Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
Oleh:
Angie Cyntia Wati/ 09390001
I.
Pendahuluan
Berdasarkan
amanat Bank Indonesia pasal 34 UU no.3 tahun 2004, pembentukan lembaga
pengawasan sektor jasa keuangan yang mencakup perbankan, asuransi,
dana pensiun, sekuritas, modal ventura dan perusahaan pembiayaan serta
badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat sangat
diperlukan. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merupakan sebuah lembaga independen
dan baru saja dibentuk di negara Indonesia yang
menyelenggarakn fungsi pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa
keuangan dibidang perbankan, pasar modal, dan industri keuangan non-bank.
Undang-Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan
pada dasarnya memuat ketentuan tentang organisasi dan tata kelola dari lembaga
yang memiliki otoritas pengaturan dan pengawasan terhadap sektor jasa keuangan.
Sedangkan ketentuan mengenai jenis-jenis produk jasa keuangan, cakupan dan
batas-batas kegiatan lembaga jasa keuangan, kualifikasi dan kriteria lembaga
jasa keuangan, tingkat kesehatan dan pengaturan prudensial serta ketentuan
tentang jasa penunjang sektor jasa keuangan dan lain sebagainya yang menyangkut
transaksi jasa keuangan diatur dalam undang-undang sektoral tersendiri, yaitu
Undang-Undang tentang Perbankan, Pasar Modal, Usaha Perasuransian, Dana
Pensiun, dan peraturan perundang-undangan lain yang terkait dengan sektor jasa
keuangan lainnya. Otoritas jasa keuangan dibentuk dengan tujuan
agar keseluruhan kegiatan jasa keuangan didalam sektor jasa keuangan dapat
terselenggara secara teratur, adil, transparan dan akuntabel serta dapat
mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil. Terdapat
beberapa
hal yang melatarbelakangi lahirnya UU no.21 tahun 2011 tentang OJK selain
pertimbangan Undang-Undang tentang Bank Indonesia sebagaimana telah beberapa
kali dirubah, yakni:




Harapan
penataan UU No.21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa
Keuangan adalah penataan tersebut dilakukan agar dapat mencapai
mekanisme koordinasi yang lebih efektif di dalam menangani permasalahan yang
timbul dalam sistem keuangan sehingga dapat lebih menjamin tercapainya
stabilitas sistem keuangan dan penataan tersebut dilakukan agar pengaturan
dan pengawasan terhadap keseluruhan kegiatan jasa keuangan tersebut harus
dilakukan secara terintegrasi.
II.
Fungsi
dan Tujuan OJK
Fungsi OJK adalah:




Tujuan OJK adalah:



III.
Tugas
dan Wewenang OJK
Tugas OJK:



Wewenang OJK:






















IV.
Asas-Asas
OJK
Dalam
menjalankan tugas dan wewenangnya, Otoritas Jasa Keuangan berlandaskan
asas-asas sebagai berikut:







V.
Peluang
dan Tantangan Lembaga Keuangan dan Perbankan Islam Berkenaan dengan Kehadiran
OJK
Perkembangan perbankan islam dewasa ini
sangatlah pesat. Jika dibandingkan dengan perbankan konvensional, perbankan islam memiliki
beberapa keunggulan yaitu daya tahan perbankan islam lebih kuat
dibanding dengan perbankan konvensional, selain itu dalam hal penjaminan dan
layanan perbankan islam juga lebih baik. Tetapi
keunggulan tersebut belum diikuti dengan pangsa pasar perbankan islam, karena
perbankan islam masih memiliki beberapa kelemahan. Didalam perbankan islam
belum ada sumber daya insani (SDM), layanan produk masih standar, serta
kurangnya edukasi dan sosialisasi. Dengan keadaan tersebut, sangat disayangkan
sekali di dalam UU no.21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bahwa tidak ada satu
pasal pun dalam UU tersebut yang mengamanahkan pengembangan perbankan islam.
Jika kita lihat draft
undang-undang OJK yang diusulkan, tidak mencantumkan detail bagaimana dengan
keuangan syariah kedepannya. Sehingga banyak kalangan merasa khawatir, prospek
industri keuangan syariah dimasa OJK nanti akan terhambat dengan kurangnya
regulasi dan peraturan pemerintah yang mensupport industri keuangan syariah
yang menyebabkan pertumbuhan keuangan syariah di tanah air menjadi lamban.
Apalagi jika dewan komisioner OJK nanti dikhawatirkan diisi oleh pihak-pihak
yang anti terhadap ‘keuangan syariah’. Dari kekhawatiran diatas, diharapkan
pemerintah bisa mendapatkan masukan agar pihak pemerintah
bisa menyeleksi betul-betul para pimpinan OJK nanti sehingga tidak menghambat
lajunya pertumbuhan keuangan syariah yang sedang berkembang
pesat.
Terlepas dari hal-hal diatas, terbentuknya
OJK dapat dipandang sebagai suatu peluang bagi sistim keuangan syariah untuk
lebih dapat mengarahkan perkembangan industri secara lintas sektoral dimana
sistim keuangan syariah secara keseluruhan akan dapat mencapai tingkat
efisiensi operasi yang lebih tinggi. Kehadiran OJK dapat pula
meningkatkan efiktivitas regulasi dalam menekan peluang terjadinya regulatory
arbitrage. Dibalik semua peluang yang ada, penempatan supervise dan regulasi
sistim keuangan syariah dapat juga menyebabkan OJK kehilangan focus yang pada
akhirnya memupuskan momen-tum perkembangan yang pada saat ini sedang diraih.
Untuk menghindari hal tersebut, perkembangan sistim keuangan syariah harus
didukung secara struktur dan fungsi dalam OJK. Struktur
pendukung berarti terdapat organ yang secara dedicated menjalankan fungsi
pengembangan secara aktif selain juga menjalankan fungsi pengawasan. Berbeda
dengan sistim keuangan konvensional yang dianggap telah cukup mapan,
perkembangan sistim keuangan syariah khususnya pada sub-sub sektor selain
perbankan seperti pasar modal, takaful dan zakat, masih berada pada tahapan
pengembangan. Saat ini merupakan momentum yang tepat untuk
menyusun struktur OJK yang mendukung terhadap perkembangan perbankan syariah
yang pada akhirnya diharapkan akan melengkapi sistim keuangan nasional yang
tangguh dan berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi Indonesia.
Selain itu, dengan adanya OJK diharapkan
dapat mencegah kenakalan oknum di industri keuangan,
baik perbankan islam maupun lembaga keuangan lainnya. pengawasan bank di BI
adalah berdasarkan risiko (risk based supervision). Setiap obat untuk setiap
penyakit bank itu berbeda-beda. Sebagai contoh, penyakit karena
manajemen, atau penyakit karena struktural dan finansial.
OJK kedepannya harus mencari akar permasalahan agar mendapat
obat
yang tepat. berdasarkan prinsip inti pengawasan bank di Basel (Basel Core
Principle), Indonesia masih dinilai kurang baik dalam pengawasan konsolidasi.
Padahal, saat ini sudah banyak bank yang memiliki anak usaha lintas industri
yang diawasi oleh regulator lain. Lembaga keuangan di indonesia dianggap
kurang comply, namun diharapkan dengan adanya OJK, kelemahan tersebut dapat
ditutupi.
Meskipun banyak yang kurang menyetujui
dengan disahkannya undang-undang OJK, akan tetapi Indonesia perlu membuktikan
kepada dunia bahwasanya perbankan islam indonesia bisa menjadi
pioneer dan trendsetter bagi industri keuangan islam dunia. Tidak
hanya itu, dengan adanya OJK ini dimana seluruh industri keuangan syariah
dibawahi oleh satu institusi, diharapkan dapat lebih optimal pengembangannya
dan bisa memproklamirkan diri sebagai International hub untuk keuangan syariah
untuk Asian dan Middle East Countries (AMED). Tidak hanya itu, indonesia juga
diharapkan bisa mencetak bankir-bankir syariah professional yang diakui oleh dunia
dengan inovasi produk-produk syariah terbaru, baik itu di industri asuransi
syariah, industri perbankan syariah, industri pasar modal syariah dan juga
industri keuangan mikro syariah yang faktanya indonesia memiliki ribuan
institusi keuangan mikro syariah seperti Bank Perkreditan Rakyat Syariah
(BPRS), BMT yang tersebar
diseluruh pelosok indonesia dan bank syariah pun memiliki produk mikro untuk
memenuhi kebutuhan rakyat Indonesia yang notabene mayoritas pendapatannya
rendah.
Dengan pesatnya pertumbuhan lembaga-lembaga
keuangan syariah di tanah air baik itu berskala besar, menengah maupun kecil,
prospek indonesia untuk menjadi cermin bagi kekuatan keuangan syariah global
sudah terlihat. Maka dari itu, prospek ini jikalau tidak betul-betul
dimanfaatkan maka kita sebagai bangsa yang besar akan selalu ketinggalan dengan
Negara tetangga seperti Singapore dan Malaysia. Salah satu usulan yang sangat
menarik yang bisa kita usulkan untuk kemajuan industri keuangan syariah di masa
OJK adalah dibentuknya Dewan Pengawas Syariah Nasional Otoritas Jasa Keuangan
(DPSN-OJK). Dimana, hingga saat ini belum ada aturan pemerintah yang mengatur
yang mengawasi Dewan Pengawas Syariah di setiap institusi keuangan syariah.
Sehingga setiap produk perbankan syariah yang dikeluarkan oleh sebuah institusi
tidak mendapatkan review dan koreksi dari ahli-ahli syariah yang diatasnya.
Sampai saat ini, lembaga independen yang mendukung hanyalah DSN-MUI yang pada
dasarnya tidak mempunyai kewenangan dalam mereview produk-produk syariah di pasaran
apakah sudah sesuai dengan aturan syariah ataukah belum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar