Jumat, 18 Oktober 2013

Rahn

PENDAHULUAN

Islam agama yang lengkap dan sempurna telah meletakkan kaidah-kaidah dasar dan aturan dalam semua sisi kehidupan manusia, baik dalam ibadah maupun muamalah (hubungan antar makhluk). Setiap orang membutuhkan interaksi dengan orang lain untuk saling menutupi kebutuhan dan tolong-menolong di antara mereka.
Karena itulah, kita sangat perlu mengetahui aturan Islam dalam seluruh sisi kehidupan kita sehari-hari, di antaranya tentang interaksi sosial dengan sesama manusia, khususnya berkenaan dengan perpindahan harta dari satu tangan ke tangan yang lain.
Utang-piutang terkadang tidak dapat dihindari, padahal banyak muncul fenomena ketidakpercayaan di antara manusia, khususnya di zaman kiwari ini. Sehingga. orang terdesak untuk meminta jaminan benda atau barang berharga dalam meminjamkan hartanya.
Realita yang ada tidak dapat dipungkiri, suburnya usaha-usaha pegadaian, baik dikelola pemerintah atau swasta menjadi bukti terjadinya kegiatan gadai ini. Ironisnya, banyak kaum muslimin yang belum mengenal aturan indah dan adil dalam Islam mengenai hal ini. Padahal perkara ini bukanlah perkara baru dalam kehidupan mereka, sudah sejak lama mereka mengenal jenis transaksi seperti ini. Sebagai akibatnya, terjadi kezaliman dan saling memakan harta saudaranya dengan batil.


  
PEMBAHASAN
           
Hadits Ar Rahn (Gadai)
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اشْتَرَى طَعَامًا مِنْ يَهُودِيٍّ إِلَى أَجَلٍ وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيدٍ
“Sesungguhnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli bahan makanan dari seorang yahudi dengan cara berutang, dan beliau menggadaikan baju besinya.” (Hr. Al-Bukhari no. 2513 dan Muslim no. 1603).[1]
نْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ مَشَى إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِخُبْزِ شَعِيرٍ وَإِهَالَةٍ سَنِخَةٍ وَلَقَدْ رَهَن دِرْعًا لَهُ عِنْدَ يَهُودِيٍّ بِالْمَدِينَةِ وَأَخَذَ مِنْهُ شَعِيرًا لِأَهْلِهِ
 “Anas Ibn Malik suatu saat mendatangi Rasulullah dengan membawa roti gandum dan sungguh Rasulullah SAW telah menangguhkan baju besi kepada orang Yahudi di Madinah ketika beliau  mengambil (meminjam) gandum dari orang Yahudi tersebut untuk keluarga Nabi.”[2]
ﺍﻠﺭﻫﻥﹸﻴﺭﻜﺏﹸﺒﻨﻔﻘﺘﻪﹺﺇﺫﹶﺍﻜﺎﻥﹶﻤﺭﻫﻭﻨﺎﹰﻭﻟﺒﻥﹸﺍﻟﺩﱠﺭﱢﻴﺸﺭﺏﹸﺒﻨﻔﻘﺘﻪﹺﺇﺫﺍﻜﺎﻥﹶﻤﺭﻫﻭﻨﺎﹰﻭﻋﺎﻰﺍﻠﺫﻱ ﻴﺭﻜﺏﹸﻭﻴﺸﺭﺏﹸﺍﻠﻨﻔﻘﺔﹸ
“Binatang tunggangan boleh ditunggangi sebagai imbalan atas nafkahnya (makanannya) bila sedang digadaikan, dan susu binatang yang diperah boleh diminum sebagai imbalan atas makanannya bila sedang digadaikan. Orang yang menunggangi dan meminum susu berkewajiban untuk memberi makanan.”(Hr. Bukhori, no.2512).[3]
ﺤﺩﹲﺜﻨﺎﹶﺍﺒﻭﻜﺭﹶﻴﺏﹴﻭﻴﻭﺴﻑﹸﺒﻥﹸﻋﻴﺱﹶﻗﺎﻝ:ﺤﺩﹲﺜﻨﺎﻭﻜﻴﻊﹼﻋﻥﹾﺯﹶﻜﺭﻴﺎﹲ‚ﻋﻥﹾﻋﺎﻤﺭﹴ‚ﻋﻥﹾﺍﺒﻰﻫﺭﻴﺭﺓ‚ﻗﺎﻝﹶﺭﺴﻭﻝﹸﺍﻠﻠﻪﹺﺼﻠﻰﺍﻠﻠﻪﹸﻋﻠﻴﻪﹺﻭﺴﻠﻡﹶﺍﻠﻅﻬﺭﹸﻴﺭﹾﻜﺏﺇﺫﹶﺍﻜﺎﻥﹶﻤﺭﻫﻭﻨﺎﹰﻭﻟﺒﻥﹸﺍﻟﺩﱠﺭﱢﺇﺫﺍﻜﺎﻥﹶﻤﺭﻫﻭﻨﺎﹰﻭﻋﺎﻰﺍﻠﺫﻱ ﻴﺭﻜﺏﹸﻭﻴﺸﺭﺏﹸ ﻨﻔﻘﺔﹸ
            “Abu Kuraib bin Yusuf bin Isa menceritakan kepada kami, mereka berkata: Wakkie’ menceritakan kepada kami dari Zakaria dari Amir dari Abu Hurairah berkata:Rasulullah SAW bersabda: Punggung hewan yang digadaikan boleh dinaiki dan susu yang ada di teteknya boleh diminum kalau hewan itu digadaikan. Dan bagi orang yang menaikinya dan meminum susunya wajib memberi nafkahnya.[4]
ﻋﻥﹾﺍﺒﻥﹺﻫﺭﻴﺭﺓ‚ﻋﻥﹺﺍﻠﻨﺒﻲﹺﺼﻠﻰﺍﻠﻠﻪﹸﻋﻠﻴﻪﹺﻭﺴﻠﻡ‚ﻗﺎﻝ:ﻠﺒﻥﺍﻠﺩﱠﺭﱢﻴﺤﻠﺏﺒﻨﻔﻘﺘﻪﹺ‚ﺍﺫﺍﻜﺎﻥﹶﻤﺭﹾﻫﻭﻨﺎ‚ﻭﺍﻠﻅﻬﺭﹸﺒﻥﻜﺒﻰ ﺒﻨﻔﻘﺘﻪﹺ‚ﺍﺫﺍﻜﺎﻥﹶﻤﺭﻫﻭﻨﺎﻭﻋﻠﻰﺍﻠﺫﻱﻴﺭﻜﺏﹸﻭﻴﺤﻠﺏﺍﻠﻨﻔﻘﺔﹶ.
          “Artinya: dari Abu Hurairah R.A dari Nabi SAW, Beliau bersabda: susu hewan perah, diperah sebab nafkahnya apabila digadaikan. Binatang kendaraan juga dikendarai sebab nafkahnya apabila digadaikan dan terhadap yang mengendarai dan memerahnya, wajib memberi nafkahnya.[5]
ﻻﹶﻴﻐﻠﻕﹸﺍﻠﺭﻫﻥﹶﻤﻥﺼﺎﹶﺤﺒﻪﹺﺍﻠﺫﻯﺭﻫﻨﻪﻠﻪﻏﻨﻤﻪﻭﻋﻠﻴﻪﹺﻏﺭﻤﻪ
“ Janganlah ia (pemegang gadaian) menutup hak gadaian dari pemiliknya (rahin) yang menggadaikan. Ia berhak memperoleh bagiannya. Dan dia berkewajiban membayar gharamahnya.”[6]
ﻠﻪﹸﻏﻨﻤﻪﹸﻭﻋﻠﻴﻪﻏﺭﻤﻪﹸ
“ Dia yang berhak memanfaatkannya dan wajib baginya menanggung biaya pemeliharaannya.” (Hr. Ad-Daruquthni dan al-Hakim).[7]

Penjelasannya
Tujuh hadits di atas secara jelas menggambarkan fakta sejarah bahwa pada zaman Rasulullah SAW gadai telah dipraktekkan secara luas. Hadits pertama dan kedua menegaskan Rasulullah SAW pernah melakukan hutang piutang dengan orang Yahudi untuk sebuah makanan. Kemudian beliau menggadaikan (menjaminkan) baju besinya sebagai penguat kepercayaan transaksi tersebut.
Sedangkat hadits ketiga, keempat, dan kelima Rasulullah SAW telah menegaskan akan hak dan kewajiban bagi pihak- pihak yang melakukan akad gadai. Murtahin dapat memanfaatkan kendaraan yang digadaikan kepadanya, selama ia mau merawatnya. Hal- hal tersebut merupakan landasan hadits yang cukup kuat bahwa gadai adalah sesuatu yang dianggap syah.
Hadits kelima diriwayatkan oleh Bukhori, Tirmidzi, dan Ibnu Majah. Pada intinya pegadaian itu boleh dan barang yang digadaikan harus tetap dirawat. Ada 3 pendapat mengenai hadits di atas:. pertama, Ahmad Bin Hambal berpendapat bahwa piutang boleh memanfaatkan barang dan pemanfaatannya sesuai dengan nafkah yang diperlukan. Kedua, Abu Tsawr berpendapat barang boleh dipegang oleh orang yang menggadaikan. Boleh tetap diambil manfaat selama diberi nafkah. Ketiga, Syafi’I berpendapat bahwa masing- masing pihak tidak boleh mengambil manfaat sebab hanya sebagai barang kepercayaan tetapi orang yang merawat adalah si penggadai.
Pada hadits keenam adalah tentang himbauan untuk tidak menutup hak gadaian terhadap penyitaan barang gadaian. Hadits ini diriwayatkan oleh Asy Syafi’I, Al- Atsram dan darulquthni serta ia mengatakan “Sanadnya hasan muttashil. Ibnu hajar dalam bulughul maram mengatakan “Para perawinya tsiqat. Sesungguhnya (data) yang tersimpan pada Abu Daud dan lainnya, hadits mursal.
Dan pada hadits ketujuh tentang perolehan pemanfaatan barang gadaian. Dalam hal ini ada beberapa pendapat, Asy-Syafi’I berkata “Tak sesuatupun  dari yang demikian itu termasuk dalam barang gadaian”. Dan Imam Malih berkata: Tidak masuk kecuali anak binatang dan anak pohon kurma. Barang gadaian adalah amanat yang ada ditanggung pemegang gadaian, ia tidak berkewajiban meminta ganti kecuali jika melewati batas (kebiasaan), demikian menurut Ahmad dan Asy-Syafi’i.
Dengan adanya beberapa pendapat dari para ulama di atas, dapat diartikan bahwa Gadai (rahn) sendiri secara bahasa artinya tetap dan lestari, seperti juga dinamai Al-Habsu, artinya penahanan. Adapun definisi rahn dalam istilah syariat, dijelaskan para ulama dengan ungkapan, “Menjadikan harta benda sebagai jaminan utang, agar utang bisa dilunasi dengan jaminan tersebut, ketika si peminjam tidak mampu melunasi utangnya.”
“Atau harta benda yang dijadikan jaminan utang untuk melunasi (utang tersebut) dari nilai barang jaminan tersebut, apabila si peminjam tidak mampu melunasi utangnya.”
“Memberikan harta sebagai jaminan utang agar digunakan sebagai pelunasan utang dengan harta atau nilai harta tersebut, bila pihak berutang tidak mampu melunasinya.”
Adapun beberapa rukun dan syarat dalam melakukan gadai. Rukun ar-Rahn (Gadai), Mayoritas ulama memandang bahwa rukun ar-rahn (gadai) ada empat, yaitu: Ar-rahn atau al-marhun (barang yang digadaikan), Al-marhun bih (utang), Aqidain, dua pihak yang bertransaksi, yaitu rahin (orang yang menggadaikan) dan  murtahin (pemberi utang), Shigat Ijab Qabul.
Sedangkan Mazhab Hanafiyah memandang ar-rahn (gadai) hanya memiliki satu rukun yaitu shighah, karena pada hakikatnya dia adalah transaksi.
Agar terpenuhinya rukun, maka diperlukan syarat dalam pemenuhannya, yaitu: Syarat yang berhubungan dengan transaktor (orang yang bertransaksi), yaitu orang yang menggadaikan barangnya adalah orang yang memiliki kompetensi beraktivitas, yaitu baligh, berakal, dan rusyd (memiliki kemampuan mengatur). Syarat yang berhubungan dengan al-marhun (barang gadai).
·     Barang gadai itu berupa barang berharga yang dapat menutupi utangnya, baik barang atau nilainya ketika si peminjam tidak mampu melunasi utangnya.
·     Barang gadai tersebut adalah milik orang yang manggadaikannya atau yang diizinkan baginya untuk menjadikannya sebagai jaminan gadai.
·     Barang gadai tersebut harus diketahui ukuran, jenis, dan sifatnya, karena ar-rahn adalah transaksi atau harta sehingga disyaratkan hal ini.
Syarat yang berhubungan dengan al-marhun bih (utang) adalah utang yang wajib atau yang akhirnya menjadi wajib.
·       Hak yang wajib dikembalikan kepada kreditor
·       Utang bias dilunasi dengan agunan tersebut.
·       Utang jelas dan tertentu.
Syarat yang terkait dengan shighat ijab qabul; ucapan serah terima disyaratkan; harus ada kesinambungan antara ucapan penyerahan (ijab) dan ucapan penerimaan. Apa yang diucapkan oleh kedua belah pihak tidak boleh ada jeda dari transaksi lain.


Hukum-hukum Setelah Serah Terima
Ada beberapa ketentuan dalam gadai setelah terjadinya serah-terima yang berhubungan dengan pembiayaan (pemeliharaan), pertumbuhan barang gadai, pemanfaatan, serta jaminan pertanggungjawaban bila barang gadai rusak atau hilang, di antaranya:
Pertama, pemegang barang gadai.
Barang gadai tersebut berada ditangan murtahin selama masa perjanjian gadai tersebut, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الظَّهْرُ يُرْكَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ نَفَقَتُهُ
“Binatang tunggangan boleh ditunggangi sebagai imbalan atas nafkahnya (makanannya) bila sedang digadaikan, dan susu binatang yang diperah boleh diminum sebagai imbalan atas makanannya bila sedang digadaikan. Orang yang menunggangi dan meminum susu berkewajiban untuk memberikan makanan.” (Hr. TIrmidzi; hadits shahih)
Kedua, pembiayaan pemeliharaan dan pemanfaatan barang gadai.
Pada asalnya barang, biaya pemeliharaan dan manfaat barang yang digadaikan adalah milik orang yang menggadaikan (rahin), dan murtahin tidak boleh mengambil manfaat barang gadaian tersebut kecuali bila barang tersebut berupa kendaraan atau hewan yang diambil air susunya, maka murtahin boleh menggunakan dan mengambil air susunya apabila ia memberikan nafkah (dalam pemeliharaan barang tersebut).
Tentunya, pemanfaatannya sesuai dengan besarnya nafkah yang dikeluarkan dan memperhatikan keadilan. Hal ini di dasarkan pada sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الظَّهْرُ يُرْكَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ نَفَقَتُهُ
“Binatang tunggangan boleh ditunggangi sebagai imbalan atas nafkahnya (makanannya) bila sedang digadaikan, dan susu binatang yang diperah boleh diminum sebagai imbalan atas makanannya bila sedang digadaikan. Orang yang menunggangi dan meminum susu berkewajiban untuk memberikan makanan.” (Hr. TIrmidzi; hadits shahih).
Syekh al-Basam menyatakan, “Menurut kesepakatan ulama, biaya pemeliharaan barang gadai dibebankan kepada pemiliknya.”
Demikian juga, pertumbuhan dan keuntungan barang tersebut juga miliknya, kecuali dua pengecualian ini (yaitu kendaraan dan hewan yang memiliki air susu yang diperas, pen). 
Penulis kitab al-Fiqh al-Muyassar menyatakan, “Manfaat dan pertumbuhan barang gadai adalah hak pihak penggadai, karena itu adalah miliknya. Orang lain tidak boleh mengambilnya tanpa seizinnya. Bila ia mengizinkan murtahin (pemberi utang) untuk mengambil manfaat barang gadainya tanpa imbalan dan utang gadainya dihasilkan dari peminjaman, maka yang demikian itu tidak boleh dilakukan, karena itu adalah peminjaman utang yang menghasilkan manfaat.
Adapun bila barang gadainya berupa kendaraan atau hewan yang memiliki susu perah, maka murtahin diperbolehkan untuk mengendarainya dan memeras susunya sesuai besarnya nafkah yang dia berikan kepada barang gadai tersebut, tanpa izin dari penggadai, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الرَّهْنُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ
“Binatang tunggangan boleh ditunggangi sebagai imbalan atas nafkahnya (makanannya) bila sedang digadaikan, dan susu binatang yang diperah boleh diminum sebagai imbalan atas makanannya bila sedang digadaikan. Orang yang menunggangi dan meminum susu berkewajiban untuk memberikan makanan.” (Hr. Al-Bukhari, no. 2512).
Ini adalah pendapat Mazhab Hanabilah. Adapun mayoritas ulama fikih dari Mazhab Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafi’iyah berpandangan tentang tidak bolehnya murtahin mengambil manfaat barang gadai, dan pemanfaatan hanyalah hak penggadai, dengan dalil sabda Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَهُ غُنْمُهُ وَعَلَيْهِ غَرَمُهُ
“Dia yang berhak memanfaatkannya dan wajib baginya menanggung biaya pemeliharaannya.” (Hr. Ad-Daruquthni dan al-Hakim)
Tidak ada ulama yang mengamalkan hadits pemanfaatan kendaraan dan hewan perah sesuai nafkahnya kecuali Ahmad, dan inilah pendapat yang rajih -insya Allah- karena dalil hadits shahih tersebut. Ibnul Qayyim memberikan komentar atas hadits pemanfaatan kendaraan gadai dengan pernyataan, “Hadits ini serta kaidah dan ushul syariat menunjukkan bahwa hewan gadai dihormati karena hak Allah. Pemiliknya memiliki hak kepemilikan dan murtahin (yang memberikan utang) memiliki hak jaminan padanya.
Bila barang gadai tersebut berada di tangan murtahin lalu dia tidak ditunggangi dan tidak diperas susunya, maka tentu akan hilanglah kemanfaatannya secara sia-sia. Sehingga, berdasarkan tuntutan keadilan, analogi (qiyas), serta untuk kemaslahatan penggadai, pemegang barang gadai (murtahin), dan hewan tersebut, maka murtahin mengambil manfaat, yaitu mengendarai dan memeras susunya, serta dan menggantikan semua manfaat itu dengan cara menafkahi (hewan tersebut).
Bila murtahin menyempurnakan pemanfaatannya dan menggantinya dengan nafkah, maka dalam hal ini ada kompromi dua kemaslahatan dan dua hak.”
Ketiga, pertumbuhan barang gadai.
Pertumbuhan atau pertambahan barang gadai setelah dia digadaikan, adakalanya bergabung dan adakalanya terpisah. Bila tergabung, seperti (bertambah) gemuk, maka ia termasuk dalam barang gadai, dengan kesepakatan ulama. Adapun bila dia terpisah, maka terjadi perbedaan pendapat ulama dalam hal ini.
Abu hanifah dan Imam Ahmad, serta yang menyepakatinya, berpandangan bahwa pertambahan atau pertumbuhan barang gadai yang terjadi setelah barang gadai berada di tangan murtahin akan diikut sertakan kepada barang gadai tersebut.
Sedangkan Imam Syafi’i dan Ibnu Hazm, serta yang menyepakatinya, berpandangan bahwa hal pertambahan atau pertumbuhan barang gadai tidak ikut serta bersama barang gadai, namun menjadi milik orang yang menggadaikannya. Hanya saja, Ibnu hazm berbeda pendapat dengan Syafi’i dalam hal kendaraan dan hewan menyusui, karena Ibnu Hazm berpendapat bahwa dalam kendaraan dan hewan yang menyusui, (pertambahan dan pertumbuhannya) menjadi milik orang yang menafkahinya.
Keempat, perpindahan kepemilikan dan pelunasan utang dengan barang gadai.
Barang gadai tidak berpindah kepemilikannya kepada murtahin apabila telah selesai masa perjanjiannya, kecuali dengan izin orang yang menggadaikannya (rahin) dan dia tidak mampu melunasi utangnya.
Pada zaman jahiliyah dahulu, apabila pembayaran utang telah jatuh tempo, sedangkan orang yang menggadaikan belum melunasi utangnya, maka pihak yang memberi pinjaman uang akan menyita barang gadai tersebut secara langsung tanpa izin orang yang menggadaikannya (si peminjam uang).
Kemudian, Islam membatalkan cara yang zalim ini dan menjelaskan bahwa barang gadai tersebut adalah amanat pemiliknya yang berada di tangan pihak yang memberi pinjaman. Karenanya, pihak pemberi pinjaman tidak boleh memaksa orang yang menggadaikan barang tersebut untuk menjualnya, kecuali si peminjam tidak mampu melunasi utangnya tersebut.
Bila dia tidak mampu melunasi utangnya saat jatuh tempo, maka barang gadai tersebut dijual untuk membayar pelunasan utang tersebut. Apabila ternyata hasil penjualan tersebut masih ada sisanya, maka sisa penjualan tersebut menjadi milik pemilik barang gadai (orang yang menggadaikan barang tersebut). Bila hasil penjualan barang gadai tersebut belum dapat melunasi utangnya, maka orang yang menggadaikannya tersebut masih menanggung sisa utangnya. [29]
Demikianlah, barang gadai adalah milik orang yang menggadaikannya. Namun bila pembayaran utang telah jatuh tempo, maka  penggadai  meminta kepada murtahin (pemilik piutang) untuk menyelesaikan permasalahan utangnya, karena itu adalah utang yang sudah jatuh tempo maka harus dilunasi seperti utang tanpa gadai.
Bila ia dapat melunasi seluruhnya tanpa (menjual atau memindahkan kepemilikian) barang gadainya, maka murtahin melepas barang tersebut. Bila ia tidak mampu melunasi seluruhnya atau sebagiannya, maka wajib bagi orang yang menggadaikan (rahin) untuk menjual sendiri barang gadainya atau melalui wakilnya dengan izin dari murtahin, dan murtahin didahulukan atas pemilik piutang lainnya dalam pembayaran utang tersebut.
Apabila penggadai tersebut enggan melunasi utangnya dan menjual barang gadainya, maka pemerintah boleh menghukumnya dengan penjara agar ia menjual barang gadainya tersebut. Dan apabila dia tidak juga menjualnya, maka pemerintah menjual barang gadai tersebut dan melunasi utang tersebut dari nilai hasil jualnya. Inilah pendapat Mazhab Syafi’iyah dan Hambaliyah.
Malikiyah berpandangan bahwa pemerintah boleh menjual barang gadainya tanpa memenjarakannya, serta boleh melunasi utang tersebut dengan hasil penjualannya. Sedangkan Hanafiyah berpandangan bahwa murtahin boleh menagih pelunasan utang kepada penggadai, serta meminta pemerintah untuk memenjarakannya bila dia tampak tidak mau melunasinya. Pemerintah (pengadilan) tidak boleh menjual barang gadainya. Pemerintah hanya boleh memenjarakannya saja, sampai ia menjual barang gadainya, dalam rangka meniadakan kezaliman.
Yang rajih, pemerintah menjual barang gadainya dan melunasi utangnya dengan hasil penjualan tersebut tanpa memenjarakan si penggadai, karena tujuannya adalah membayar utang dan itu telah terealisasikan dengan penjualan barang gadai. Selain itu, juga akan timbul dampak sosial yang negatif di masyarakat jika si penggadai (yang merupakan pihak peminjam uang) dipenjarakan.
Apabila barang gadai tersebut dapat menutupi seluruh utangnya maka selesailah utang tersebut, dan bila tidak dapat menutupinya maka penggadai tersebut tetap memiliki utang, yang merupakan selisih antara nilai barang  gadainya yang telah dijual dan nilai utangnya. Dia wajib melunasi sisa utang tersebut.
Demikianlah keindahan Islam dalam permasalah gadai, tidak seperti realita yang banyak berlaku, yaitu pemilik piutang menyita barang gadai yang ada padanya, walaupun nilainya lebih besar dari utang si pemilik barang gadai, bahkan mungkin berlipat-lipat. Ini jelas merupakan perbuatan jahiliyah dan sebuah bentuk kezaliman yang harus dihilangkan.
Hikmah Pensyariatannya
Dalam sebuah hadits dari Umar Bin Khattab, R.A. dia berkata: nabi SAW bersabda “ sesungguhnya  diantara para hamba Allah ada beberapa manusia, mereka bukan para Nabi, bukan pula para syuhada’, di hari kiamat kelak merasa iri kepada mereka, sebab kedudukan mereka yang dianugerahkan Allah ta’ala” Para sahabat bertanya “Wahai Rasulullah, beritahukanlah kami, siapakah mereka itu? “ Beliau bersabda “ Mereka adalah suatu kaum yang saling cinta mencintai karena Allah. Bukan karena ikatan family antara mereka, dan bukan pula karena harta yang mereka berikan berbalas balasan. Demi Allah, wajah- wajah mereka adalah Nur. Dan mereka benar- benar berada diatas Nur. Mereka tidak merasa ketakutan, dan mereka tidak merasa ketakutan dan mereka tidak merasa susah. Sewaktu manusia merasa susah.” Selajutnya Beliau membaca ayat: “Ketahuilah, bahwa para wali Allah, tak ada ketakutan atas mereka, dan mereka tidak merasa susah.”(surah 10: 62).   
Keadaan setiap orang berbeda, ada yang kaya dan ada yang miskin, padahal harta sangat dicintai setiap jiwa. Lalu, terkadang di suatu waktu, seseorang sangat membutuhkan uang untuk menutupi kebutuhan-kebutuhannya yang mendesak. Namun dalam keadaan itu, dia pun tidak mendapatkan orang yang bersedekah kepadanya atau yang meminjamkan uang kapadanya, juga tidak ada penjamin yang menjaminnya.
Hingga ia mendatangi orang lain untuk membeli barang yang dibutuhkannya dengan cara berutang, sebagaimana yang disepakati kedua belah pihak. Bisa jadi pula, dia meminjam darinya, dengan ketentuan, dia memberikan barang gadai sebagai jaminan yang disimpan pada pihak pemberi utang hingga ia melunasi utangnya.Oleh karena itu, Allah mensyariatkan ar-rahn (gadai) untuk kemaslahatan orang yang menggadaikan (rahin), pemberi utangan (murtahin), dan masyarakat.
Untuk rahin, ia mendapatkan keuntungan berupa dapat menutupi kebutuhannya. Ini tentunya bisa menyelamatkannya dari krisis, menghilangkan kegundahan di hatinya, serta terkadang ia bisa berdagang dengan modal tersebut, yang dengan itu menjadi sebab ia menjadi kaya.
Adapun murtahin (pihak pemberi utang), dia akan menjadi tenang serta merasa aman atas haknya, dan dia pun mendapatkan keuntungan syar’i. Bila ia berniat baik, maka dia mendapatkan pahala dari Allah.
Adapun kemaslahatan yang kembali kepada masyarakat, yaitu memperluas interaksi perdagangan dan saling memberikan kecintaan dan kasih sayang di antara manusia, karena ini termasuk tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa. Terdapat manfaat yang menjadi solusi dalam krisis, memperkecil permusuhan, dan melapangkan penguasa.


KESIMPULAN

            Dengan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa praktek gadai sudah terjadi sejak zaman Rasulullah, yaitu ketika beliau menggadaikan baju besinya kepada orang yahudi. Oleh karena itu gadai dibolehkan. Adapun beberapa pendapat ulama mengenai gadai, seperti Imam Syafi’I, Ahmad bin Hambal, Abu Tsawr, Tirmidzi, Abu Daud yang menjelaskan gadai dengan pemikiran mereka masing- masing.
            Pada dasarnya gadai merupakan akad tabaruk, yaitu akad tolong menolong. Dimana setiap manusia haruslah saling tolong menolong. Disini manusia menyadari bahwa mereka tidak bisa hidup sendiri di dunia ini. Dengan perbedaan yang ada manusia bisa mempelajari dan memahami berbagai lika liku kehidupan. Bahwa dengan adanya perbedaan tercipta sesuatu yang indah didalamnya.





[1] Lihat di makalah “Gadai Dalam Islam” by www.Google.com

[2] Lihat makalah “Pegadaian Syari’ah” by www.Google.com

[3] Lihat makalah “Gadai Dalam islam” by www.Google.com

[4] Muhammad Isa bin Surah At-Tirmidzi, Terjemhan Sunan Tirmidzi, juz 2 “Terj.”Muh. Zuhri (Semarang,Asy-Syifa:1992) hal. 611.
[5] Sunan Abi Daud, Terjemahan Sunan Abi Daud, Buku 4 “Terj.”Bey Arifin, dkk. (Semarang, Asy-Syifa: tt) hlm. 118-119.
[6] Syayid Tsabiq, Fiqh Sunnah 12, alih bahasa kamaludin A, (Kuala lumpur, Victory Agencie:1990), hlm. 145.
[7] Ibid., hlm. 143.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar