Sabtu, 19 Oktober 2013

BMT

INVESTASI PADA KEUANGAN MIKRO SYARIAH (BMT)

PENDAHULUAN

Pembinaan dan pengembangan koperasi dan UKM bertujuan untuk meningkatkan fungsi dan peranannya sebagai bagian integral dalam perekonomian nasional. Tujuan lainnya untuk menumbuhkannya menjadi usaha yang efisien, sehat dan mandiri dan mampu menjadi tulang punggung perekonomian nasional. Dalam kenyataannya, koperasi dan UKM belum mampu menunjukkan parannya secara optimal seperti yang diharapkan. Hal ini terjadi karena adanya hambatan dan kendala yang bersifat internal dan eksternal yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan koperasi dan UKM. Salah satu hambatan dan kendala yang dimaksud adalah lemahnya sistem endanaan untuk membiayai aktivitas usahanya. Koperasi dan UKM mengalami kesulitan untuk mengakses sumber-sumber permodalan atas lembaga keuangan terutama dari sektor perbankan.
Sabirin (2001) menjelaskan untuk memberdayakan masyarakat golongan ekonomi lemah atau sektor usaha kecil adalah dengan menyediakan sumber pembiayaan usaha yang terjangkau. Salah satu strategi pembiayaan bagi golongan ini adalah usaha kredit mikro. Lembaga keuangan mikro merupakan institusi yang menyediakan jasa-jasa keuangan penduduk yang berpendapatan rendah dan termasuk dalam kelompok miskin. Lembaga keuangan mikro ini bersifat spesifik karena mempertemukan permintaan dana penduduk miskin atas ketersediaan dana.
Keinginan dilaksanakannya ekonomi Islam timbul dari kesadarn bahwa Islam adalah ajaran yang komprehensif dan universal yang di dalamnya memuat ajaran segenap aspek kehidupan manusia termasuk bidang ekonomi. Kelahiran BMT merupakan solusi bagi kelompok ekonomi masyarakat bawah yang membutuhkan dana bagi pengembangan usaha kecil. BMT yang berkembang didirikan dengan suatu proses legalitas hukum yang bertahap; pertama dimulai sebagai KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat), dan jika telah mencapai asset tertentu kemudian menyiapkan diri ke dalam badan hukum koperasi. Jika mencapai keadaan di mana para anggota dan pengurus siap dengan baik untuk mengelola koperasi, maka BMT dapat dikembangkan menjadi badan hukum koperasi.



PEMBAHASAN

Pengelolaan dan Pengembangan Usaha Kredit Mikro
Usaha kredit mikro adalah suatu istilah lain dari micro credit. Ada banyak pihak yang mencoba mendefinisikan kredit mikro. Salah satunya adalah Grameen Banking (2003) mendefinisikan kredit mikro sebagai pengembangan pinjaman dalam jumlah kecil kepada pengusaha yang terlalu lemah kualifikasinya untuk dapat mengakses pada pinjaman dari bank tradisional.
Untuk membangun sebuah kegiatan yang berkesinambungan (sustainable) diperlukan usaha dan sumberdaya yang maksimal Adapun langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk membangun program kredit mikro yang berkesinambungan adalah sebagai berikut :
a.      Memilih model atau program kredit-mikro
b.      Membangun konsensus
c.       Menunjuk staf untuk pengembangan ekonomi
d.      Mengikuti dan menyelaraskan dengan kebijakan-kebijakan nasional
e.       Memilih dan menilai institusi keuangan sebagai mitra
f.       Membuat kesepakatan dengan mitra
g.      Memelihara kesepakatan kemitraan (Srinivas b), 1999).
Model-model kredit mikro antara lain adalah model yang dikembangkan oleh pemerintah maupun organisasi non pemerintah. Dari pemerintah, kita mengenal Kredit Usaha Kecil (KUK), Kredit Usaha Keluarga Sejahtera (KUKESRA), Badan Usaha Unit Desa (BUUD), Badan Kredit Kecamatan (BKK), Kredit Usaha Tani (KUT), dan Program Jaring Pengaman Sosial Pemberdayaan Daerah dalam Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi (JPS-PDMDKE). Adapun model kredit mikro non pemerintah yang berkembang di masyarakat antara lain adalah arisan, bank plecit, rentenir, dan koperasi simpan pinjam. Dewasa ini beberapa organisasi non pemerintah (Ornop) juga telah mengembangkan usaha kredit mikro seperti YPWI, Bina Swadaya, Kesuma Multiguna, Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil (ASPPUK), International Relief Development (IRD), Mercy Corps International (MCI), Baitul Maal Tanwil (BMT), dan sebagainya (Wardoyo & Prabowo, 2001).

Peran Koperasi Dan UKM Sebagai Lembaga Keuangan Alternatif
Beberapa ahli mendefinisikan lembaga keuangan alternatif sebagai lembaga pendanaan di luar sistem perbankan konvensional dengan sistem bunga. Lembaga keuangan alternatif meliputi Perusahaan Modal Ventura, Leasing, Factoring (anjak piutang), Guarantee Fund, Perbankan Syariah, Koperasi Syariah dan Baitul Maal Wat Tamwil (BMT).
Dengan cara pandang dan pengertian lembaga pendanaan tersebut, maka istilah koperasi jasa keuangan diartikan sebagai koperasi yang menyelenggarakan jasa keuangan alternatif misalnya koperasi syariah dan Unit Simpan Pinjam Syariah, Kelompok Swadaya Masyarakat Pra Koperasi termasuk BMT, Koperasi Bank Perkreditan Rakyat Syariah, Koperasi Pembiayaan Indonesia (KPI).
Prinsip dari kegiatan lembaga ini adalah memobilisasi dana dari kelompok masyarakat yang mengalami surplus dana dan kemudian mengalokasikannya kepada kelompok masyarakat yang kekurangan dana atau masyarakat yang deficit dana. Ada dua cara dalam menjalankan usahanya. Pertama, menganut sistem bunga, artinya kepada setiap penyimpan diberikan bunga sebagai imbalan atas tabungannya dan kepada setiap peminjam juga dikenakan bunga sebagai balas jasa kepada pemilik dana. Kedua, menganut sistem syariah (bagi hasil) yang sering disebut sistem Islam.
Ø  Baitul Maal Wa Tamwil (BMT)
Baitul Maal Wa Tamwil (BMT), dalam bahasa Indonesia sering disebut dengan istilah Balai Mandiri Terpadu (BMT) merupakan salah satu lembaga pendanaan alternatif yang beroperasi di tengah masyarakat akar rumput yang merupakan lembaga ekonomi rakyat kecil yang berupaya mengembangkan usaha-usaha produktif dan investasi dalam meningkatkan kegiatan ekonomi pengusaha kecil dan berdasarkan prinsip syariah dan koperasi. BMT memiliki dua fungsi yaitu : Pertama, Baitul Maal menjalankan fungsi untuk memberi santunan kepada kaum miskin dengan menyalurkan dana ZIS (Zakat, Infaq, Shodaqoh) kepada yang berhak; Kedua, Baitul Taamwil menjalankan fungsi menghimpun simpanan dan membeayai kegiatan ekonomi rakyat dengan menggunakan Sistem Syariah. Sistem bagi hasil adalah pola pembiayaan keuntungan maupun kerugian antara BMT dengan anggota penyimpan berdasarkan perhitungan yang disepakati bersama.

Ø  Pola Tabungan dan Pembiayaan
1.     Tabungan
Tabungan atau simpanan dapat diartikan sebagai titipan murni dari orang atau badan usaha kepada pihak BMT. Jenis-jenis tabungan/simpanan adalah sebagai berikut:
a.      Tabungan persiapan qurban
b.     Tabungan pendidikan
c.      Tabungan persiapan untuk nikah
d.     Tabungan persiapan untuk melahirkan
e.      Tabungan naik haji/umroh
f.      Simpanan berjangka/deposito
g.     Simpanan khusus untuk kelahiran
h.     Simpanan sukarela
i.       Simpanan hari tua
j.       Simpanan aqiqoh
2.      Pembiayaan
Pola pembiayaan terdiri dari bagi hasil dan jual beli dengan mark up.
a.      Bagi Hasil
Bagi hasil dilakukan antara BMT dengan pengelola dana dan antara BMT dengan penyedia dana (penyimpan/penabung). Bagi hasil ini dibedakan atas:
1)     Musyarakah, adalah suatu perkongsian antara dua pihak atau lebih dalam suatu proyek dimana masing-masing pihak berhak atas segala keuntungan dan bertanggung jawab atas segala kerugian yang terjadi sesuai dengan penyertaannya masing-masing.
2)     Mudharabah, adalah perkongsian antara dua pihak dimana pihak pertama (shahib al amal) menyediakan dana dan pihak kedua(mudharib) bertanggung jawab atas pengelolaan usaha. Keuntungan dibagikan sesuai dengan rasio laba yang telah disepakati bersama terlebih dahulu di depan. Manakala rugi, shahib al amal akan kehilangan sebagian imbalan dari kerja keras dan manajerial skill selama proyek berlangsung.
3)     Murabahah, adalah pola jual beli dengan membayar tangguh, sekali bayar.
4)     Muzaraah, adalah dengan memberikan l kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan bagian tertentu (prosentase) dari hasil panen.
5)     Wusaqot, adalah bentuk yang lebih sederhana dari muzaraah dimana si penggarapnya bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan. Sebagai imbalan si penggarap berhak atas rasio tertentu dari hasil panen.
b.     Jual Beli dengan Mark Up (keuntungan)
Jual beli dengan mark up merupakan tata cara jual beli yang dalam pelaksanaannya, BMT mengangkat nasabah sebagai agen (yang diberi kuasa) melakukan pembelian barang atas nama BMT, kemudian BMT bertindak sebagai penjual kepada nasabah dengan harga sejumlah harga beli tambah keuntungan bagi BMT atau sering disebut margin/mark up. Keuntungan yang diperoleh BMT akan dibagi kepada penyedia dan penyimpan dana. Jenis-jenisnya adalah:
1)     Bai Bitsaman Ajil (BBA), adalah proses jual beli dimana pembayaran dilakukan secara lebih dahulu dan penyerahan barang dilakukan kemudian.
2)     Bai As Salam, proses jual beli dimana pembayaran dilakukan terlebih dahulu dan penyerahan barang dilakukan kemudian.
3)     Al Istishna, adalah kontrak order yang ditandatangani bersamaan antara pemesan dengan produsen untuk pembuatan jenis barang tertentu.
4)     Ijarah atau Sewa, adalah dengan memberi penyewa untuk mengambil pemanfaatan dari sarana barang sewaan untuk jangka waktu tertentu dengan imbalan yang besarnya telah disepakati bersama.
5)     Bai Ut Takjiri, adakah suatu kontrak sewa yang diakhiri dengan penjualan. Dalam kontrak ini pembayaran sewa telah diperhitungkan sedemikian rupa sehingga padanya merupakan pembelian terhadap barang secara berangsur.
6)     Musyarakah Mustanaqisah, adalah kombinasi antara musyawarah dengan ijarah (perkongsian dengan sewa). Dalam kontrak ini kedua belah pihak yang berkongsi menyertakan modalnya masing-masing.



Kinerja Lembaga Keuangan Mikro Bagi Upaya Penguatan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
Ø  Kinerja Lembaga Keuangan Mikro
Ukuran-ukuran mikro lebih dari serentetan perbandingan pengukuran outreach atau rasio-rasio neraca. Ukuran umum kinerja Lembaga Keuangan Mikro (LKM) dapat dikelompokkan menjadi tiga hal pokok:
a.      Serangkaian indicator kinerja yang dapat diukur dan dimonitor
b.     Sebuah metodoligi umum untuk menghitung indikator-indikator yang terseleksi
c.      Sebuah benchmark yang telah dispeakati atau target setiap indikator yang telah diseleksi.
Saat ini, jenis rasio keuangan yangterseleksi sebagai ukuran-ukuran kinerja, dan proses bagaimana mereka diseleksi bervariasi tergantung pada permintaan organisasi dan informasi. Kebanyakan usaha pada pendefinisian standar-standar keuangan mikro fokus pada dua kategori pengukuran besar pengukuran kinerja, yaitu outreach dan keberlanjutan (sustainability).
Outreach dipertimbangkan sebagai sebuah komponen kritis dari keberhasilan LKM, karena mendasarkan visi pada kenyataan bahwa semua LKM fokus pada menawarkan layanan financial kepada sebagian besar mesyarakat miskin pada satu sisi dengan pencapaian skala ekonomi pada sisi lain.
Ø  Capacity Building bagi LKM
Secara umum capacity building adalah proses atau kegiatan memperbaiki kemampuan seseorang, kelompok, organisasi atau sistem untuk mencapai tujuan atau kinerja yang lebih baik.
Pengembangan LKM harus didasarkan pada azas demokrasi ekonomi, desentralisasi, kemandirian, undisciminative, dan perlindungan bagi stockholder yang berkepentingan. Prinsip yang perlu diterapkan adalah membangun keberdayaan ekonomi rakyat melalui pengembangan kapasitas (capacity building), mencakup: 1). Kelembagaan, 2). Pendanaan, 3). Pelayanan.
Sementara bagi LKM, masalah kekurangan tenaga pendamping dan minimnya dana pendampingan dapat diatasi dengan melakukan pelatihan terhadap LKM atau unsur lainnya. Atau dengan kata lain LKM mengatasinya dengan capacity building baik kelembagaan maupun para stafnya.

Pemberdayaan Lembaga Keuangan Mikro Sebagai Salah Satu Pilar Sistem Keuangan Nasional: Upaya Konkrit Memutus Mata Rantai Kemiskinan
Ø  Keterkaitan Lembaga keuangan Mikro dengan kemiskinan
Lembaga keuangan mmempunyai fungsi intermediasi dalam aktifitas suatu perekonomian. Jika fungsi ini berjalan baik, maka lembaga keuangan tersebut dapat menghasilkan nilai tambah.
Pengentasan kemiskinan dapat dilaksanakan melalui banyak sarana dan program baik yang bersifat langsung maupun tak langsung. Usaha ini dapat berupa transfer payment dari pemenrintah.
Ø  Lembaga Keuangan mikro
Kredit mikro adalah program pemberian kredit berjumlah kecil ke warga paling miskin untuk membiayai proyek yang dia kerjakan sendiri agar menghasilkan pendapatan, yang memungkinkan mereka peduli terhadap diri sendiri dan keluarga.
Ø  Perkembangan Lembaga Keuangan Mikro dan Permasalahannya
Perkembangan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) terjadi seiring dengan perkembangan UKM serta masih banyak hambatan UKM dalam mengakses sumber-sumber pembiayaan dari lembaga-lembaga keuangan formal. Selain itu berkembangnya LKM juga tidak terlepas dari karakteristik LKM yang memberikan kemudahan kepada pelaku UKM dalam mengakses sumber-sumber pembiayaan.
Selain berbagai peluang diatas, perkembangan LKM masih dihadapkan pada berbagai kendala baik hambatan internal LKM maupun kondisi eksternal LKM yang kurang kondusif. Kondisi eksternal yang dihadapi oleh LKM adalah kelembagaan, yang antara lain mengakibatkan bentuk LKM beraneka ragam.
Selain masalah eksternal, LKM juga dihadapkan masalah internal yang menyangkut aspek operasional dan pemberdayaan usaha. Masalah pertama menyangkut kemampuan LKM dalam menghimpun dana, sebagaian besar LKM masih terbatas kemampuannya karena masih bergantung sedikit banyaknya anggota atau besaran modal sendiri.
Ø  Dampak keberadaan LKM dalam Memutus Mata rantai kemiskinan
Sebagaimana diketahui bahwa pinjaman mikro dapat digunakan membantu UKM dalam mengakses sumber-sumber pembiayaan, dan karakteristik UKM jika dilihat dari aspek pendapatan lebih mendekati kelompok masyarakat yang dikategorikan miskin mauoun memiliki kegiatan ekonomi.
Keberadaan LKM yang relatif mampu menjawab kesulitan tersebut ternyata selaras dengan perkembangan UKM. Walaupun kontribusi dalam pembiayaan dalam skala nasional masih kecil disbandingkan dengan peran lembaga perbankan formal, namun terdapat potensi yang besar yang dapat dimanfaatkan LKM untuk memperbesar perannya dalam pembiayaan UKM yang ditunjukkan dengan masih banyak jumlah UKM yang belum memanfaatkan akses pembiayaan dari lembaga keuangan serta sulitnya akses pembiayaan dari lembaga perbankan. Sehingga tumpuan terbesar adalah LKM.
Ø  Upaya-upaya Pemecahan Masalah
Berpijak pada kondisi dan permasalahan LKM di atas, maka upaya-upaya yang dapat dilakukan guna mengembangkan LKM dan bahkan menjadikannya sebagai bagian dari sistem keuangan nasional yang mencakup;
1.     Memperkuat kelembagaan LKM
2.     Komitmen dalam memperkuat LKM

Tinjauan Syariah Terhadap Badan Hukum Koperasi Untuk Baitul Mal Wat Tamwil (BMT)
Ø  Kesesuaian Prinsip Koperasi dengan Prinsip Islam
Falsafah yang mendasari gagasan koperasi sesungguhnya adalah kerjasama, gotong royong dan demokrasi ekonomi. Hal ini menekanan akan pentingnya kerjasama dan tolong menolong (ta’awun), persaudaraan (ukhuwah) dan pandangan hidup demokrasi (musyawarah). Di dalam Islam kerjasama dan tolong menolong sangat dianjurkan sebagaimana disebutkan dalam QS. Al Maidah ayat 2: “Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan taqwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.”
Koperasi juga menekankan unsur musyawarah. Anjuran bermusyawarah ditegaskan dalam QS. Ali Imran ayat 59. Ayat ini dijadikan pedoman bagi setiap muslim khususnya bagi setiap pemimpin agar bermusyawarah dalam setiap persoalan. Dengan musyawarah, setiap orang mempunyai hak yang sama, tidak ada diskriminasi. Forum musyawarah dalam koperasi adalah melalui Rapat Anggota Tahunan (RAT).
Mekanisme operasional atau pola tata laku operasional adalah melalui sistem imbalan (keuntungan atau fasilitas) yang diterima anggota yang sesuai dengan peran serta kontribusinya bagi koperasi. Hal ini sesuai dengan prinsip balas jasa di dalam Islam. Islam mengajarkan seseorang hanya menerima apa yang ia usahakan, sebagaimana yang ditegaskan dalam  QS. Al Zalzalah ayat 7-8: ”Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat(balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.
Melalui Sisa Hasil Usaha (SHU) dalam koperasi, bahwa maksimalisasi SHU bukan tujuan dan pemanfaatan sebagian SHU diperuntukkan bagi kemaslahatan umum. Hal ini menghindari usaha-usaha eksploitatif, menekankan pelayanan anggota dan memperhatikan kepentingan umum. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah QS. At Taubah ayat 34: “dan orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.”
Ajaran Islam menghendaki adanya redistribusi kekayaan secara merata, misalnya bagi fakir miskin, anak yatim, orang yang meminta-minta atau yang haknya dirampas, juga dengan tegas dinyatakan bahwa kekayaan atau komoditi tidak boleh berputar di antara orang-orang kaya saja. Hal ini disebutkan dalam QS. Al Hasyr ayat 7: “Apa saja harta rampasan (fai) yang diberikan Allah kepada RasulNya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.”
Perwujudan keadilan sosial dengan pendekatan ini mencerminkan output demokratisasi sistem ekonomi Islam, yang selaras dengan tujuan koperasi sebagai alat pendemokrasian ekonomi. Hal ini menandakan bahwa Islam dan koperasi mempunyai tujuan yang sama, yaitu mencapai demokratisasi ekonomi.
Ø  Telaah Badan Hukum Koperasi untuk BMT
Dilihat dari kesesuaian prinsip koperasi dalam Islam, maka koperasi adalah sebuah lembaga yang dapat diterapkan untuk BMT. Kebolehan ini juga didasarkan pada relevansi konsep antara koperasi dan BMT yang dapat dilihat dari:
a.      Latar belakang dan sejarah kelahiran kedua lembaga ini adalah sama-sama dalam rangka memperjuangkan kepentingan rakyat golongan bawah. Begitu juga BMT yang lahir karena keberadaan BMI dan BPR (S) yang belum dapat menjangkau masyarakat golongan ekonomi bawah.
b.     Berdasarkan pengertian yang dikandung keduanya dapat disimpulkan bahwa kedua lembaga ini sama-sama mengandung unsur dua unsur. Unsur tersebut adalah unsur ekonomi dan unsur sosial yang saling berkaitan.
c.      Dalam prinsip-prinsip dasar yang dikandung oleh kedua konsep ini. Dalam prinsip-prinsip dasar keduanya ditemukan bahwa nilai-nilai yang terkandung di dalamnya tidak bertentangan. Kedua lembaga ini berusaha untuk mensejahterakan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya melalui pengelolaan yang sarat dengan nilai-nilai etik dan moral yang tinggi.
d.     Adanya kesamaan tujuan pada kedua lembaga tersebut. Tujuannya adalah sama-sama berusaha untuk mensejahterakan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya terutama bagi golongan masyarakat kecil dalam rangka mengentaskan kemiskinan bagi perbaikan ekonomi rakyat.
e.      Berdasarkan fungsi dan peranan koperasi dan BMT, terlihat bahwa keduanya mempunyai dua fungsi. Fungsi tersebut adalah fungsi sosial dan fungsi ekonomi yang saling berkaitan. Sedangkan peranan kedua lembaga tersebut adalah sebagai motor penggerak perekonomian dengan mengembangkan dan membangun potensi serta kemampuan masyarakat lapisan bawah untuk mencapai perekonomian yang lebih baik.
f.      Mengacu pada konsep mekanisme kerja antara koperasi dan BMT, akan ditemukan bahwa kedua lembaga ini diusahakan untuk bergerak pada tiga sektor, yaitu sektor jasa keuangan melalui simpan pinjam, sektor sosial dan sektor riil. Selain itu dalam kelengkapan organisasi ditemukan adanya Dewan Pengawas. Dewan Pengawas bertugas untuk mengendalikan dan mengawasi kedua lembaga itu. Tujuan pengendalian dan pengawasan ini adalah agar dalam kegiatannya sesuai dengan tujuan yang diharapkan serta mengurangi kemungkinan terjadinya penyimpangan dan penyelewengan oleh pengurus di dalam pengelolaannya.
Berdasarkan analisis tersebut, maka terdapat kesamaan konsep antara koperasi dan BMT sehingga hal ini mendukung dijadikannya koperasi sebagai badan hukum untuk BMT. Namun perlu dilakukan evaluasi terhadap badan hukum koperasi untuk BMT, yaitu:
1.     Perlu adanya mekanisme yang mampu menjamin dilaksanakannya koperasi sesuai dengan prinsip dasarnya karena dalam prakteknya telah banyak terjadi penyimpangan dalam pelaksanaan prinsip dasar tersebut seperti koperasi yang telah banyak kehilangan jati dirinya karena meninggalkan fungsi ekonomi, prinsip kemandirian yang ada pada koperasijuga tidak terlaksana, hal ini dapat dilihat dari besarnya intervensi pemerintah terhadap koperasi.
2.     BMT yang berbadan hukum koperasi harus mengganti sistem bunga yang biasa diterapkan dalam sistem perkoperasian di Indonesia dengan sistem yang sesuai dengan prinsip Islam, yaitu bagi hasil, sehingga merancang sebuah konsep lembaga koperassi syariah adalah suatu kebutuhan yang harus dilakukan.


KESIMPULAN

Dilihat dari prosedur pembiayaan dan jangkauan pelayanannya, BMT merupakan lembaga keuangan alternatif yang sangat efektif dalam melayani kebutuhan pembiayaan modal kerja jangka pendek yang sangat diperlukan pengusaha kecil mikro. Perkembangan asset BMT yang sangat cepat ditentukan adanya mobilisasi dana dari pihak ketiga serta cepatnya perputaran pengembalian pinjaman para nasabah yang selanjutnya dipinjamkan kepada nasabah lain. Pada umumnya BMT menggunakan pola pembiayaan mudharabah dan Bai Bitsaman Ajil (BBA). Pola pembiayaan BBA mempunyai keunggulan karena punya tingkat perputaran yang sangat tinggi, berisiko rendah dan memberikan margin keuntungan yang relatif besar.
Upaya pengentasan kemiskinan dapat dilakukan dengan memutus mata rantai kemiskinan itu sendiri, antara lain dengan memperluas aksesUsaha Kecil dan Mikro (UKM) dalam mendapatkan fasilitas permodalan yang tidak hanya bersumber dari lembaga keuangan formal tapi juga Lembaga Keuangan Mikro (LKM). LKM ternyata mampu memberikan berbagai jenis pembiayaan kepada UKM walaupun tidak sebesar lembaga keuangan formal, sehingga dapat menjadi alternatif pembiayaan yang cukup potensial mengingat sebagian besar pelaku UKM belum memanfaatkan lembaga-lembaga keuangan. Potensi yang cukup besar tersebut belum dapat dimanfaatkan secara optimal, karena LKM masih menghadapi berbagai kendala dan keterbatasan, antara lain aspek kelembagaan yang tumpang tindih, keterbatasan sumber daya manusia dalam pengelolaan LKM dan kecukupan modal. Upaya untuk menguatkan dan mengembangkan LKM sebagai salah satu pilar sistem keuangan nasional, diantaranya yang mendesak adalah menuntaskan RUU tentang LKM agar terdapat kejelasan dalam pengembangan LKM, serta komitmen pemerintah dalam memperkuat UKM sebagai bagian tidak terpisahkan dari pengembangan LKM.

Konsep koperasi dengan BMT memiliki kesesuaian, namun di sisi lain ada perbedaan yang mendasar, yaitu adanya mekanisme riba dalam koperasi. Untuk itu, agar koperasi dapat tetap dijadikan sebagai badan hukum BMT maka harus dilakukan perbaikan-perbaikan yang mengacu kepada syariah yang tidak memperbolehkan riba. Disamping juga koperasi harus membenahi diri agar tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan dari konsep dasar dan tujuannya.

1 komentar:

  1. Terimakasih atas informasinya. Silahkan berkunjung ke blog saya dan baca artikel yang berjudul BMT SEBAGAI LEMBAGA KEUANGAN ALTERNATIF

    BalasHapus