﺭﺴﻭﻝﹸﺍﻠﻠﻪﹺﺼﻠﻰﺍﻠﻠﻪﹸﻋﻠﻴﻪﹺﻭﺴﻠﻡﹶﺍﻠﻅﻬﺭﹸﻴﺭﹾﻜﺏﺇﺫﹶﺍﻜﺎﻥﹶﻤﺭﻫﻭﻨﺎﹰﻭﻟﺒﻥﹸﺍﻟﺩﱠﺭﱢﺇﺫﺍﻜﺎﻥﹶﻤﺭﻫﻭﻨﺎﹰﻭﻋﺎﻰﺍﻠﺫﻱ ﻴﺭﻜﺏﹸﻭﻴﺸﺭﺏﹸ ﻨﻔﻘﺔﹸ
“Abu Kuraib bin Yusuf bin Isa menceritakan kepada kami,
mereka berkata: Wakkie’ menceritakan kepada kami dari Zakaria dari Amir dari
Abu Hurairah berkata:Rasulullah SAW bersabda: Punggung hewan yang digadaikan
boleh dinaiki dan susu yang ada di teteknya boleh diminum kalau hewan itu
digadaikan. Dan bagi orang yang menaikinya dan meminum susunya wajib memberi
nafkahnya.[4]
ﻋﻥﹾﺍﺒﻥﹺﻫﺭﻴﺭﺓ‚ﻋﻥﹺﺍﻠﻨﺒﻲﹺﺼﻠﻰﺍﻠﻠﻪﹸﻋﻠﻴﻪﹺﻭﺴﻠﻡ‚ﻗﺎﻝ:ﻠﺒﻥﺍﻠﺩﱠﺭﱢﻴﺤﻠﺏﺒﻨﻔﻘﺘﻪﹺ‚ﺍﺫﺍﻜﺎﻥﹶﻤﺭﹾﻫﻭﻨﺎ‚ﻭﺍﻠﻅﻬﺭﹸﺒﻥﻜﺒﻰ ﺒﻨﻔﻘﺘﻪﹺ‚ﺍﺫﺍﻜﺎﻥﹶﻤﺭﻫﻭﻨﺎ‚ﻭﻋﻠﻰﺍﻠﺫﻱﻴﺭﻜﺏﹸﻭﻴﺤﻠﺏﺍﻠﻨﻔﻘﺔﹶ.
“Artinya: dari Abu
Hurairah R.A dari Nabi SAW, Beliau bersabda: susu hewan perah, diperah sebab
nafkahnya apabila digadaikan. Binatang kendaraan juga dikendarai sebab
nafkahnya apabila digadaikan dan terhadap yang mengendarai dan memerahnya,
wajib memberi nafkahnya.[5]
ﻻﹶﻴﻐﻠﻕﹸﺍﻠﺭﻫﻥﹶﻤﻥﺼﺎﹶﺤﺒﻪﹺﺍﻠﺫﻯﺭﻫﻨﻪﻠﻪﻏﻨﻤﻪﻭﻋﻠﻴﻪﹺﻏﺭﻤﻪ
“
Janganlah ia (pemegang gadaian) menutup hak gadaian dari pemiliknya (rahin)
yang menggadaikan. Ia berhak memperoleh bagiannya. Dan dia berkewajiban
membayar gharamahnya.”[6]
ﻠﻪﹸﻏﻨﻤﻪﹸﻭﻋﻠﻴﻪﻏﺭﻤﻪﹸ
“ Dia yang berhak
memanfaatkannya dan wajib baginya menanggung biaya pemeliharaannya.” (Hr.
Ad-Daruquthni dan al-Hakim).[7]
Penjelasannya
Tujuh hadits di atas secara jelas menggambarkan fakta sejarah bahwa
pada zaman Rasulullah SAW gadai telah dipraktekkan secara luas. Hadits pertama
dan kedua menegaskan Rasulullah SAW pernah melakukan hutang piutang dengan
orang Yahudi untuk sebuah makanan. Kemudian beliau menggadaikan (menjaminkan)
baju besinya sebagai penguat kepercayaan transaksi tersebut.
Sedangkat hadits ketiga, keempat, dan kelima Rasulullah SAW telah
menegaskan akan hak dan kewajiban bagi pihak- pihak yang melakukan akad gadai.
Murtahin dapat memanfaatkan kendaraan yang digadaikan kepadanya, selama ia mau
merawatnya. Hal- hal tersebut merupakan landasan hadits yang cukup kuat bahwa
gadai adalah sesuatu yang dianggap syah.
Hadits kelima diriwayatkan oleh Bukhori, Tirmidzi, dan Ibnu Majah. Pada
intinya pegadaian itu boleh dan barang yang digadaikan harus tetap dirawat. Ada
3 pendapat mengenai hadits di atas:. pertama, Ahmad Bin Hambal
berpendapat bahwa piutang boleh memanfaatkan barang dan pemanfaatannya sesuai
dengan nafkah yang diperlukan. Kedua, Abu Tsawr berpendapat barang boleh
dipegang oleh orang yang menggadaikan. Boleh tetap diambil manfaat selama
diberi nafkah. Ketiga, Syafi’I berpendapat bahwa masing- masing pihak
tidak boleh mengambil manfaat sebab hanya sebagai barang kepercayaan tetapi
orang yang merawat adalah si penggadai.
Pada hadits keenam adalah tentang himbauan untuk tidak menutup hak
gadaian terhadap penyitaan barang gadaian. Hadits ini diriwayatkan oleh Asy
Syafi’I, Al- Atsram dan darulquthni serta ia mengatakan “Sanadnya hasan
muttashil. Ibnu hajar dalam bulughul maram mengatakan “Para perawinya tsiqat.
Sesungguhnya (data) yang tersimpan pada Abu Daud dan lainnya, hadits mursal.
Dan pada hadits ketujuh tentang perolehan pemanfaatan barang
gadaian. Dalam hal ini ada beberapa pendapat, Asy-Syafi’I berkata “Tak
sesuatupun dari yang demikian itu
termasuk dalam barang gadaian”. Dan Imam Malih berkata: Tidak masuk kecuali
anak binatang dan anak pohon kurma. Barang gadaian adalah amanat yang ada
ditanggung pemegang gadaian, ia tidak berkewajiban meminta ganti kecuali jika
melewati batas (kebiasaan), demikian menurut Ahmad dan Asy-Syafi’i.
Dengan adanya beberapa pendapat dari para ulama di atas, dapat
diartikan bahwa Gadai (rahn) sendiri secara bahasa artinya tetap dan lestari,
seperti juga dinamai Al-Habsu, artinya penahanan. Adapun definisi rahn dalam
istilah syariat, dijelaskan para ulama dengan ungkapan, “Menjadikan harta benda
sebagai jaminan utang, agar utang bisa dilunasi dengan jaminan tersebut, ketika
si peminjam tidak mampu melunasi utangnya.”
“Atau harta benda yang dijadikan jaminan utang untuk melunasi (utang
tersebut) dari nilai barang jaminan tersebut, apabila si peminjam tidak mampu
melunasi utangnya.”
“Memberikan harta sebagai jaminan utang agar digunakan sebagai pelunasan
utang dengan harta atau nilai harta tersebut, bila pihak berutang tidak mampu
melunasinya.”
Adapun beberapa rukun dan syarat dalam melakukan gadai. Rukun
ar-Rahn (Gadai), Mayoritas ulama memandang bahwa rukun ar-rahn (gadai) ada
empat, yaitu: Ar-rahn atau al-marhun (barang yang digadaikan), Al-marhun bih
(utang), Aqidain, dua pihak yang bertransaksi, yaitu rahin (orang yang
menggadaikan) dan murtahin (pemberi utang), Shigat Ijab Qabul.
Sedangkan Mazhab Hanafiyah memandang
ar-rahn (gadai) hanya memiliki satu rukun yaitu shighah, karena pada hakikatnya
dia adalah transaksi.
Agar terpenuhinya rukun, maka
diperlukan syarat dalam pemenuhannya, yaitu: Syarat yang berhubungan dengan
transaktor (orang yang bertransaksi), yaitu orang yang menggadaikan barangnya
adalah orang yang memiliki kompetensi beraktivitas, yaitu baligh, berakal, dan
rusyd (memiliki kemampuan mengatur). Syarat yang berhubungan dengan al-marhun
(barang gadai).
·
Barang gadai itu berupa barang berharga yang dapat menutupi
utangnya, baik barang atau nilainya ketika si peminjam tidak mampu melunasi
utangnya.
·
Barang gadai tersebut adalah milik orang yang
manggadaikannya atau yang diizinkan baginya untuk menjadikannya sebagai jaminan
gadai.
·
Barang gadai tersebut harus diketahui ukuran, jenis, dan
sifatnya, karena ar-rahn adalah transaksi atau harta sehingga disyaratkan hal
ini.
Syarat yang berhubungan dengan
al-marhun bih (utang) adalah utang yang wajib atau yang akhirnya menjadi wajib.
· Hak yang wajib dikembalikan kepada
kreditor
· Utang bias dilunasi dengan agunan
tersebut.
· Utang jelas dan tertentu.
Syarat
yang terkait dengan shighat ijab qabul; ucapan serah terima disyaratkan; harus
ada kesinambungan antara ucapan penyerahan (ijab) dan ucapan penerimaan. Apa
yang diucapkan oleh kedua belah pihak tidak boleh ada jeda dari transaksi lain.
Hukum-hukum Setelah Serah Terima
Ada beberapa ketentuan dalam gadai setelah terjadinya serah-terima
yang berhubungan dengan pembiayaan (pemeliharaan), pertumbuhan barang gadai,
pemanfaatan, serta jaminan pertanggungjawaban bila barang gadai rusak atau
hilang, di antaranya:
Pertama, pemegang barang gadai.
Barang gadai tersebut berada ditangan murtahin selama masa
perjanjian gadai tersebut, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam,
الظَّهْرُ يُرْكَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ
إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ نَفَقَتُهُ
“Binatang tunggangan boleh ditunggangi sebagai imbalan atas nafkahnya (makanannya) bila sedang digadaikan, dan susu binatang yang diperah boleh diminum sebagai imbalan atas makanannya bila sedang digadaikan. Orang yang menunggangi dan meminum susu berkewajiban untuk memberikan makanan.” (Hr. TIrmidzi; hadits shahih)
“Binatang tunggangan boleh ditunggangi sebagai imbalan atas nafkahnya (makanannya) bila sedang digadaikan, dan susu binatang yang diperah boleh diminum sebagai imbalan atas makanannya bila sedang digadaikan. Orang yang menunggangi dan meminum susu berkewajiban untuk memberikan makanan.” (Hr. TIrmidzi; hadits shahih)
Kedua, pembiayaan pemeliharaan dan
pemanfaatan barang gadai.
Pada asalnya barang, biaya pemeliharaan dan manfaat barang yang
digadaikan adalah milik orang yang menggadaikan (rahin), dan murtahin tidak
boleh mengambil manfaat barang gadaian tersebut kecuali bila barang tersebut
berupa kendaraan atau hewan yang diambil air susunya, maka murtahin boleh
menggunakan dan mengambil air susunya apabila ia memberikan nafkah (dalam
pemeliharaan barang tersebut).
Tentunya, pemanfaatannya sesuai dengan besarnya nafkah yang
dikeluarkan dan memperhatikan keadilan. Hal ini di dasarkan pada sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الظَّهْرُ يُرْكَبُ إِذَا كَانَ
مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي
يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ نَفَقَتُهُ
“Binatang tunggangan boleh ditunggangi sebagai imbalan atas
nafkahnya (makanannya) bila sedang digadaikan, dan susu binatang yang diperah
boleh diminum sebagai imbalan atas makanannya bila sedang digadaikan. Orang
yang menunggangi dan meminum susu berkewajiban untuk memberikan makanan.” (Hr. TIrmidzi; hadits shahih).
Syekh al-Basam menyatakan, “Menurut kesepakatan ulama, biaya
pemeliharaan barang gadai dibebankan kepada pemiliknya.”
Demikian juga, pertumbuhan dan keuntungan barang tersebut juga
miliknya, kecuali dua pengecualian ini (yaitu kendaraan dan hewan yang memiliki
air susu yang diperas, pen).
Penulis kitab al-Fiqh al-Muyassar menyatakan, “Manfaat dan
pertumbuhan barang gadai adalah hak pihak penggadai, karena itu adalah
miliknya. Orang lain tidak boleh mengambilnya tanpa seizinnya. Bila ia
mengizinkan murtahin (pemberi utang) untuk mengambil manfaat barang gadainya
tanpa imbalan dan utang gadainya dihasilkan dari peminjaman, maka yang demikian
itu tidak boleh dilakukan, karena itu adalah peminjaman utang yang menghasilkan
manfaat.
Adapun bila barang gadainya berupa kendaraan atau hewan yang
memiliki susu perah, maka murtahin diperbolehkan untuk mengendarainya dan
memeras susunya sesuai besarnya nafkah yang dia berikan kepada barang gadai
tersebut, tanpa izin dari penggadai, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
الرَّهْنُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا
كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا
وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ
“Binatang tunggangan boleh ditunggangi sebagai imbalan atas nafkahnya
(makanannya) bila sedang digadaikan, dan susu binatang yang diperah boleh
diminum sebagai imbalan atas makanannya bila sedang digadaikan. Orang yang
menunggangi dan meminum susu berkewajiban untuk memberikan makanan.” (Hr. Al-Bukhari, no. 2512).
Ini adalah
pendapat Mazhab Hanabilah. Adapun mayoritas ulama fikih dari Mazhab Hanafiyah,
Malikiyah, dan Syafi’iyah berpandangan tentang tidak bolehnya murtahin
mengambil manfaat barang gadai, dan pemanfaatan hanyalah hak penggadai, dengan
dalil sabda Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَهُ غُنْمُهُ وَعَلَيْهِ غَرَمُهُ
“Dia yang
berhak memanfaatkannya dan wajib baginya menanggung biaya pemeliharaannya.” (Hr. Ad-Daruquthni dan al-Hakim)
Tidak ada ulama yang mengamalkan hadits pemanfaatan kendaraan dan
hewan perah sesuai nafkahnya kecuali Ahmad, dan inilah pendapat yang rajih
-insya Allah- karena dalil hadits shahih tersebut. Ibnul Qayyim memberikan
komentar atas hadits pemanfaatan kendaraan gadai dengan pernyataan, “Hadits ini
serta kaidah dan ushul syariat menunjukkan bahwa hewan gadai dihormati karena
hak Allah. Pemiliknya memiliki hak kepemilikan dan murtahin (yang memberikan
utang) memiliki hak jaminan padanya.
Bila barang gadai tersebut berada di tangan murtahin lalu dia tidak
ditunggangi dan tidak diperas susunya, maka tentu akan hilanglah kemanfaatannya
secara sia-sia. Sehingga, berdasarkan tuntutan keadilan, analogi (qiyas), serta
untuk kemaslahatan penggadai, pemegang barang gadai (murtahin), dan hewan
tersebut, maka murtahin mengambil manfaat, yaitu mengendarai dan memeras
susunya, serta dan menggantikan semua manfaat itu dengan cara menafkahi (hewan
tersebut).
Bila murtahin menyempurnakan pemanfaatannya dan menggantinya dengan
nafkah, maka dalam hal ini ada kompromi dua kemaslahatan dan dua hak.”
Ketiga, pertumbuhan barang gadai.
Pertumbuhan atau pertambahan barang gadai setelah dia digadaikan,
adakalanya bergabung dan adakalanya terpisah. Bila tergabung, seperti
(bertambah) gemuk, maka ia termasuk dalam barang gadai, dengan kesepakatan
ulama. Adapun bila dia terpisah, maka terjadi perbedaan pendapat ulama dalam
hal ini.
Abu hanifah dan Imam Ahmad, serta yang menyepakatinya, berpandangan
bahwa pertambahan atau pertumbuhan barang gadai yang terjadi setelah barang
gadai berada di tangan murtahin akan diikut sertakan kepada barang gadai
tersebut.
Sedangkan Imam Syafi’i dan Ibnu Hazm, serta yang menyepakatinya,
berpandangan bahwa hal pertambahan atau pertumbuhan barang gadai tidak ikut
serta bersama barang gadai, namun menjadi milik orang yang menggadaikannya.
Hanya saja, Ibnu hazm berbeda pendapat dengan Syafi’i dalam hal kendaraan dan
hewan menyusui, karena Ibnu Hazm berpendapat bahwa dalam kendaraan dan hewan
yang menyusui, (pertambahan dan pertumbuhannya) menjadi milik orang yang
menafkahinya.
Keempat, perpindahan kepemilikan
dan pelunasan utang dengan barang gadai.
Barang gadai tidak berpindah kepemilikannya kepada murtahin apabila
telah selesai masa perjanjiannya, kecuali dengan izin orang yang
menggadaikannya (rahin) dan dia tidak mampu melunasi utangnya.
Pada zaman jahiliyah dahulu, apabila pembayaran utang telah jatuh
tempo, sedangkan orang yang menggadaikan belum melunasi utangnya, maka pihak
yang memberi pinjaman uang akan menyita barang gadai tersebut secara langsung
tanpa izin orang yang menggadaikannya (si peminjam uang).
Kemudian, Islam membatalkan cara yang zalim ini dan menjelaskan
bahwa barang gadai tersebut adalah amanat pemiliknya yang berada di tangan
pihak yang memberi pinjaman. Karenanya, pihak pemberi pinjaman tidak boleh
memaksa orang yang menggadaikan barang tersebut untuk menjualnya, kecuali si
peminjam tidak mampu melunasi utangnya tersebut.
Bila dia tidak mampu melunasi utangnya saat jatuh tempo, maka barang
gadai tersebut dijual untuk membayar pelunasan utang tersebut. Apabila ternyata
hasil penjualan tersebut masih ada sisanya, maka sisa penjualan tersebut
menjadi milik pemilik barang gadai (orang yang menggadaikan barang tersebut).
Bila hasil penjualan barang gadai tersebut belum dapat melunasi utangnya, maka
orang yang menggadaikannya tersebut masih menanggung sisa utangnya. [29]
Demikianlah, barang gadai adalah milik orang yang menggadaikannya.
Namun bila pembayaran utang telah jatuh tempo, maka penggadai
meminta kepada murtahin (pemilik piutang) untuk menyelesaikan permasalahan
utangnya, karena itu adalah utang yang sudah jatuh tempo maka harus dilunasi
seperti utang tanpa gadai.
Bila ia dapat melunasi seluruhnya tanpa (menjual atau memindahkan
kepemilikian) barang gadainya, maka murtahin melepas barang tersebut. Bila ia
tidak mampu melunasi seluruhnya atau sebagiannya, maka wajib bagi orang yang
menggadaikan (rahin) untuk menjual sendiri barang gadainya atau melalui
wakilnya dengan izin dari murtahin, dan murtahin didahulukan atas pemilik
piutang lainnya dalam pembayaran utang tersebut.
Apabila penggadai tersebut enggan melunasi utangnya dan menjual
barang gadainya, maka pemerintah boleh menghukumnya dengan penjara agar ia
menjual barang gadainya tersebut. Dan apabila dia tidak juga menjualnya, maka
pemerintah menjual barang gadai tersebut dan melunasi utang tersebut dari nilai
hasil jualnya. Inilah pendapat Mazhab Syafi’iyah dan Hambaliyah.
Malikiyah berpandangan bahwa pemerintah boleh menjual barang
gadainya tanpa memenjarakannya, serta boleh melunasi utang tersebut dengan hasil
penjualannya. Sedangkan Hanafiyah berpandangan bahwa murtahin boleh menagih
pelunasan utang kepada penggadai, serta meminta pemerintah untuk
memenjarakannya bila dia tampak tidak mau melunasinya. Pemerintah (pengadilan)
tidak boleh menjual barang gadainya. Pemerintah hanya boleh memenjarakannya
saja, sampai ia menjual barang gadainya, dalam rangka meniadakan kezaliman.
Yang rajih, pemerintah menjual barang gadainya dan melunasi utangnya
dengan hasil penjualan tersebut tanpa memenjarakan si penggadai, karena
tujuannya adalah membayar utang dan itu telah terealisasikan dengan penjualan
barang gadai. Selain itu, juga akan timbul dampak sosial yang negatif di
masyarakat jika si penggadai (yang merupakan pihak peminjam uang) dipenjarakan.
Apabila barang gadai tersebut dapat menutupi seluruh utangnya maka
selesailah utang tersebut, dan bila tidak dapat menutupinya maka penggadai
tersebut tetap memiliki utang, yang merupakan selisih antara nilai barang
gadainya yang telah dijual dan nilai utangnya. Dia wajib melunasi sisa utang
tersebut.
Demikianlah keindahan Islam dalam permasalah gadai, tidak seperti
realita yang banyak berlaku, yaitu pemilik piutang menyita barang gadai yang
ada padanya, walaupun nilainya lebih besar dari utang si pemilik barang gadai,
bahkan mungkin berlipat-lipat. Ini jelas merupakan perbuatan jahiliyah dan
sebuah bentuk kezaliman yang harus dihilangkan.
Hikmah Pensyariatannya
Dalam sebuah hadits dari Umar Bin
Khattab, R.A. dia berkata: nabi SAW bersabda “ sesungguhnya diantara para hamba Allah ada beberapa
manusia, mereka bukan para Nabi, bukan pula para syuhada’, di hari kiamat kelak
merasa iri kepada mereka, sebab kedudukan mereka yang dianugerahkan Allah
ta’ala” Para sahabat bertanya “Wahai Rasulullah, beritahukanlah kami, siapakah
mereka itu? “ Beliau bersabda “ Mereka adalah suatu kaum yang saling cinta
mencintai karena Allah. Bukan karena ikatan family antara mereka, dan bukan
pula karena harta yang mereka berikan berbalas balasan. Demi Allah, wajah-
wajah mereka adalah Nur. Dan mereka benar- benar berada diatas Nur. Mereka
tidak merasa ketakutan, dan mereka tidak merasa ketakutan dan mereka tidak
merasa susah. Sewaktu manusia merasa susah.” Selajutnya Beliau membaca ayat:
“Ketahuilah, bahwa para wali Allah, tak ada ketakutan atas mereka, dan mereka
tidak merasa susah.”(surah 10: 62).
Keadaan setiap orang berbeda, ada
yang kaya dan ada yang miskin, padahal harta sangat dicintai setiap jiwa. Lalu,
terkadang di suatu waktu, seseorang sangat membutuhkan uang untuk menutupi
kebutuhan-kebutuhannya yang mendesak. Namun dalam keadaan itu, dia pun tidak
mendapatkan orang yang bersedekah kepadanya atau yang meminjamkan uang
kapadanya, juga tidak ada penjamin yang menjaminnya.
Hingga ia mendatangi orang lain
untuk membeli barang yang dibutuhkannya dengan cara berutang, sebagaimana yang
disepakati kedua belah pihak. Bisa jadi pula, dia meminjam darinya, dengan
ketentuan, dia memberikan barang gadai sebagai jaminan yang disimpan pada pihak
pemberi utang hingga ia melunasi utangnya.Oleh karena itu, Allah mensyariatkan
ar-rahn (gadai) untuk kemaslahatan orang yang menggadaikan (rahin), pemberi
utangan (murtahin), dan masyarakat.
Untuk rahin, ia mendapatkan
keuntungan berupa dapat menutupi kebutuhannya. Ini tentunya bisa
menyelamatkannya dari krisis, menghilangkan kegundahan di hatinya, serta
terkadang ia bisa berdagang dengan modal tersebut, yang dengan itu menjadi
sebab ia menjadi kaya.
Adapun murtahin (pihak pemberi
utang), dia akan menjadi tenang serta merasa aman atas haknya, dan dia pun
mendapatkan keuntungan syar’i. Bila ia berniat baik, maka dia mendapatkan
pahala dari Allah.
Adapun kemaslahatan yang kembali kepada masyarakat, yaitu memperluas
interaksi perdagangan dan saling memberikan kecintaan dan kasih sayang di
antara manusia, karena ini termasuk tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa.
Terdapat manfaat yang menjadi solusi dalam krisis, memperkecil permusuhan, dan
melapangkan penguasa.
KESIMPULAN
Dengan pembahasan di atas dapat
disimpulkan bahwa praktek gadai sudah terjadi sejak zaman Rasulullah, yaitu
ketika beliau menggadaikan baju besinya kepada orang yahudi. Oleh karena itu
gadai dibolehkan. Adapun beberapa pendapat ulama mengenai gadai, seperti Imam
Syafi’I, Ahmad bin Hambal, Abu Tsawr, Tirmidzi, Abu Daud yang menjelaskan gadai
dengan pemikiran mereka masing- masing.
Pada dasarnya gadai merupakan akad
tabaruk, yaitu akad tolong menolong. Dimana setiap manusia haruslah saling
tolong menolong. Disini manusia menyadari bahwa mereka tidak bisa hidup sendiri
di dunia ini. Dengan perbedaan yang ada manusia bisa mempelajari dan memahami
berbagai lika liku kehidupan. Bahwa dengan adanya perbedaan tercipta sesuatu
yang indah didalamnya.
[4]
Muhammad Isa bin Surah At-Tirmidzi, Terjemhan Sunan Tirmidzi, juz 2
“Terj.”Muh. Zuhri (Semarang,Asy-Syifa:1992) hal. 611.
[5]
Sunan Abi Daud, Terjemahan Sunan Abi Daud, Buku 4 “Terj.”Bey Arifin,
dkk. (Semarang, Asy-Syifa: tt) hlm. 118-119.
[6]
Syayid Tsabiq, Fiqh Sunnah 12, alih bahasa kamaludin A, (Kuala lumpur,
Victory Agencie:1990), hlm. 145.
[7]
Ibid., hlm. 143.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar