PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Sejarah adalah suatu rujukan saat
kita akan membangun masa depan. Namun, kadang orang malas untuk melihat
sejarah. Sehingga orang cenderung berjalan tanpa tujuan dan mungkin mengulangi
kesalahan yang pernah ada dimasa lalu. Disinilah sejarah berfungsi sebagai
cerminan bahwa dimasa silam telah terjadi sebuah kisah yang patut kita pelajari
untuk merancang masa depan.
Khulafa al-Rasyidun sebagai
sahabat-sahabat yang meneruskan perjuangan Nabi Muhammad kiranya pantas untuk
dijadikan sebagai rujukan saat kita akan melaksanakan sesuatu dimasa depan.
Karena peristiwa yang terjadi sungguh beragam. Dari mulai cara pengaangkatan
sebagai khalifah, sistem pemerintahan, pengelolaan administrasi, hubungan
sosial kemasyaratan dan lain sebagainya.
Dalam memahami sejarah kita dituntut
untuk dapat berpikir kritis. Sebab, sejarah bukanlah sebuah barang mati yang
tidak dapat dirubah. Akan tetapi sejarah bisa saja dirubah kisahnya oleh sang
penulis sejarah. Nalar kritis kita dituntut untuk mampu membaca sejarah dan
membandingkan dengan pendapat lain. Saat kita sudah mampu untuk menyibak tabir
sejarah dari berbagai sumber, barulah kita dapat melakukan rekonstruksi
sejarah.
Rekonstruksi sejarah perlu dilakukan
agar kita dapat memisahkan antara peradaban Arab dan peradaban islam. Sebab,
kita sering memakan mentah-mentah peradaban yang datang dari Arab sebab
semuanya dianggap sebagai peradaban islam. Kita perlu memandang peradaban dari
berbagai aspeknya. Langkah ini agar kita tidak hanya sekedar ”bangga” dan larut
dalam historisisme yang seringkali ”menjebak” pemikiran progressif kita.1
PEMBAHASAN
1.
Politik dan Pemerintahan Pada masa Khulafa’ al-Rayidun
A. Abu Bakar As-Shiddiq 11-13 H/ 632-634 M
Abu bakar penakhluk dan penjaga
semenanjung arab, menjalankan hidup dengan kesederhanaan patriarkhis. Pada masa
enam bulan pertama pemerintahannya yang singkat itu, ia melakukan perjalanan
bolak balik dari al-Sunh (tempat tinggalnya yang sederhana dengan istrinya,
Habibah) kekota Madinah, dan tidak menerima gaji sedikitpun karena Negara saat
itu belum memiliki pemasukan apapun. Semua urusan Negara ia lakukan diserambi
masjid Nabi. Kualitas pribadi dan keyakinannya yang kokoh terhadap Muhammad,
menantunya, yang tiga tahun lebih tua darinya, menjadikannya sebagai figur
paling menarik pada masa awal islam dan membuatnya kondang dengan sebutan
al-siddiq (yang percaya). Ia memiliki watak yang lebih kuat dan dinamis
daripada yang disebutkan dalam berbagai riwayat. Secara fisik ia diriwayatkan
berkulit cerah, berperawakan sedang dan berwajah mungil; ia mengecat janggutnya
dan berjalan membungkuk.
Abu Bakar memangku jabatan khalifah
berdasarkan pilihan yang berlangsung sangat demokratis di muktamar Tsaqifah
Bani Sa’idah, memenuhi tata cara perundingan yang dikenal dunia modern saat
ini. Kaum Anshar menekankan pada persyaratan jasa (merit), mereka
mengajukan calon Sa’ad Ibn Ubadah. Kaum muhajirin menekankan pada persyaratan
kesetiaan, mereka mengajukan Abu Ubaidah Ibn Jarrah.2 Sementara itu Ahlul bait
menginginkan agar Ali Ibn Abi Thalib menjadi khalifah atas dasar kedudukannya
dalam islam, juga sebagai menantu dan karib Nabi. Hampir saja perpecahan
terjadi. Melalui perdebatan dengan beradu argumentasi, akhirnya Abu Bakar
disetujui oleh jama’ah kaum muslimin untuk menduduki jabatan khalifah.
Sebagai khalifah pertama, Abu Bakar
dihadapkan pada keadaan masyarakat sepeninggal Muhammad SAW. Meski terjadi
perbedaan pendapat tentang tindakan yang akan dilakukan dalam menghadapi
kesulitan yang memuncak tersebut, kelihatan kebesaran jiwa dan ketabahan
batinnya. Seraya bersumpah dengan tegas ia menyatakan akan memerangi semua
golongan yang menyimpang dari kebenaran (orang-orang yang murtad, tidak mau
membayar zakat dan mengaku diri sebagai nabi).
Kekuasaan yang dijalankan pada massa
khalifah Abu Bakar, sebagaimana pada masa Rasululllah, bersifat sentral;
kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif terpusat ditangan Khalifah.
Selain menjalankan roda pemerintahan, khalifah juga melaksanakan hukum,.
Meskipun demikian, seperti juga Nabi Muhammad SAW, Abu Bakar selalu mengajak
sahabat-sahabatnya bermusyawarah.
Setelah menyelesaikan urusan perang
dalam negeri, barulah Abu Bakar mengririm kekuatan ke luar Arabia. Khalid Ibn
Walid dikirim ke Irak dan dapat menguasai Al-Hiyah di tahun 634 M. Ke Syria
dikirim ekspedisi dibawah pimpinan empat jendral yaitu Abu Ubaidah, Amr Ibn
’Ash, Yazid Ibn Abi Sufyan, dan Syurahbil. Sebelumnya pasukan dipimpin oleh
Usamah yang masih berusia 18 tahun.
B. Umar Ibn Al-Khaththab 13-23 H/634-644 M
Umar Ibn Al-Khaththab hidupnya
sederhana dan hemat penerusnya yang energik dan berbakat, yang berperawakan
tinggi kuat dan agak botak setelah diangkat menjadi khalifah. Ia tetap mencari
penghidupan dengan cara berdagang dan sepanjang hayatnya menjalani kehidupan
sederhana mirip dengan para kepala suku badui. Ia menjadi idola para penulis
islam karena kesalehan, keadilan, dan kesederhanaan patriarkisnya. Dalam
hidupnya yang sederhana ia hanya memiliki satu helai baju dan satu jubah yang
keduanya penuh tambalan, tidur diatas pelepah kurma dan tidak memiliki
perhatian selain pada kemurnian keimanannya, penegakan keadilan dan keagungan,
serta kebaikan islam dan bangsa arab. Ia diriwayatkan menghukum mati anaknya
sendiri karena mabuk-mabukan dan berperilaku amoral.
Umar Ibn Al-Khaththab diangkat dan
dipilih oleh para pemuka masyarakat dan disetujui oleh jama’ah kaum muslimin.
Pada saat menderita sakit menjelang ajal tiba, Abu Bakar melihat situasi negara
masih labil dan pasukan yang sedang bertempur di medan perang tidak boleh
terpecah belah akibat perbedaan keinginan tentang siapa yang akan menjadi calon
penggantinya, ia memilih Umar Ibn Al-Khaththab. Pilihannya ini sudah dimintakan
pendapat dan persetujuan para pemuka masyarakat pada saat mereka menengok
dirinya sewaktu sakit.
Pada masa kepemimpinan Umar Ibn
Al-Khaththab, wilayah islam sudah meliputi jazirah Arabia, Palestina, Syria,
sebagian besar wilayah Persia, dan Mesir. Karena perluasan daerah terjadi
dengan begitu cepat, Umar Ibn Al-Khaththab segera mengatur administrasi negara
dengan mencontoh administrasi pemerintahan, dengan diatur menjadi delapan
wialayah propinsi : Mekah, Madinah, Syria, Jazirah, Basrah, Kufah, Palestina,
dan Mesir. Beberapa departemen yang dipandang perlu didirikan pada masanya
mulai diatur dan ditertibkan sistem pembayaran gaji dan pajak tanah. Pengadilan
didirikan dalam rangka memisahkan lembaga Yudikatif dengan Eksekutif. Untuk
menjaga keamanan dan ketertiban, Jawatan kepolisian dibentuk. Demikian juga
jawatan pekerjaan umum, Umar Ibn Al-Khaththab juga mendirikan Bait al-Mall.
Dalam menyelesaikan permasalahan yang berkembang dimayarakat Umar selalu
berkomunikasi dengan orang-orang yang memang dianggap mampu dibidangnya.3
C. Ustman Ibn Affan 23-35 H/644-656 M
Ustman Ibn Affan dipilih dan
diangkat dari enam orang calon yang diangkat oleh khalifah Umar saat menjelang
wafatnya karena pembunuhan. Keenam orang tersebut adalah: Ali bin Abu Thalib,
Utsman bin Affan, Saad bin Abu Waqqash, Abd al-Rahman bin Auf, Zubair bin
Awwam, Thalhah bin Ubaidillah, serta Abdullah bin Umar, putranya, tetapi ”tanpa
hak suara”.4
Umar menempuh cara sendiri yang berbeda dengan cara Abu Abakar. Ia menunjukkan
enam orang calon pengganti yang menurutnya dan pengamatan mayoritas kaum
muslimin memang pantas menduduki jabatan Khalifah. Oleh sejarawan islam mereka
disebut Ahl al-Hall a al’aqd pertama dalam islam., merekalah yang bermusyawarah
untuk menentukan siapa yang menjadi khalifah. Dalam pemilihan lewat perwakilan
tersebut Ustman Ibn Affan mendapatkan suaran lebih banyak, yaitu 3 suara untuk
Ali dan 4 suara untuk Ustman Ibn Affan.
Pemerintah khalifah Ustman Ibn Affan
mengalami masa kemakmuran dan berhasil dalam beberapa tahun pertama
pemerintahannya. Ia melanjutkan kebijakan-kebijakan Khalifah Umar. Pada separuh
terakhir masa pemerintahannya, muncul kekecewaaan dan ketidakpuasaan dikalangan
masyarakat karena ia mulai mengambil kebijakan yang berbeda dari sebelumnya.
Ustman Ibn Affan mengangkat keluarganya (Bani Ummayyah) pada kedudukan yang
tinggi. Ia mengadakan penyempurnaan pembagian kekuasaan pemerintahan, Ustman
Ibn Affan menekankan sistem kekuasaan pusat yang mengusaai seluruh pendapatan
propinsi dan menetapkan seorang juru hitung dari keluarganya sendiri.
Utsman, yang membukukan firman Tuhan
dan yang pada pemerintahannya menyaksikan penaklukan Iran, azerbaizan dan
sebagian Armenia, juga merupakan sosok manusia yang saleh dan bijak, tapi dia
terlalu lemah untuk menolak tuntutan kerabat dekatnya yang serakah. Saudara
angkatnya, Abdullah mantan juru tulis nabi, yang pernah berusaha menyelewengkan
firman tuhan, ditunjuk sebagai gubernur mesir, saudara tirinya Walid Ibn Uqbah
yang pernah menampar wajah Nabi Muhammad diangkat sebagai gubernur kufah,
saudara sepupunya Marwan bin al-Hakam yang kemudian menjadi khalifah umayah,
ditugaskan sebagai pengawas diwan. Berbagai jabatan penting diisi oleh suku umayah,
keluarga khalifah. Tuduhan nepotisme segera tersebar. Perasaan tidak puas yang
muncul akibat system administrasinya yang tidak popular dimotori oleh tiga
tokoh Quraisy kandidat khalifah yaitu ali, thalha dan zubair. Protes dari para
pendukung ali merebak dikufah dan mesir yang pada bulan april 656 mengirim 500
orang pemberontak ke madinah, para pemberontak itu kemudian mengepung rumah
khalifah tua renta yang mulia. Peristiwa itu menjadikannya sebagi khalifah
pertama yang dibunuh oleh seorang muslim 17 Juni 656.
D. Ali Ibn Abi Thalib 35-40
H/656-661 M
Ali Ibn Abi Thalib tampil memegang
pucuk kepemimpinan negara di tengah-tengah kericuhan dan huru-hara perpecahan
akibat terbunuhnya Usman oleh kaum pemberontak. Ali Ibn Abi Thalib dipilih dan
diangkat oleh jamaah kaum muslimin di madinah dalam suasana sangat kacau,
dengan pertimbangan jika khalifah tidak segera dipilih dan di angkat, maka
ditakutkan keadaan semakin kacau. Ali Ibn Abi Thalib di angkat dengan dibaiat
oleh masyarakat.
Dalam masa pemerintahannya, Ali Ibn
Abi Thalib mengahadapi pemberontakan Thalhah, Zubair, dan Aisyah. Alasan
mereka, Ali Ibn Abi Thalib tidak mau menghukum para pembunuh Usman dan mereka
menuntut bela’ terhadap daerah Usman yang telah ditumpahkan secara dhalim.
Perang ini dikenal dengan nama perang jamal.5
Bersamaan dengan itu,
kebijaksanaan-kebijaksanaan Ali Ibn Abi Thalib juga mengakibatkan timbulnya
perlawanan dari gubernur di Damaskus, Muawiyah. Yang didukung oleh sejumlah bekas
pejabat tinggi yang merasa kehilangan kedudukan dan kejayaannya. Pertempuran
yang terjadi dikenal dengan perang shiffin, perang ini diakhiri dengan tahkim
(arbitrase), tapi tahkim ternyata tidak menyelsaikan maslah, bahkan menyebabkan
timbulnya golongan ketiga Al-Khawarij (orang-orang yang keluar dari barisan
Ali).6
2.
Peradaban dan Kebudayaan Pada masa Khulafa’ al-Rayidun
A.
Pada Masa Khalifah Abu Bakar As-Shiddiq
Pada masa ini kondisi sosial
mayarakat menjadi stabil dan dapat mengamankan tanah Arab dari pembangkang dan
penyelewengan seperti orang murtad, para nabi palsu dan orang-orang yang enggan
membayar zakat.
Selain itu keadaan kaum muslimin
menjadi tenteram, tidak khawatir lagi beribadah kepada Allah. Perkembangan
dagang dan hubungan bersama kaum muslim yang berada di luar Madinah keadaannya
terkendali dan terjalin dengan baik. Selain itu juga kemajuan yang dicapai
adalah : Pembukuan Al-Qur’an.
B.
Pada Masa Khalifah Umar Ibn Al-Khaththab
Diantara perkembangan yang ada pada
masa Khalifah Umar adalah :
- Pemberlakuan Ijtihad
- Menghapuskan zakat bagi para muallaf
- Menghapuskan hukum mut’ah
- Lahirnya ilmu Qira’at
- Penyebaran Ilmu Hadits
- Menempa mata uang dan
- menciptakan tahun Hijriah
C.
Pada Masa Khalifah Ustman Ibn Affan
Diantara perkembangan yang ada pada
masa Khalifah Ustman adalah :
- Penaskahan Al-Qur’an
- Perluasan Masjid Nabawi dan Masjidil Haram
- Didirikannya masjid Al-Atiq di utara benteng Babylon
- Membangun Pengadilan
- Membentuk Angkatan Laut
- Membentuk Departemen:
i.
Dewan kemiliteran
ii.
Baitul Mall
iii.
Jawatan Pajak
iv.
Jawatan Pengadilan
D.
Pada Masa Khalifah Ali Ibn Abi Thalib
Diantara perkembangan yang ada pada
masa Khalifah Ali adalah :
· Terciptanya ilmu bahsa/nahwu (Aqidah
nahwiyah)
· Berkembangnya ilmu Khatt al-Qur’an
· Berkembangnya Sastra
PENUTUP
Kesimpulan yang dapat kita ambil
dari pemaparan diatas adalah, bahwa dalam sejarah pemerintahan islam tidak ada
satu pun konsep negara islam. Sebab semuanya tergantung pada situasi dan
kondisi yang ada. Seperti Abu Bakar yang diangkat dengan sistem demokrasi langsung,
Umar diangkat dengan sistem kerajaan, yaitu Abu Bakar mengangkat langsung
Khalifah Umar sebagai pengganti dirinya, Utsman naik menajdi Khalifah dengan
sistem perwakilan, atau sekarang lebih dikenal dengan parlemen, sedang Ali naik
dengan klaim sepihak dari kelompoknya yang akhirnya kaumnya terpecah belah.
Daftar Pustaka
Al-Jabiri, Mohamed Abed. 2004. Problem
peradaban: penelusuran atas jejak Kebudayaan Arab, Islam dan Timur. Yogyakarta:
Belukar.
Engineer, Asghar Ali. Devolusi
Negara Islam. 2000. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Maryam, Siti dkk (Ed.). 2004.Sejarah
Peradaban Islam dari masa klasik hingga masa modern. Yogyakarta: LESFI.
Sjadzali, Munawir. 1993. Islam
dan Tata Negara ajaran, sejarah dan pemikiran. Jakarta: UI-Press.
Yatim, Badri. 2006. Sejarah
Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Pilip K. Hitti. 1974. History
of the Arabs. London: The Macmillan.
1 Mohamed Abed Al-Jabiri, Problem
peradaban: penelusuran atas jejak Kebudayaan Arab, Islam dan Timur, Yogyakarta:
Belukar, 2004, Hlm. 5
2 Siti Maryam, dkk (Ed.), Sejarah
Peradaban Islam dari masa klasik hingga masa modern, Yogyakarta: LESFI,
2004, Hlm 45
4 H. Munawir Sjadzali, M.A., Islam
dan Tata Negara ajaran, sejarah dan pemikiran, Jakarta: UI-Press, 1993,
Hlm. 25
5 Dr. Badri Yatim, M.A. Sejarah
Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, Jakarta: PT RjaGrafindo Persada,
2006, Hlm. 39-40
Tidak ada komentar:
Posting Komentar