INVESTASI PADA
KEUANGAN MIKRO SYARIAH (BMT)
PENDAHULUAN
Pembinaan dan pengembangan koperasi
dan UKM bertujuan untuk meningkatkan fungsi dan peranannya sebagai bagian
integral dalam perekonomian nasional. Tujuan lainnya untuk menumbuhkannya
menjadi usaha yang efisien, sehat dan mandiri dan mampu menjadi tulang punggung
perekonomian nasional. Dalam kenyataannya, koperasi dan UKM belum mampu
menunjukkan parannya secara optimal seperti yang diharapkan. Hal ini terjadi
karena adanya hambatan dan kendala yang bersifat internal dan eksternal yang
berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan koperasi dan UKM. Salah satu
hambatan dan kendala yang dimaksud adalah lemahnya sistem endanaan untuk
membiayai aktivitas usahanya. Koperasi dan UKM mengalami kesulitan untuk
mengakses sumber-sumber permodalan atas lembaga keuangan terutama dari sektor
perbankan.
Sabirin (2001) menjelaskan untuk
memberdayakan masyarakat golongan ekonomi lemah atau sektor usaha kecil adalah
dengan menyediakan sumber pembiayaan usaha yang terjangkau. Salah satu strategi
pembiayaan bagi golongan ini adalah usaha kredit mikro. Lembaga keuangan mikro
merupakan institusi yang menyediakan jasa-jasa keuangan penduduk yang
berpendapatan rendah dan termasuk dalam kelompok miskin. Lembaga keuangan mikro
ini bersifat spesifik karena mempertemukan permintaan dana penduduk miskin atas
ketersediaan dana.
Keinginan dilaksanakannya ekonomi Islam timbul dari kesadarn bahwa
Islam adalah ajaran yang komprehensif dan universal yang di dalamnya memuat
ajaran segenap aspek kehidupan manusia termasuk bidang ekonomi. Kelahiran BMT
merupakan solusi bagi kelompok ekonomi masyarakat bawah yang membutuhkan dana
bagi pengembangan usaha kecil. BMT yang berkembang didirikan dengan suatu
proses legalitas hukum yang bertahap; pertama dimulai sebagai KSM
(Kelompok Swadaya Masyarakat), dan jika telah mencapai asset tertentu kemudian
menyiapkan diri ke dalam badan hukum koperasi. Jika mencapai keadaan di mana
para anggota dan pengurus siap dengan baik untuk mengelola koperasi, maka BMT
dapat dikembangkan menjadi badan hukum koperasi.
PEMBAHASAN
Pengelolaan dan Pengembangan Usaha Kredit Mikro
Usaha kredit mikro adalah suatu
istilah lain dari micro credit. Ada banyak pihak yang mencoba
mendefinisikan kredit mikro. Salah satunya adalah Grameen Banking (2003)
mendefinisikan kredit mikro sebagai pengembangan pinjaman dalam jumlah kecil
kepada pengusaha yang terlalu lemah kualifikasinya untuk dapat mengakses pada
pinjaman dari bank tradisional.
Untuk membangun sebuah kegiatan yang
berkesinambungan (sustainable) diperlukan usaha dan sumberdaya yang
maksimal Adapun langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk membangun program
kredit mikro yang berkesinambungan adalah sebagai berikut :
a.
Memilih model
atau program kredit-mikro
b.
Membangun konsensus
c.
Menunjuk staf untuk pengembangan ekonomi
d.
Mengikuti dan menyelaraskan dengan
kebijakan-kebijakan nasional
e.
Memilih dan menilai institusi keuangan sebagai
mitra
f.
Membuat kesepakatan dengan mitra
g.
Memelihara kesepakatan kemitraan (Srinivas b),
1999).
Model-model kredit mikro antara lain
adalah model yang dikembangkan oleh pemerintah maupun organisasi non
pemerintah. Dari pemerintah, kita mengenal Kredit Usaha Kecil (KUK), Kredit
Usaha Keluarga Sejahtera (KUKESRA), Badan Usaha Unit Desa (BUUD), Badan Kredit
Kecamatan (BKK), Kredit Usaha Tani (KUT), dan Program Jaring Pengaman Sosial
Pemberdayaan Daerah dalam Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi (JPS-PDMDKE). Adapun
model kredit mikro non pemerintah yang berkembang di masyarakat antara lain
adalah arisan, bank plecit, rentenir, dan koperasi simpan pinjam. Dewasa ini
beberapa organisasi non pemerintah (Ornop) juga telah mengembangkan usaha
kredit mikro seperti YPWI, Bina Swadaya, Kesuma Multiguna, Asosiasi Pendamping
Perempuan Usaha Kecil (ASPPUK), International Relief Development (IRD), Mercy
Corps International (MCI), Baitul Maal Tanwil (BMT), dan sebagainya (Wardoyo
& Prabowo, 2001).
Peran Koperasi Dan UKM Sebagai Lembaga Keuangan Alternatif
Beberapa ahli mendefinisikan lembaga
keuangan alternatif sebagai lembaga pendanaan di luar sistem perbankan
konvensional dengan sistem bunga. Lembaga keuangan alternatif meliputi
Perusahaan Modal Ventura, Leasing, Factoring (anjak piutang), Guarantee Fund,
Perbankan Syariah, Koperasi Syariah dan Baitul Maal Wat Tamwil (BMT).
Dengan cara pandang dan pengertian lembaga
pendanaan tersebut, maka istilah koperasi jasa keuangan diartikan sebagai
koperasi yang menyelenggarakan jasa keuangan alternatif misalnya koperasi
syariah dan Unit Simpan Pinjam Syariah, Kelompok Swadaya Masyarakat Pra
Koperasi termasuk BMT, Koperasi Bank Perkreditan Rakyat Syariah, Koperasi
Pembiayaan Indonesia (KPI).
Prinsip dari kegiatan lembaga ini
adalah memobilisasi dana dari kelompok masyarakat yang mengalami surplus
dana dan kemudian mengalokasikannya kepada kelompok masyarakat yang kekurangan
dana atau masyarakat yang deficit dana. Ada dua cara dalam
menjalankan usahanya. Pertama, menganut sistem bunga, artinya kepada
setiap penyimpan diberikan bunga sebagai imbalan atas tabungannya dan kepada
setiap peminjam juga dikenakan bunga sebagai balas jasa kepada pemilik dana. Kedua,
menganut sistem syariah (bagi hasil) yang sering disebut sistem Islam.
Ø Baitul Maal Wa Tamwil (BMT)
Baitul
Maal Wa Tamwil (BMT), dalam bahasa Indonesia sering disebut dengan istilah
Balai Mandiri Terpadu (BMT) merupakan salah satu lembaga pendanaan alternatif
yang beroperasi di tengah masyarakat akar rumput yang merupakan lembaga ekonomi
rakyat kecil yang berupaya mengembangkan usaha-usaha produktif dan investasi
dalam meningkatkan kegiatan ekonomi pengusaha kecil dan berdasarkan prinsip
syariah dan koperasi. BMT memiliki dua fungsi yaitu : Pertama, Baitul Maal menjalankan
fungsi untuk memberi santunan kepada kaum miskin dengan menyalurkan dana ZIS
(Zakat, Infaq, Shodaqoh) kepada yang berhak; Kedua, Baitul Taamwil menjalankan
fungsi menghimpun simpanan dan membeayai kegiatan ekonomi rakyat dengan menggunakan
Sistem Syariah. Sistem bagi hasil adalah pola pembiayaan keuntungan maupun
kerugian antara BMT dengan anggota penyimpan berdasarkan perhitungan yang
disepakati bersama.
Ø Pola Tabungan dan Pembiayaan
1.
Tabungan
Tabungan atau simpanan dapat diartikan sebagai titipan murni dari
orang atau badan usaha kepada pihak BMT. Jenis-jenis tabungan/simpanan adalah
sebagai berikut:
a.
Tabungan
persiapan qurban
b.
Tabungan
pendidikan
c.
Tabungan
persiapan untuk nikah
d.
Tabungan
persiapan untuk melahirkan
e.
Tabungan naik
haji/umroh
f.
Simpanan
berjangka/deposito
g.
Simpanan khusus
untuk kelahiran
h.
Simpanan
sukarela
i.
Simpanan hari
tua
j.
Simpanan aqiqoh
2.
Pembiayaan
Pola pembiayaan terdiri dari bagi hasil dan jual beli dengan
mark up.
a.
Bagi Hasil
Bagi hasil dilakukan antara BMT
dengan pengelola dana dan antara BMT dengan penyedia dana (penyimpan/penabung).
Bagi hasil ini dibedakan atas:
1)
Musyarakah, adalah suatu perkongsian antara dua pihak atau lebih dalam suatu
proyek dimana masing-masing pihak berhak atas segala keuntungan dan bertanggung
jawab atas segala kerugian yang terjadi sesuai dengan penyertaannya
masing-masing.
2)
Mudharabah, adalah perkongsian antara dua pihak dimana pihak pertama (shahib
al amal) menyediakan dana dan pihak kedua(mudharib) bertanggung jawab atas
pengelolaan usaha. Keuntungan dibagikan sesuai dengan rasio laba yang telah
disepakati bersama terlebih dahulu di depan. Manakala rugi, shahib al amal akan
kehilangan sebagian imbalan dari kerja keras dan manajerial skill selama proyek
berlangsung.
3)
Murabahah, adalah pola jual beli dengan membayar tangguh, sekali bayar.
4)
Muzaraah, adalah dengan memberikan l kepada si penggarap untuk ditanami dan
dipelihara dengan imbalan bagian tertentu (prosentase) dari hasil panen.
5)
Wusaqot, adalah bentuk yang lebih sederhana dari muzaraah dimana si penggarapnya
bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan. Sebagai imbalan si
penggarap berhak atas rasio tertentu dari hasil panen.
b.
Jual Beli
dengan Mark Up (keuntungan)
Jual beli dengan mark up merupakan
tata cara jual beli yang dalam pelaksanaannya, BMT mengangkat nasabah sebagai
agen (yang diberi kuasa) melakukan pembelian barang atas nama BMT, kemudian BMT
bertindak sebagai penjual kepada nasabah dengan harga sejumlah harga beli
tambah keuntungan bagi BMT atau sering disebut margin/mark up. Keuntungan yang
diperoleh BMT akan dibagi kepada penyedia dan penyimpan dana. Jenis-jenisnya
adalah:
1)
Bai Bitsaman
Ajil (BBA), adalah proses jual beli dimana
pembayaran dilakukan secara lebih dahulu dan penyerahan barang dilakukan
kemudian.
2)
Bai As Salam, proses jual beli dimana pembayaran dilakukan terlebih dahulu dan
penyerahan barang dilakukan kemudian.
3)
Al Istishna, adalah kontrak order yang ditandatangani bersamaan antara pemesan
dengan produsen untuk pembuatan jenis barang tertentu.
4)
Ijarah atau Sewa, adalah dengan memberi penyewa untuk mengambil pemanfaatan dari
sarana barang sewaan untuk jangka waktu tertentu dengan imbalan yang besarnya
telah disepakati bersama.
5)
Bai Ut Takjiri, adakah suatu kontrak sewa yang diakhiri dengan penjualan. Dalam
kontrak ini pembayaran sewa telah diperhitungkan sedemikian rupa sehingga
padanya merupakan pembelian terhadap barang secara berangsur.
6)
Musyarakah
Mustanaqisah, adalah
kombinasi antara musyawarah dengan ijarah (perkongsian dengan sewa). Dalam
kontrak ini kedua belah pihak yang berkongsi menyertakan modalnya
masing-masing.
Kinerja Lembaga Keuangan Mikro Bagi Upaya Penguatan Usaha Mikro,
Kecil, dan Menengah
Ø Kinerja Lembaga Keuangan Mikro
Ukuran-ukuran
mikro lebih dari serentetan perbandingan pengukuran outreach atau rasio-rasio
neraca. Ukuran umum kinerja Lembaga Keuangan Mikro (LKM) dapat dikelompokkan
menjadi tiga hal pokok:
a.
Serangkaian
indicator kinerja yang dapat diukur dan dimonitor
b.
Sebuah
metodoligi umum untuk menghitung indikator-indikator yang terseleksi
c.
Sebuah
benchmark yang telah dispeakati atau target setiap indikator yang telah
diseleksi.
Saat
ini, jenis rasio keuangan yangterseleksi sebagai ukuran-ukuran kinerja, dan
proses bagaimana mereka diseleksi bervariasi tergantung pada permintaan
organisasi dan informasi. Kebanyakan usaha pada pendefinisian standar-standar
keuangan mikro fokus pada dua kategori pengukuran besar pengukuran kinerja,
yaitu outreach dan keberlanjutan (sustainability).
Outreach
dipertimbangkan sebagai sebuah komponen kritis dari keberhasilan LKM, karena
mendasarkan visi pada kenyataan bahwa semua LKM fokus pada menawarkan layanan
financial kepada sebagian besar mesyarakat miskin pada satu sisi dengan pencapaian
skala ekonomi pada sisi lain.
Ø Capacity Building bagi LKM
Secara
umum capacity building adalah proses atau kegiatan memperbaiki kemampuan
seseorang, kelompok, organisasi atau sistem untuk mencapai tujuan atau kinerja
yang lebih baik.
Pengembangan
LKM harus didasarkan pada azas demokrasi ekonomi, desentralisasi, kemandirian, undisciminative, dan perlindungan bagi stockholder yang berkepentingan. Prinsip
yang perlu diterapkan adalah membangun keberdayaan ekonomi rakyat melalui
pengembangan kapasitas (capacity building), mencakup: 1). Kelembagaan, 2).
Pendanaan, 3). Pelayanan.
Sementara
bagi LKM, masalah kekurangan tenaga pendamping dan minimnya dana pendampingan
dapat diatasi dengan melakukan pelatihan terhadap LKM atau unsur lainnya. Atau
dengan kata lain LKM mengatasinya dengan capacity building baik kelembagaan
maupun para stafnya.
Pemberdayaan Lembaga Keuangan Mikro Sebagai Salah Satu Pilar Sistem
Keuangan Nasional: Upaya Konkrit Memutus Mata Rantai Kemiskinan
Ø Keterkaitan Lembaga keuangan Mikro dengan kemiskinan
Lembaga
keuangan mmempunyai fungsi intermediasi dalam aktifitas suatu perekonomian.
Jika fungsi ini berjalan baik, maka lembaga keuangan tersebut dapat
menghasilkan nilai tambah.
Pengentasan
kemiskinan dapat dilaksanakan melalui banyak sarana dan program baik yang
bersifat langsung maupun tak langsung. Usaha ini dapat berupa transfer payment
dari pemenrintah.
Ø Lembaga Keuangan mikro
Kredit
mikro adalah program pemberian kredit berjumlah kecil ke warga paling miskin untuk
membiayai proyek yang dia kerjakan sendiri agar menghasilkan pendapatan, yang
memungkinkan mereka peduli terhadap diri sendiri dan keluarga.
Ø Perkembangan Lembaga Keuangan Mikro dan Permasalahannya
Perkembangan
Lembaga Keuangan Mikro (LKM) terjadi seiring dengan perkembangan UKM serta
masih banyak hambatan UKM dalam mengakses sumber-sumber pembiayaan dari
lembaga-lembaga keuangan formal. Selain itu berkembangnya LKM juga tidak
terlepas dari karakteristik LKM yang memberikan kemudahan kepada pelaku UKM
dalam mengakses sumber-sumber pembiayaan.
Selain
berbagai peluang diatas, perkembangan LKM masih dihadapkan pada berbagai
kendala baik hambatan internal LKM maupun kondisi eksternal LKM yang kurang
kondusif. Kondisi eksternal yang dihadapi oleh LKM adalah kelembagaan, yang
antara lain mengakibatkan bentuk LKM beraneka ragam.
Selain
masalah eksternal, LKM juga dihadapkan masalah internal yang menyangkut aspek
operasional dan pemberdayaan usaha. Masalah pertama menyangkut kemampuan LKM
dalam menghimpun dana, sebagaian besar LKM masih terbatas kemampuannya karena
masih bergantung sedikit banyaknya anggota atau besaran modal sendiri.
Ø Dampak keberadaan LKM dalam Memutus Mata rantai kemiskinan
Sebagaimana
diketahui bahwa pinjaman mikro dapat digunakan membantu UKM dalam mengakses
sumber-sumber pembiayaan, dan karakteristik UKM jika dilihat dari aspek
pendapatan lebih mendekati kelompok masyarakat yang dikategorikan miskin mauoun
memiliki kegiatan ekonomi.
Keberadaan
LKM yang relatif mampu menjawab kesulitan tersebut ternyata selaras dengan
perkembangan UKM. Walaupun kontribusi dalam pembiayaan dalam skala nasional
masih kecil disbandingkan dengan peran lembaga perbankan formal, namun terdapat
potensi yang besar yang dapat dimanfaatkan LKM untuk memperbesar perannya dalam
pembiayaan UKM yang ditunjukkan dengan masih banyak jumlah UKM yang belum
memanfaatkan akses pembiayaan dari lembaga keuangan serta sulitnya akses
pembiayaan dari lembaga perbankan. Sehingga tumpuan terbesar adalah LKM.
Ø Upaya-upaya Pemecahan Masalah
Berpijak
pada kondisi dan permasalahan LKM di atas, maka upaya-upaya yang dapat
dilakukan guna mengembangkan LKM dan bahkan menjadikannya sebagai bagian dari
sistem keuangan nasional yang mencakup;
1.
Memperkuat
kelembagaan LKM
2.
Komitmen dalam
memperkuat LKM
Tinjauan Syariah Terhadap Badan Hukum Koperasi Untuk Baitul Mal Wat
Tamwil (BMT)
Ø Kesesuaian Prinsip Koperasi dengan Prinsip Islam
Falsafah
yang mendasari gagasan koperasi sesungguhnya adalah kerjasama, gotong royong
dan demokrasi ekonomi. Hal ini menekanan akan pentingnya kerjasama dan tolong
menolong (ta’awun), persaudaraan (ukhuwah) dan pandangan hidup demokrasi
(musyawarah). Di dalam Islam kerjasama dan tolong menolong sangat dianjurkan
sebagaimana disebutkan dalam QS. Al Maidah ayat 2: “Dan tolong menolonglah
kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan taqwa, dan jangan tolong menolong dalam
berbuat dosa dan pelanggaran.”
Koperasi
juga menekankan unsur musyawarah. Anjuran bermusyawarah ditegaskan dalam QS.
Ali Imran ayat 59. Ayat ini dijadikan pedoman bagi setiap muslim khususnya bagi
setiap pemimpin agar bermusyawarah dalam setiap persoalan. Dengan musyawarah,
setiap orang mempunyai hak yang sama, tidak ada diskriminasi. Forum musyawarah
dalam koperasi adalah melalui Rapat Anggota Tahunan (RAT).
Mekanisme
operasional atau pola tata laku operasional adalah melalui sistem imbalan
(keuntungan atau fasilitas) yang diterima anggota yang sesuai dengan peran
serta kontribusinya bagi koperasi. Hal ini sesuai dengan prinsip balas jasa di
dalam Islam. Islam mengajarkan seseorang hanya menerima apa yang ia usahakan,
sebagaimana yang ditegaskan dalam QS. Al
Zalzalah ayat 7-8: ”Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat
dzarrahpun, niscaya dia akan melihat(balasan)nya. Dan barangsiapa yang
mengerjakan kejahatan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat
(balasan)nya.
Melalui
Sisa Hasil Usaha (SHU) dalam koperasi, bahwa maksimalisasi SHU bukan tujuan dan
pemanfaatan sebagian SHU diperuntukkan bagi kemaslahatan umum. Hal ini menghindari
usaha-usaha eksploitatif, menekankan pelayanan anggota dan memperhatikan
kepentingan umum. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah QS. At Taubah ayat 34:
“dan orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan
Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa
yang pedih.”
Ajaran
Islam menghendaki adanya redistribusi kekayaan secara merata, misalnya bagi
fakir miskin, anak yatim, orang yang meminta-minta atau yang haknya dirampas,
juga dengan tegas dinyatakan bahwa kekayaan atau komoditi tidak boleh berputar
di antara orang-orang kaya saja. Hal ini disebutkan dalam QS. Al Hasyr ayat 7:
“Apa saja harta rampasan (fai) yang diberikan Allah kepada RasulNya yang
berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum
kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam
perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya
saja di antara kamu.”
Perwujudan
keadilan sosial dengan pendekatan ini mencerminkan output demokratisasi sistem
ekonomi Islam, yang selaras dengan tujuan koperasi sebagai alat pendemokrasian
ekonomi. Hal ini menandakan bahwa Islam dan koperasi mempunyai tujuan yang
sama, yaitu mencapai demokratisasi ekonomi.
Ø Telaah Badan Hukum Koperasi untuk BMT
Dilihat
dari kesesuaian prinsip koperasi dalam Islam, maka koperasi adalah sebuah
lembaga yang dapat diterapkan untuk BMT. Kebolehan ini juga didasarkan pada
relevansi konsep antara koperasi dan BMT yang dapat dilihat dari:
a.
Latar belakang dan
sejarah kelahiran kedua lembaga ini adalah sama-sama dalam rangka
memperjuangkan kepentingan rakyat golongan bawah. Begitu juga BMT yang lahir
karena keberadaan BMI dan BPR (S) yang belum dapat menjangkau masyarakat
golongan ekonomi bawah.
b.
Berdasarkan
pengertian yang dikandung keduanya dapat disimpulkan bahwa kedua lembaga ini
sama-sama mengandung unsur dua unsur. Unsur tersebut adalah unsur ekonomi dan
unsur sosial yang saling berkaitan.
c.
Dalam prinsip-prinsip
dasar yang dikandung oleh kedua konsep ini. Dalam prinsip-prinsip dasar
keduanya ditemukan bahwa nilai-nilai yang terkandung di dalamnya tidak
bertentangan. Kedua lembaga ini berusaha untuk mensejahterakan anggota pada
khususnya dan masyarakat pada umumnya melalui pengelolaan yang sarat dengan
nilai-nilai etik dan moral yang tinggi.
d.
Adanya kesamaan
tujuan pada kedua lembaga tersebut. Tujuannya adalah sama-sama berusaha untuk
mensejahterakan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya terutama
bagi golongan masyarakat kecil dalam rangka mengentaskan kemiskinan bagi
perbaikan ekonomi rakyat.
e.
Berdasarkan
fungsi dan peranan koperasi dan BMT, terlihat bahwa keduanya mempunyai dua
fungsi. Fungsi tersebut adalah fungsi sosial dan fungsi ekonomi yang saling
berkaitan. Sedangkan peranan kedua lembaga tersebut adalah sebagai motor
penggerak perekonomian dengan mengembangkan dan membangun potensi serta
kemampuan masyarakat lapisan bawah untuk mencapai perekonomian yang lebih baik.
f.
Mengacu pada
konsep mekanisme kerja antara koperasi dan BMT, akan ditemukan bahwa kedua
lembaga ini diusahakan untuk bergerak pada tiga sektor, yaitu sektor jasa
keuangan melalui simpan pinjam, sektor sosial dan sektor riil. Selain itu dalam
kelengkapan organisasi ditemukan adanya Dewan Pengawas. Dewan Pengawas bertugas
untuk mengendalikan dan mengawasi kedua lembaga itu. Tujuan pengendalian dan
pengawasan ini adalah agar dalam kegiatannya sesuai dengan tujuan yang
diharapkan serta mengurangi kemungkinan terjadinya penyimpangan dan
penyelewengan oleh pengurus di dalam pengelolaannya.
Berdasarkan
analisis tersebut, maka terdapat kesamaan konsep antara koperasi dan BMT
sehingga hal ini mendukung dijadikannya koperasi sebagai badan hukum untuk BMT.
Namun perlu dilakukan evaluasi terhadap badan hukum koperasi untuk BMT, yaitu:
1.
Perlu adanya
mekanisme yang mampu menjamin dilaksanakannya koperasi sesuai dengan prinsip
dasarnya karena dalam prakteknya telah banyak terjadi penyimpangan dalam
pelaksanaan prinsip dasar tersebut seperti koperasi yang telah banyak
kehilangan jati dirinya karena meninggalkan fungsi ekonomi, prinsip kemandirian
yang ada pada koperasijuga tidak terlaksana, hal ini dapat dilihat dari
besarnya intervensi pemerintah terhadap koperasi.
2.
BMT yang berbadan
hukum koperasi harus mengganti sistem bunga yang biasa diterapkan dalam sistem
perkoperasian di Indonesia dengan sistem yang sesuai dengan prinsip Islam,
yaitu bagi hasil, sehingga merancang sebuah konsep lembaga koperassi syariah
adalah suatu kebutuhan yang harus dilakukan.
KESIMPULAN
Dilihat dari prosedur pembiayaan dan
jangkauan pelayanannya, BMT merupakan lembaga keuangan alternatif yang sangat
efektif dalam melayani kebutuhan pembiayaan modal kerja jangka pendek yang
sangat diperlukan pengusaha kecil mikro. Perkembangan asset BMT yang sangat
cepat ditentukan adanya mobilisasi dana dari pihak ketiga serta cepatnya
perputaran pengembalian pinjaman para nasabah yang selanjutnya dipinjamkan
kepada nasabah lain. Pada umumnya BMT menggunakan pola pembiayaan mudharabah
dan Bai Bitsaman Ajil (BBA). Pola pembiayaan BBA mempunyai keunggulan karena
punya tingkat perputaran yang sangat tinggi, berisiko rendah dan memberikan
margin keuntungan yang relatif besar.
Upaya pengentasan kemiskinan dapat
dilakukan dengan memutus mata rantai kemiskinan itu sendiri, antara lain dengan
memperluas aksesUsaha Kecil dan Mikro (UKM) dalam mendapatkan fasilitas
permodalan yang tidak hanya bersumber dari lembaga keuangan formal tapi juga
Lembaga Keuangan Mikro (LKM). LKM ternyata mampu memberikan berbagai jenis
pembiayaan kepada UKM walaupun tidak sebesar lembaga keuangan formal, sehingga
dapat menjadi alternatif pembiayaan yang cukup potensial mengingat sebagian besar
pelaku UKM belum memanfaatkan lembaga-lembaga keuangan. Potensi yang cukup
besar tersebut belum dapat dimanfaatkan secara optimal, karena LKM masih
menghadapi berbagai kendala dan keterbatasan, antara lain aspek kelembagaan
yang tumpang tindih, keterbatasan sumber daya manusia dalam pengelolaan LKM dan
kecukupan modal. Upaya untuk menguatkan dan mengembangkan LKM sebagai salah
satu pilar sistem keuangan nasional, diantaranya yang mendesak adalah
menuntaskan RUU tentang LKM agar terdapat kejelasan dalam pengembangan LKM,
serta komitmen pemerintah dalam memperkuat UKM sebagai bagian tidak terpisahkan
dari pengembangan LKM.
Konsep koperasi dengan BMT memiliki kesesuaian, namun di sisi lain ada
perbedaan yang mendasar, yaitu adanya mekanisme riba dalam koperasi. Untuk itu,
agar koperasi dapat tetap dijadikan sebagai badan hukum BMT maka harus
dilakukan perbaikan-perbaikan yang mengacu kepada syariah yang tidak
memperbolehkan riba. Disamping juga koperasi harus membenahi diri agar tidak
terjadi penyimpangan-penyimpangan dari konsep dasar dan tujuannya.
Terimakasih atas informasinya. Silahkan berkunjung ke blog saya dan baca artikel yang berjudul BMT SEBAGAI LEMBAGA KEUANGAN ALTERNATIF
BalasHapus